Misteri yang Belum Terpecahkan : Tuhan Ditemukan Dalam Gen

Fu Yao

Sebagaimana kita ketahui agama-agama besar menyebutkan bahwa Tuhan Menciptakan manusia dengan bentuk-NYA. Tuhan juga menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna dan sebaik-baiknya bentuk. Sementara itu, ada ilmuwan yang menyatakan, mereka telah menemukan keberadaan Tuhan di dalam “dunia mikro”.

Menjelajahi Misteri Gen

Pria berambut putih dengan senyum yang ramah itu bernama Francis S. Collins, dia adalah direktur National Institute of Health (NIH) AS (Amerika Serikat), dan Collins juga pernah menjabat sebagai direktur National Human Genome Research Institute (NHGRI) AS, serta dikenal pula sebagai penanggung jawab dalam Human Genome Project.

Kata ‘gen’ sedikit banyak sudah pernah kita dengar, lalu apa itu “Human Genome Project”? Bahwasanya di dalam sel manusia terdapat 23 pasang kromosom yang membawa informasi genetik, yang mencakup 22 pasang autosom dan 1 pasang kromosom seks. Ke-23 pasang kromosom ini, setengahnya berasal dari ayah, dan setengahnya lagi berasal dari ibu. 

Di dalam kromosom-kromosom ini terdapat 6 milyar kode DNA. “Human Genome Project” itu bertujuan untuk mengukur bagaimana kode DNA tersebut diurutkan, dan menggambarkan kepada mereka sebuah potret keluarga bahagia, serta menemukan fragmen pada DNA yang memiliki fungsi genetik yakni Gen, dengan kata lain, tujuan akhir dari gen adalah hendak menguraikan informasi genetik pada manusia.

 Proyek ini, begitu dimulai telah didanai dan didorong oleh Kementerian Energi AS bersama dengan National Institute of Health (NIH), kemudian setelah ditemukan bahwa semakin didalami semakin rumit, dan AS merasa kurang mampu untuk menyelesaikanya sendirian, maka diperluaslah kerjasama internasional untuk menggalang bantuan, itu sebabnya Inggris, Jerman, Prancis, Jepang dan beberapa negara lain satu persatu mulai ikut ambil bagian, pada akhirnya “Human Genome Project” pun menjadi proyek raksasa eksplorasi ilmiah lintas negara dan lintas bidang ilmu. Hingga saat ini, manusia telah merampungkan 92% pengurutan keseluruhan genom saja, sedangkan 8% genom sisanya sementara masih ditangguhkan karena tingkat kemampuan teknologi yang belum memadai.

Memimpin proyek sebesar ini, bisa dibayangkan betapa hebatnya bidang ilmu yang didalami oleh Profesor Collins ini. Menurut pemikiran orang pada umumnya, ilmuwan top sekelas Profesor Collins yang meneliti ilmu kehidupan, cukup dengan mengubah dengan sedikit gunting gen, maka akan dapat mengubah kode kehidupan, bahkan mampu menciptakan spesies baru, dan seharusnya dia adalah seorang ateis sejati, yang notabene tidak akan percaya bahwa kehidupan adalah ciptaan Tuhan.

Akan tetapi faktanya justru bertolak belakang. Profesor Collins sendiri menjelaskan, dulunya dia adalah seorang ateis, setelah mulai meneliti DNA di Fakultas Kedokteran, menjadikannya semakin banyak berpikir tentang kehidupan, akhirnya pada usia 27 tahun, dia pun menjadi umat Kristen yang taat. Sejumlah kolega Profesor Collins yang setelah mengetahui bahwa dirinya mulai percaya Tuhan, mengatakan bahwa tindakannya itu adalah bunuh diri atas akal sehat, bahkan mereka meramalkan, otak Profesor Collins akan segera meledak akibat konflik antara riset ilmiah dengan agama kepercayaan.

