Investor Asing Mendumping Yuan dan Memilih Hengkang dari Tiongkok

Antonio Graceffo

Lockdown dan penurunan suku bunga akibat COVID-19 di Tiongkok membuat yuan merosot dan memperburuk  capital outflow.

Massimo Bagnasco, wakil presiden Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok kepada Bloomberg pada 17 Mei mengatakan, ketidakpastian benar-benar sebagai kata kunci di Tiongkok. Dikarenakan, tidak ada gambaran, tidak ada harapan tentang berapa lama bisa bertahan dan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya setelah Shanghai. 

Pada Maret lalu, investor Hong Kong menjual rekor utang berdenominasi yuan senilai $24,2 miliar. Kemudian hengkang dari investasi Tiongkok, yang mana dipicu oleh kekhawatiran atas prospek pertumbuhan Tiongkok yang semakin berkurang, penurunan Yield obligasi dan tingkat investasi AS yang lebih tinggi.

Pada saat yang sama ketika Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi, bank sentral Tiongkok sedang mempertimbangkan pemotongan suku bunga untuk merangsang ekonomi. Pada  April, bank sentral menurunkan persyaratan cadangan dari 9 persen menjadi 8 persen sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah uang beredar.

Investor lalu menukar uang mereka dari yuan ke dolar, yang menaikkan dolar sambil menekan yuan. Selama empat minggu terakhir, kurs spot yuan kehilangan lebih dari 6 persen terhadap dolar. 

Analis UBS memperkirakan yuan akan terdepresiasi lebih lanjut, menembus level 7 terhadap dolar AS. Barclays juga menurunkan perkiraan yuan menjadi 6,9 tetapi mengatakan yuan bisa mencapai angka 7 jika lockdown dan gangguan rantai pasokan masih terus berlanjut.

Investor sudah mulai memindahkan uang dari Tiongkok pada tahun 2021, dikarenakan lockdown COVID yang sedang berlangsung, masalah rantai pasokan, dan tindakan keras Xi Jinping terhadap berbagai sektor bisnis, termasuk teknologi dan pendidikan. Masalah ini menyertai krisis utang yang sedang berlangsung dengan perusahaan terkenal, seperti Evergrande, yang mana tertatih-tatih di ambang kebangkrutan, serta ‘pendinginan’ prospek industri real estate,  biasanya merupakan pendorong signifikan ekonomi secara keseluruhan.

Sejak awal tahun ini, perang Ukraina dan potensi sanksi terhadap Tiongkok, telah membuat banyak investor khawatir. Sehingga mendorong mereka  meninggalkan aset berdenominasi yuan mereka. Pemangkasan berulang-ulang proyeksi pertumbuhan PDB oleh bank-bank besar dan lembaga keuangan, telah memperburuk capital outflow.

Pada 18 Mei, Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan PDB Tiongkok menjadi 4 persen. Bahkan perkiraan Economist Intelligence Unit yang sedikit lebih bullish sebesar 4,4 persen hingga 4,7 persen jauh di bawah target Beijing sebesar 5,5 persen.

Pada  April, saham Tiongkok (SSEC) kehilangan nilai 6 persen, dan bobotnya di portofolio pasar negara berkembang  turun dari puncaknya pada akhir 2020 sebesar 38,3 persen menjadi 29 persen pada  April. Investor asing melepaskan $6,2 miliar obligasi pemerintah Tiongkok pada April lalu, menandai tiga bulan berturut-turut aksi jual, aksi jual terlama sejak 2015.  Becky Liu, kepala strategi makro Tiongkok di Standard Chartered Bank Plc, berhipotesis bahwa penurunan tajam yuan juga memicu aksi penjualan.

Terlepas dari masalah nyata dalam ekonomi Tiongkok, beberapa bankir investasi masih optimis. Pada April lalu, Jean-Charles Sambor, kepala utang pasar negara berkembang di BNP Paribas Asset Management, mengatakan bahwa terlepas dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan penurunan suku bunga di Tiongkok, obligasi Tiongkok masih menawarkan return lebih tinggi ketika disesuaikan dengan inflasi.

Aninda Mitra, kepala strategi makro dan investasi Asia di BNY Mellon Investment Management, kurang optimis tentang prospek Tiongkok. Ia mengatakan bahwa kenaikan suku bunga yang berkelanjutan di Amerika Serikat dapat meningkatkan arus keluar modal.

