Sementara Ukraina Terbakar, Turki Mempertimbangkan Perang dengan Yunani

Gregory Copley

Turki telah mempersiapkan pertaruhan besar militer demi mengembalikan prestise Presiden Recep Tayyip Erdogan yang anjlok —kecuali dia bisa menghasilkan keajaiban—bisa dilengserkan dari jabatannya dalam waktu setahun.

Kini, tampaknya tak banyak yang ingin dilakukan Erdogan tentang krisis ekonomi Turki. 

Inflasi di Turki mencapai angka tertinggi 24 tahun sebesar 78 persen pada Juni 2022; nilai lira terus melemah (17,68 terhadap dolar AS pada Juli 2022), dan melonjaknya impor energi serta peningkatan ongkos energi telah membawa krisis neraca pembayaran dan penderitaan di tingkat konsumen. Keajaiban ekonomi Turki datang dan pergi, kini para pemilih kembali menjadi miskin. 

Erdogan akan segera memulai perang dengan Yunani atas kedaulatan pulau-pulau Yunani tradisional (dan secara hukum) di Laut Aegea. Perang akan dilakukan dengan menggunakan “Cover” atau pengalih perhatian dari konflik Rusia-Ukraina, percaya bahwa posisi kritis Turki terhadap NATO/Amerika Serikat dalam perang itu berarti bahwa tindakannya tidak dapat dikenai sanksi secara efektif.

Pemerintah Turki di bawah Erdogan pasti telah memulai persiapan  perang semacam itu, sangat menyadari fakta bahwa Angkatan Bersenjata Hellenic telah terlambat memulai langkah-langkah  mencapai tingkat kemampuan kekuatan yang dapat menandingi, atau bahkan melampaui, kemampuan Angkatan Bersenjata Turki : di beberapa titik seperti kapal perang baru dan pesawat tempur baru yakni Rafales dan F-35.

Erdogan tahu bahwa dia memiliki peluang terbatas sebelum Yunani memperbaiki banyak ketidakseimbangan militer yang dimilikinya dengan Angkatan Bersenjata Turki dan sebelum pemilihan presiden 2023, yang mana, kecuali dimanipulasi, kemungkinan akan menyapu dia dari jabatannya.

Bagaimanapun juga, Turki telah lolos dari 48 tahun terakhir ini tanpa kecaman atas invasinya pada tahun 1974 dan pendudukan selanjutnya atas 37 persen wilayah Siprus bagian utara. Erdogan secara konsisten memainkan fakta bahwa Turki dapat menjauh dari orientasi Baratnya—diperkuat oleh Kemal Mustafa Ataturk setelah 1920—dan “menyelaraskan kembali” dengan Rusia atau blok Eurasia Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO).

Ancaman yang konsisten itu, bagaimanapun, telah melemah setipis ekonomi Turki. Erdogan telah terbukti sadar akan posisi gesekan yang dialami Turki dalam beberapa tahun terakhir, karena tingginya ketergantungan kepada Rusia atas perdagangan seperti halnya status orang luar yang ambigu, itu dialami Turki dengan Uni Eropa (UE) dan bahkan NATO.

Erdogan dapat pindah ke posisi ketiga: penyelarasan dengan negara-negara Timur Tengah dan Asia Tengah. Tetapi negara-negara regional tersebut dengan senang hati telah membuang pengaruh Ottoman dengan kekalahan Turki dalam Perang Dunia I. Jadi, Erdogan terombang-ambing di antara opsi-opsi yang tidak sempurna ini. Dia sekarang dalam posisi paling putus asa sejak dia menjadi perdana menteri pada tahun 2003.

Turki kurang dari setahun lagi dari pemilihan keduanya—pada 18 Juni 2023—sejak diperkenalkannya bentuk pemerintahan presidensial eksekutif. Namun, hal demikian lebih merupakan penilaian pada presiden eksekutif pertamanya daripada sistem itu sendiri. Erdogan dinilai berdasarkan ekonomi yang menurun secara dramatis dan serangkaian upaya yang gagal untuk menciptakan kembali kejayaan pan-Turkisme dan masa lalu Ottoman.

Akibatnya, Erdogan memiliki waktu terbatas untuk memulihkan posisinya, baik secara elektoral atau, karena keadaan darurat keamanan nasional, melalui pengenaan beberapa bentuk force majeure  membatalkan atau mencegah pemilu berikutnya. 

Bagaimanapun, Erdogan memang merencanakan  melakukan “upaya kudeta yang gagal” pada 15–16 Juli 2016, untuk menarik dan menekan saingan politik dan militernya, dengan cara yang sama seperti Nazi yang dipimpin Adolf Hitler melakukan kudeta yang dibuat-buat antara 30 Juni hingga 2 Juli 1934, untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dengan dalih kudeta yang akan datang oleh kelompok paramiliter Sturmabteilung (SA) Ernst Rohm.

Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis bertemu dengan Erdogan pada Maret 2022 dan tampaknya telah mencapai kesepakatan tentang masalah keamanan Mediterania. Namun, pada akhir April 2022, menjadi jelas bahwa kesepakatan itu telah lenyap, dan pelanggaran Angkatan Udara Turki atas wilayah udara Yunani di atas Laut Aegea mencapai “tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Pada saat yang sama, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengklaim bahwa Athena telah secara ilegal “memiliterisasi” wilayah pulaunya di Laut Aegea. 

Turki  pada tahun 2021, mengajukan petisi kepada PBB dengan pandangan sepihak atas “demiliterisasi” pulau-pulau Aegean. Cavusoglu mengatakan pada April 2022 bahwa kedaulatan Yunani atas wilayah Aegea akan dianggap “dapat diperdebatkan.”

Turki, pada tahun 2022, berusaha untuk membeli Lockheed Martin F-16 Viper baru untuk menopang kekuatan militernya. Saat ini menjadi pertempuran domestik AS antara industri pertahanan dan pejabat kebijakan strategis yang prihatin atas komitmen nyata Turki terhadap NATO. Tetapi Washington akan menyambut pemilu  untuk menggulingkan Erdogan sebelum dia bisa berperang melawan Yunani. (asr)

Gregory Copley adalah presiden Asosiasi Studi Strategis Internasional yang berbasis di Washington. Lahir di Australia, Copley adalah Anggota Ordo Australia, pengusaha, penulis, penasihat pemerintah, dan editor publikasi pertahanan. Buku terbarunya adalah The New Total War of the 21st Century and the Trigger of the Fear Pandemic