Namun bertahun-tahun telah berlalu, otak Profesor Collins bukan saja tidak meledak, bahkan semakin lama semakin penuh kebijaksanaan, membuatnya justru meraih sukses besar di bidang biologi molekuler yang penuh persaingan sengit itu, dan menjadikannya sebagai tokoh yang berposisi sangat penting di bidang ini. Apalagi seiring dengan riset mendalam terhadap DNA manusia, tidak sedikit ilmuwan seperti Profesor Collins, yang semakin dapat merasakan keberadaan Tuhan. Apa sebenarnya yang terjadi?

 Kode DNA Yang Mengandung Segudang Informasi

Sebelum kita memasuki dunia DNA, ada dua pertanyaan untuk dijawab. Pertama, jika Anda hari ini keluar rumah, dan mendapati daun yang rontok di tanah menyusun kata-kata “selamat pagi” di atas tanah, apakah Anda akan merasa ada seseorang sengaja memberikan kejutan bagi Anda, atau ini adalah maha karya dari angin yang berhembus? Kedua, jika ada orang mengatakan, seekor monyet duduk di depan komputer, terus menerus menekan secara acak keyboard angka nol dan angka 1, sehingga akhirnya berhasil menulis “sistem operasional MacOS,” apakah Anda akan percaya?

Baik, sekarang ingat-ingatlah jawaban Anda, dan mari kita lihat seperti apa wujud DNA di dunia mikro.

Struktur heliks (spiral) ganda pada DNA, untuk pertama kalinya ditemukan oleh ahli biologi AS yakni James Watson dan ahli biologi Inggris bernama Francis Crick pada 1953, dunia ilmu pengetahuan waktu itu sempat geger: Manusia dengan demikian telah membuka pintu untuk menemukan rahasia genetik.

Penyebaran informasi genetik DNA, merupakan tanggung jawab dari empat buah basa nukleotida pada DNA, masing-masing adalah Adenine (A), Thymine (T), Guanine (G), dan Cytosine (C), selanjutnya akan kita wakili keempatnya dengan huruf besar.

Keempat basa nukleotida tersebut, dua menjadi satu pasang, AT adalah satu pasang, dan CG adalah satu pasang, kombinasi yang berbeda dari basa nukleotida akan menentukan karakteristik genetik materi, seperti tinggi – pendek – gemuk – kurus, serta karakteristik non-genetik materi, seperti kepribadian, kecerdasan, dan lain sebagainya.

Setiap kromosom pada makhluk hidup, terdapat sebuah molekul DNA berbentuk panjang yang melingkari di Histon. Molekul DNA ini membentuk rantai atau uliran ganda yang terpilin, jangan remehkan karena terpilin di dalam nucleus yang hanya seukuran 6 mikron dan terlihat sangat kecil, kalau ditarik panjangnya dapat mencapai 2 meter, jauh lebih tinggi daripada rata-rata tinggi pria dewasa di dunia. Kalau kita menjabarkan struktur rantai ganda DNA dengan empat huruf ATCG, bukankah akan terlihat seperti punched tape yang kita gunakan di masa awal penulisan program komputer dulu? Pada kertas punched tape yang berlubang melambangkan angka 1, sedangkan yang tidak berlubang melambangkan angka 0.

Sistem yang digunakan di dunia komputer adalah “pengkodean berbasis biner”, bahasa program apapun yang digunakan oleh seorang programmer, baik C++ maupun Java, pada akhirnya akan digantikan dengan bahasa komputer yang terdiri dari kombinasi angka 0 dan 1. Dan sekarang di era digital, berbagai teknologi yang diwujudkan oleh manusia, seperti 3D printing, kecerdasan buatan (AI), bahkan teknologi pada realitas berimbuh (AR), termasuk video yang sedang Anda saksikan ini (https://youtu.be/LP2z4yIQ-uo), pada dasarnya adalah rangkaian perintah komputer yang diwujudkan dengan kombinasi angka 0 dan angka 1.

Lalu, berdasarkan penuturan Profesor Collins, jika pemikiran program komputer ini dibawa masuk ke dunia DNA, bisa dikatakan bahwa yang digunakan DNA adalah “pengkodean berbasis kuarter”, yaitu empat kode ATCG. Dan kapasitas informasi yang dapat ditampung dengan sistem “pengkodean berbasis kuarter” ini akan jauh lebih besar daripada “pengkodean berbasis biner”.

