Akankah AS Memenangkan Pertempuran untuk Menyelamatkan Taiwan?

Stephen Bryen dan Shoshana Bryen

Akankah Amerika Serikat memenangkan pertempuran untuk menyelamatkan Taiwan dari Tiongkok? Bukan menurut serangkaian simulasi Pentagon dan permainan perang. Dalam sebuah upaya untuk mencari tahu apa yang akan terjadi jika pasukan Amerika Serikat datang ke pertahanan Taiwan, Pentagon telah menentukan bahwa Amerika Serikat mungkin dikalahkan dan tentunya akan menderita kerugian besar dari sisi personil dan peralatan.

Di antara ahli strategi militer, bahkan ada perdebatan mengenai apakah kapal induk Amerika Serikat, umumnya dianggap penting untuk bantuan untuk Taiwan, saat ini rentan terhadap rudal-rudal Tiongkok dan dapat dihancurkan dari jarak jauh-”mungkin sejauh 1.000 mil atau lebih.

Tidak selalu seperti ini.

Pada tahun 1996, Tiongkok melakukan sebuah “latihan” rudal besar-besaran dan mulai menambah pasukan, menunjukkan bahwa “latihan” tersebut adalah sebuah kedok untuk invasi Taiwan.

Stephen Bryen berada di Taipei bersama dengan R. James Woolsey, mantan Kepala CIA, di awal pemerintahan Bill Clinton, dan Laksamana Leon Bud Edney, yang hanya empat tahun sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kepala Operasi-Operasi Angkatan Laut Amerika Serikat. Mereka merasakan ketakutan dan kecemasan dengan cepat menyebar di Taiwan.

Mereka bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Washington, dan mereka bertiga menelepon untuk mendorong Pentagon dan Gedung Putih untuk bertindak. Sampai titik itu, Presiden Bill Clinton, bersama dengan Dewan Keamanan Nasional, tidak mau menanggapi sebagian besar karena mereka semua meningkatkan hubungan dengan Tiongkok dan memperbesar perdagangan yang saling menguntungkan. 

Saat bahaya tumbuh dan menjulang, dan situasi itu semakin mendekati sebuah titik yang mengerikan, Bill Clinton akhirnya mengirim dua gugus tugas kapal induk.

Dengan kapal induk yang bergerak menuju Taiwan, Tiongkok mundur. Meskipun kita tidak tahu segalanya, kemungkinan Tiongkok memperkirakan bahwa dalam sebuah konfrontasi dengan Amerika Serikat, dan terutama dengan pesawat- tempur di kapal induk AS, sebuah invasi akan gagal. 

Namun, untuk mendapatkan pasukannya ke Taiwan, Tiongkok kemudian tidak memiliki kapal pendarat di mana kapal-kapal komersial yang diperlukan, dengan mudah ditenggelamkan oleh pesawat Amerika Serikat.

Tetapi dari situasi itu, Tiongkok mengerti bahwa untuk mengambil alih Taiwan, pihaknya memerlukan untuk secara signifikan meningkatkan angkatan laut dan angkatan udaranya, mendapatkan kapal-kapal pendarat yang dipertahankan, dan menemukan sebuah cara untuk membunuh kapal-kapal induk Amerika Serikat. 

Tiongkok  memiliki waktu 25 tahun untuk memperbaiki masalah ini dan telah melakukannya dengan membangun pesawat tempur yang sangat modern (termasuk J-20 siluman) dan pengebom  nuklir, kapal-kapal pendarat seperti kapal amfibi dengan dek besar Tipe 075 Kelas Yushen  yang dapat membawa pasukan, helikopter, dan kendaraan lapis baja, dan rudal-rudal pembunuh kapal induk.

Dalam kategori pembunuh kapal induk ini adalah Dong Feng (Angin Timur) DF-21D, rudal anti-kapal bahan bakar padat tahap dua dengan jangkauan 900 mil atau lebih. DF-21D ini dapat dipandu ke targetnya melalui satelit dan drone. 

Dikatakan DF-21D memiliki sebuah kendaraan masuk kembali (hulu ledak) yang dapat bermanuver sehingga sulit untuk dikalahkan. Versi DF-21D yang akan datang mungkin juga memiliki banyak hulu ledak yang ditargetkan secara independen (MIRV), menambah sifat DF-21D yang  mematikan dan membuatnya semakin sulit untuk dibunuh.