Meskipun mata uang dan ekonomi Tiongkok tampaknya melemah, Dana Moneter Internasional -IMF- mengumumkan pada 14 Mei bahwa mereka akan meningkatkan bobot yuan dalam sekeranjang mata uang yang disebut Special drawing rights  (SDR). Bobot yuan naik dari 10,92 persen menjadi 12,28 persen. Ini adalah tinjauan pertama sejak mata uang itu ditambahkan ke keranjang pada 2016. Bobot dolar juga meningkat dari 41,73 persen menjadi 43,38 persen, sedangkan bobot euro, yen Jepang, dan pound Inggris menurun.

Keputusan IMF diambil berdasarkan keuntungan nilai yuan yang telah dibuat selama enam tahun terakhir. Namun demikian, yuan tetap menjadi mata uang yang tidak diinginkan oleh investor dan bank sentral, hanya menyumbang 2,79 persen dari cadangan mata uang asing global.

Menanggapi peningkatan bobot dalam SDR, bank sentral Tiongkok berjanji untuk lebih membuka pasar keuangannya dan meningkatkan disclosure. Ini terjadi hanya beberapa hari setelah otoritas Tiongkok berhenti melaporkan beberapa perdagangan oleh orang asing. 

Sejak 11 Mei, China Foreign Exchange Trade System, platform perdagangan obligasi utama bagi investor asing, telah berhenti melaporkan likuidasi. Tindakan ini mungkin diambil untuk mencegah mereka dari keharusan mengakui bahwa telah terjadi aksi jual besar-besaran karena investor kehilangan kepercayaan kepada yuan.

Selain penurunan mata uang dan investor asing menjauh dari obligasi pemerintah Tiongkok, kamar dagang Amerika dan Uni Eropa melaporkan bahwa anggota mereka menghentikan investasi  Tiongkok mereka. Gangguan rantai pasokan dan ancaman lockdown adalah alasan utama yang diambil. Sementara Shanghai mendapatkan liputan pers paling banyak, setidaknya 32 kota masih di-lockdown pada 13 Mei.

Lockdown menyebabkan banyak gangguan dengan konsekuensi yang luas. Pabrik kehilangan hari-hari produksi. Kekurangan tenaga kerja dan gangguan logistik dan rantai pasokan juga terjadi. Selain itu, lockdown menutup pelabuhan, menghentikan lalu lintas jalan di beberapa tempat, dan mencegah karyawan asing memasuki Tiongkok atau mengunjungi kantor mereka di Tiongkok.

Michael Hart, presiden Kamar Dagang Amerika di Tiongkok, mengatakan kepada Bloomberg pada 17 Mei, bahwa meskipun dia tidak mengharapkan terjadinya eksodus perusahaan asing, dia memperkirakan investasi Tiongkok akan menurun di tahun-tahun mendatang.

Kamar Dagang UE melaporkan pada 16 Mei bahwa banyak anggotanya telah berhenti berinvestasi di Tiongkok dan sedang mempertimbangkan untuk keluar dari negara itu. Kamar Dagang Jerman melaporkan bahwa survei terhadap 460 anggota mengungkapkan bahwa 30 persen karyawan asing mereka berencana hengkang gara-gara lockdown.

Presiden Kamar Dagang Uni Eropa Joerg Wuttke mengatakan bahwa suku bunga yang lebih tinggi di Amerika Serikat akan menyebabkan modal mengalir keluar dari Tiongkok. Akibatnya, Beijing diperkirakan akan memperketat kontrol arus keluar modal untuk menghindari depresiasi yuan lebih lanjut. Sebagai langkah ekstrem untuk mencegah uang tunai meninggalkan negara itu, Beijing mengumumkan aturan pada 13 Mei yang melarang warganya melakukan perjalanan yang tidak penting ke luar negeri. (asr)

Antonio Graceffo, Ph.D., telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Dia adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai dan meraih gelar MBA dari Universitas Jiaotong Shanghai. Graceffo bekerja sebagai profesor ekonomi dan analis ekonomi Tiongkok, menulis untuk berbagai media internasional. Beberapa bukunya tentang Tiongkok termasuk “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” dan “A Short Course on the Chinese Economy.”