Sebagai contoh, jika sama-sama dengan 20 kode, dengan menggunakan “sistem bilangan biner”, maka jumlah kombinasi berbeda yang dapat dibuat adalah 2 pangkat 20, yaitu 1.048.576. Sedangkan kalau menggunakan “sistem bilangan kuarter”, maka jumlah kombinasi yang bisa didapat adalah 4 pangkat 20, yaitu 1.099.511.627.776, keduanya terpaut selisih 1 juta kali lipat. Semakin banyak jumlah kode, selisihnya akan semakin besar.

Lalu berapa banyak informasi yang terdapat dalam DNA manusia? Disini kita akan berhitung sejenak. Sebelumnya telah dijelaskan, di dalam sel tubuh manusia terdapat 23 pasang kromosom, dengan total sebanyak 6 milyar kode DNA. Sedangkan satu kesimpulan penting yang ditemukan di “Human Genome Project” mengatakan: Autosom pada pria dan wanita tingginya sama, tidak ada perbedaan. Maka bisa dikatakan, informasi genetik DNA manusia setidaknya terbentuk dari 3 milyar kode sistem kuarter. Dengan kata lain, di dalam sebuah sel tubuh manusia yang super kecil itu, dapat menampung informasi sebanyak 4 pangkat 3 milyar. Di ruang sekecil ini, menampung informasi sebanyak itu, ini benar-benar impian akhir sistem penyimpanan data pada komputer.

Dan, salah satu dari 3 milyar kode DNA ini, atau beberapa kombinasi kode tertentu, mampu mengendalikan tubuh manusia melakukan berbagai jenis fungsi yang rumit. Entah bisa Anda rasakan atau tidak, kehidupan manusia mulai dari sebuah sel telur yang telah dibuahi, terus menerus bereplikasi dan membelah, replikasi dan membelah lagi, kemudian seluruh sel yang terdapat pada tubuh manusia, kromosom pada nukleusnya memiliki DNA yang sama. Lalu sel-sel tersebut setelah memasuki fase diferensiasi, sitoplasma masih dapat mengalami banyak sekali perubahan, membentuk berbagai macam sel dan kombinasi berbeda dalam tubuh manusia, contohnya sel darah merah, sel darah putih, sel saraf dan lain-lain, manusia juga menumbuhkan berbagai jenis organ tubuh. 

Selain itu para ahli biologi juga menemukan, embrio manusia dalam proses pertumbuhannya, pada periode yang berbeda seharusnya menumbuhkan struktur dan organ yang berbeda, semua titik waktu itu telah ditentukan sebelumnya. Jika terlalu awal atau terlambat, maka bayi yang lahir akan membawa kelainan bawaan lahir. Dan semua ini, dikendalikan secara akurat oleh kode DNA.

Penyuntingan Gen Manusia: Kotak Pandora

Walaupun manusia telah menemukan fungsi dan cara bekerja gen pada tubuh manusia, tapi dibandingkan informasi yang terkandung di dalam 3 milyar kode DNA, sungguh ibarat sebatang jarum di tengah samudera.

Masih ingatkah pembaca akan asisten profesor Fakultas Biologi dari Southern University of Science & Technology China yakni He Jiankui dan timnya, yang melakukan penyuntingan gen pada embrio bayi, yang bertujuan membuat bayi tersebut kebal terhadap penyakit AIDS, yang kemudian memicu kontroversi? Waktu itu, seluruh masyarakat dibuat gempar, dan banyak yang mengecamnya. 

Selain melibatkan masalah etika, masalah teknis dan potensi bahaya di masa mendatang juga menjadi alasan kalangan ilmiah menghujatnya. Dengan pemahaman manusia terhadap DNA saat ini, dengan sekehendak hati merekayasa gen manusia, siapa bisa memastikan guntingan gen itu telah berhasil menggunting kemungkinan mengidap AIDS, atau justru malah menggunting masa depan manusia? 