Amerika Serikat sedang mengerahkan kapal penjelajah AEGIS dan tipe-tipe baru rudal pencegat seperti SM-3 (RIM-161 Standard Missile 3) dan SM-6 (RIM-174 Standard Extended Range Active Missile), dan radar AEGIS telah ditingkatkan. Sistem yang lebih baru ini biasanya disertakan dengan gugus tugas kapal induk dan mungkin dapat menghentikan sebuah serangan DF-21D, tetapi apakah hal tersebut dapat menghentikan sebuah serangan DF-21D yang berbondong-bondong adalah tidak jelas. 

Tiongkok sedang mempersiapkan di satu sisi dan sedang mengawasi Amerika Serikat di sisi lain. Adalah tidak jelas pada titik apa, menggunakan strategi apa, Tiongkok akan mencapai kesimpulan Tiongkok dapat berhasil menyerang kapal-kapal induk Amerika Serikat.

Sayangnya, hal yang sama berlaku di pihak Amerika: adalah tidak jelas bahwa Amerika Serikat dapat menghentikan sebuah serangan rudal anti-kapal induk Tiongkok dan kami tidak akan benar-benar tahu sampai hal itu terjadi.

Tetapi bahkan jika kapal induk dapat melewati kesulitan tersebut, Angkatan Udara Tiongkok masih jauh lebih mampu daripada Angkatan Udara Tiongkok 25 tahun yang lalu. Tiongkok sedang bekerja untuk meningkatkan kemampuan silumannya dan menandingi F-22 Amerika Serikat bahkan lebih daripada F-35, yang lebih merupakan sebuah pesawat taktis dan kurang siluman dibandingkan dengan F-22.

Berbeda dengan Amerika Serikat, Tiongkok bukanlah sebuah negara demokrasi dengan kebebasan pers dan kebebasan media sosial. Jika perencana Tiongkok bersedia kehilangan 400 pesawat dan lusinan kapal yang diyakininya akan merupakan sebuah misi yang berhasil untuk mengalahkan Amerika Serikat, yang akan menjadi bagian perhitungan mereka.

Tetapi ketika Presiden bertanya kepada perencana Pentagon apa yang diharapkan jika kita datang untuk mendukung Taiwan, sang Presiden akan mendapatkan kabar-kabar buruk yang dapat menyebabkan tekanan domestik yang serius. Sang Presiden mungkin diberitahu bahwa sebuah kapal induk dapat tenggelam, atau kita dapat kehilangan 50 hingga 75 pesawat tempur. Ini berarti sang Presiden harus mempertimbangkan kemungkinan sebuah tanggapan publik terhadap ribuan korban dan kehilangan perangkat keras yang bernilai miliaran dolar.

Banyak tergantung pada keberanian, politik dan moral, dari sang presiden. Tetapi naluri di Washington kemungkinan akan menjadi sebuah upaya mendesak untuk mendorong Taiwan ke dalam sebuah negosiasi dengan Tiongkok yang akan berakhir dengan Taiwan menjadi bagian Tiongkok. Intinya, menyerah. 

Hal itu akan membuat Amerika Serikat lolos dari situasi yang tidak menyenangkan tetapi akan menjadi sebuah peringatan yang mengerikan bagi teman-teman AS di Asia, bahwa terjadi malapetaka dan tidak ada harapan atau bantuan yang dapat didapat dari orang-orang Amerika Serikat.

Kecuali jika formula lain ditemukan.

Peredaan akan, pada akhirnya menyebabkan perang dunia; adalah mustahil untuk percaya bahwa Tiongkok akan puas hanya menelan Taiwan. Seharusnya

jangan dilupakan bahwa Komunis Tiongkok memiliki sebuah kemarahan yang tidak terpuaskan terhadap Jepang dan apa yang telah dilakukan pasukan Jepang terhadap Tiongkok pada tahun 1930-an hingga 1940–jutaan orang dibantai, dan penggunaan perang kuman dan perang zat kimia oleh Jepang terhadap warga-warga sipil, terutama orang-orang Tiongkok.

Pemerkosaan Nanjing/Nanking yang terjadi tahun 1937-1938 atau Pembantaian Nanjing, yang mungkin telah membunuh sebanyak 300.000 orang Tiongkok, terutama warga-warga sipil, adalah salah satu dari banyak kekejaman tidak terbalas yang diingat Tiongkok. Setelah Tiongkok mengusir Amerika Serikat, Jepang adalah target berikutnya dan Jepang mengetahui hal itu, itu sebabnya Jepang menyebut sebuah  kemungkinan invasi ke Taiwan sebagai sebuah “ancaman eksistensial.”