Dalam percobaan genetik, munculnya kejadian “off-target” (tidak tepat sasaran, red.) acap kali terjadi. Yang dimaksud “off-target” atau tidak tepat sasaran adalah, saat dilakukan penyuntingan genom, terjadi kesalahan yang merusak gen lain, sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen, atau rusaknya gen, atau translokasi kromosom atau dampak lainnya. Jika bayi hasil penyuntingan gen menyimpan cacat genetik tertentu, maka cacat tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya, lalu terus diwariskan turun temurun, bahkan mendatangkan bahaya tersembunyi bagi seluruh umat manusia. Jadi ada yang menyimpulkan, tindakan memodifikasi gen manusia seperti ini adalah ibarat membuka “kotak pandora” yang dapat menghancurkan seluruh umat manusia.

Disini kita ambil contoh peranti lunak sebagai perumpamaan, jika ada sebuah program dengan kode sumber yang teramat besar dan fungsi yang sangat super, manusia hanya tahu hasil apa yang akan keluar setelah program dijalankan, tapi tidak bisa melihat kode sumbernya, maksimal hanya memahami sepotong kecil saja, bahkan tidak akan berani mengubah kodenya, khawatir sedikit saja kesalahan pada kode yang saling bertautan satu sama lain, dapat menyebabkan rusaknya seluruh sistem, saya pikir seharusnya tidak ada orang yang akan merasa kemampuan menulis programnya lebih hebat dibandingkan dengan orang yang menciptakan program super ini bukan?

Dengan prinsip yang sama, “program” 3 miliar kode DNA yang ditulis dengan empat kode ATCG, proses yang telah menciptakan mekanisme yang sempurna, kecerdasan tingkat tinggi, serta kondisi kehidupan dari umat manusia yang stabil, benarkah ini hanyalah hasil dari serangkaian kebetulan dan tindakan acak saja?

Stabilitas DNA yang Sangat Kuat

Masih ada satu lagi fungsi replikasi yang sangat kuat pada DNA. Ketika satu sel membelah diri menjadi dua, DNA segera mereplika, membuat kedua sel tersebut memiliki DNA yang sama persis. Begitu cepat proses ini sampai tidak cukup diungkapkan dengan secepat kilat, dan pada setiap kejap tubuh kita terus mengalami replikasi yang tak terhitung banyaknya. 

Akan tetapi, misalkan ada seorang programmer, dalam satu detik dapat mengetuk satu kode DNA, setiap hari tidak berhenti mengetuk selama 8 jam, selama 365 hari tanpa istirahat, mengetuk habis kode DNA dalam sebuah sel membutuhkan waktu 57 tahun lamanya. 

Tentu saja, ada orang akan berkata, saya menyimpan seluruh kode DNA manusia di komputer, lalu mereplikasinya dengan komputer super, itu hanya butuh waktu sepersekian detik saja. Mungkin memang demikian, tapi pembaca perlu diingatkan disini, ini jauh lebih lambat daripada replikasi oleh DNA itu sendiri di dalam sel, dan komputer super adalah hasil ciptaan manusia sebagai makhluk yang berakal cerdas seperti ini.

Ada satu hal penting lagi yang tidak bisa diabaikan, DNA memiliki sistem reparasi atau penyembuhan diri yang sangat kuat. Penelitian ilmiah menemukan, DNA mampu melakukan reparasi atau penyembuhan diri setelah mengalami kerusakan atau saat terjadinya kesalahan saat replikasi, termasuk reparasi dislokasi, reparasi pemotongan, perbaikan restrukturisasi dan lain sebagainya, metode yang diketahui ada 140 macam, bila tidak dapat diperbaiki, sistem reparasi DNA akan menginisiasi mekanisme eksekusi sendiri: Tidak bisa diselamatkan lagi, agar informasi genetik yang salah ini tidak menyebar luas, maka sel tersebut akan mengorbankan dirinya dengan membawa serta DNA yang rusak itu. Sejujurnya, hingga saat ini seorang programmer yang paling handal sekalipun tidak mampu menulis program “secerdas” ini.

Replikasi yang super akurat dan sistem reparasi diri DNA sebenarnya telah secara kuat menjamin stabilitas informasi genetik, jadi untuk mengalami suatu mutasi gen yang revolusioner seperti yang disebutkan dalam teori evolusi, dan menimbulkan efek positif, serta dapat diwariskan turun menurun dengan stabil, sepertinya kemungkinan ini teramat sangat kecil. 