Sekutu di Pasifik dapat mencegah hal ini hanya dengan sebuah strategi yang sama sekali baru untuk mencegah Tiongkok menyerang Taiwan. Bukannya mengandalkan kapal-kapal induk yang jauh di sana  dan menunggu orang-orang Tiongkok membuat sebuah insiden atau provokasi untuk memicu sebuah konflik, diperlukan mengambil langkah-langkah untuk mengubah permainan sekarang dengan memperkuat Taiwan.

Cara terbaik dan tercepat adalah membuat sebuah Komando Militer Taiwan yang tunggal yang mencakup  Jepang, Amerika Serikat, dan Taiwan. Tidak ada mekanisme komando koordinasi sekarang ini dengan Taiwan atau Jepang. 

Pendekatan Amerika Serikat saat ini”–untuk melakukannya sendiri–”adalah tidak layak. Jepang memiliki F-35 dan F-15, sebuah angkatan laut yang kecil tetapi bagus, dan kapal-kapal selam yang sangat baik. Taiwan telah memodernisasi pesawat tempur buatan sendiri F-16 dan CK-F-1. Semua ini harus digunakan untuk memblokir Tiongkok, tetapi mereka harus beroperasi dengan sebuah cara yang terkoordinasi. Misalnya, harus mengoordinasikan Identifikasi Teman atau Musuh, sehingga kita dapat beroperasi secara efisien melawan musuh dan tidak saling membunuh.

Sebuah struktur komando tunggal akan memberitahu Tiongkok bahwa Tiongkok memiliki sebuah pengaruh  masalah yang lebih besar yang secara signifikan harus diatasinya daripada hanya Taiwan, dan bahwa Amerika Serikat dan Jepang dan Taiwan memiliki akses dan dukungan dari berbagai basis di Taiwan, di Okinawa, dan di Jepang. 

Dengan tantangan semacam itu, Tiongkok tidak dapat berharap untuk mengisolasi Taiwan dan menakut-nakuti Amerika Serikat.

Selain itu, dalam sebuah konflik, pangkalan angkatan udara dan pangkalan angkatan laut, khususnya di Jepang dan Okinawa (termasuk pangkalan Amerika Serikat, pangkalan Jepang, dan pangkalan Gabungan) harus tersedia untuk Angkatan Udara dan Angkatan Laut Taiwan. 

Hal ini mengubah permainan menjadi dua cara: Taiwan dapat beroperasi dari pangkalan di luar Taiwan, artinya serangan Tiongkok yang diarahkan ke Taiwan tidak akan menjamin sebuah kemenangan bagi Tiongkok, dan Tiongkok akan dihadapkan dengan ancaman dari berbagai pangkalan dan aset angkatan udara serta angkatan laut sekutu-sekutu yang terkoordinasi signifikan.

Dengan sebuah sistem multi-pangkalan dan dukungan untuk menghadapi Tiongkok dan sebuah kesamaan komando, strategi Tiongkok runtuh.

Pentagon harus menjalankan simulasi baru dengan satu komando militer yang tunggal dan beberapa pangkalan saling mendukung upaya tersebut untuk memblokir sebuah invasi Tiongkok ke Taiwan. 

Mengingat potensi alam yang mengubah permainan tersebut yang dinyatakan di sini, Tiongkok akan mengerti bahwa itu berarti, seperti  NATO berhasil menahan Uni Soviet dari tahun 1949 hingga runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991.

Pemerintah saat ini perlu mengubah pendekatan kebijakannya dari kemunduran dan peredaan global , yang pada akhirnya akan mengarah pada perang, dan mengadopsi sebuah strategi baru untuk menghadapi Tiongkok sebelum terlalu terlambat. (Vv)

Stephen Bryen dianggap sebagai pemimpin pemikiran dalam kebijakan keamanan teknologi, dua kali dianugerahi kehormatan sipil tertinggi Departemen Pertahanan, Medali Layanan Publik Terhormat. Buku terbarunya adalah “Technology Security and National Power: Winners and Losers”

Shoshana Bryen adalah direktur the Jewish Policy Center di Washington, D.C