Human Genome Project” mendapati bahwa, sejak awal timbulnya manusia hingga berkembang seperti sekarang ini, setelah melalui proses turun temurun selama puluhan ribu generasi, manusia di seluruh dunia, terlepas dari kawasan dan ras apapun, perbedaan kode DNA-nya hanya sekitar satu per seribu. Dan perbedaan satu per seribu ini, hanya menciptakan karakter yang berbeda antara “kau, aku, dan dia”, dan tidak menimbulkan spesies yang baru.

 Benarkah Kera Dapat Berubah Menjadi Manusia?

Karena teori evolusi tak henti-hentinya memberitahu semua orang bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera, karena rasa penasaran, penulis sempat mencari data mengenai jumlah kromosom pada makhluk primata, walhasil cukup mengejutkan. Ternyata, jumlah kromosom antara sejumlah makhluk ini selisihnya adalah sebanyak sebagai berikut, misalnya:

Manusia 46 buah

Makaka 42 buah

Monyet bajing 44 buah

Monyet rhesus 42 buah

Monyet Capuchin 54 buah

Simpanse 48 buah

Mari kita berasumsi bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera yang memiliki kromosom sebanyak 21 pasang, maka agar kromosom ini dapat berubah menjadi 23 pasang, pasti telah terjadi perubahan gen yang luar biasa besar.

Diasumsikan dalam sel di tubuh seekor kera betina jumlah kromosomnya 21 pasang atau 42 buah, dalam sekejap semuanya berubah menjadi 23 pasang atau 46 buah seperti yang dimiliki manusia, untuk membuat jumlah kromosom ini dapat terus diwariskan turun temurun, maka harus ada seekor monyet jantan yang mengalami perubahan yang sama persis, berubah menjadi seperti kera betina dengan 23 pasang kromosom dan sepasang kera ini harus berpasangan, sehingga generasi penerus mereka dapat mempertahankan 23 pasang kromosom. Jika tidak, maka hanya akan ada 21 pasang kromosom ditambah dengan beberapa kromosom yang tidak dapat berpasangan.

Sebenarnya, dari sudut pandang ilmu genetik, dalam proses kromosom sel diwariskan pada generasi berikutnya, menambah atau mengurangi “satu batang” sekehendak hati, bahkan “setengah batang” sekali pun akan menimbulkan dampak yang sangat serius! Contoh yang tipikal adalah “down syndrome”, pasien penyakit ini mengalami kelebihan satu kromosom yakni kromosom 21, di dalam tubuhnya terdapat 47 kromosom. Penelitian medis mendapati, para penderita Down Syndrome memiliki risiko menderita penyakit bawaan lebih tinggi daripada orang pada umumnya.

Jadi menurut teori seleksi alam, kera yang kromosomnya mengalami pertambahan atau pengurangan akan semakin mudah tersingkirkan oleh alam. Kalau begitu, untuk membuat seekor kera berubah menjadi manusia sungguh sangat sulit. Hanya karena perubahan kromosom saja dapat membuat kera ambruk di jalan “evolusi”, bahkan kemungkinan akan mengalami kepunahan seluruh spesies akibat berbagai macam penyakit aneh.

Sampai disini, masihkan Anda ingat dua pertanyaan saya di atas? Yakin tidak ada orang akan menganggap daun-daun menyusun kata-kata “selamat pagi” adalah karena tiupan angin musim gugur secara kebetulan, juga tidak ada orang yang percaya bahwa kera secara serampangan dapat menulis “sistem operasi MacOS”. Di satu sisi, baik aksara maupun sistem, keduanya mengandung informasi kecerdasan, yang tidak bisa diciptakan secara sembarangan, di sisi lain, dari sudut pandang matematika murni, probabilitas terjadinya hal itu juga hampir mendekati nol.

Sekarang mari kita lihat lagi kode DNA makhluk hidup yang rumit dan besar itu, apakah Anda dapat memahami, mengapa para ilmuwan seperti Profesor Collins, semakin mendalami penelitian semakin menemukan jejak Tuhan berada dimana-mana? (SUD)