WSJ : Sulit Ditagih, Beijing Bahas Peluncuran OBOR Versi 2.0 Dengan Memperkecil Skala

NTD

Inisiatif “Sabuk dan Jalan” (One Belt One Road. OBOR) yang gencar dipromosikan oleh pemerintah Tiongkok telah membuat banyak negara terbebani hutang yang berat, dan pemerintah Tiongkok sendiri kini juga menghadapi dilema dalam penagihan pembayarannya. Pada 27 September, Wall Street Journal mengungkapkan bahwa pihak berwenang Beijing sedang membahas OBOR versi 2.0 yang lebih konservatif, yang bertujuan untuk mengadakan penyesuaian yang diperlukan sekaligus memperkecil skalanya.

Menurut Wall Street Journal, bahwa pemerintah Tiongkok telah menghabiskan dana sebesar USD. 1 triliun guna mempromosikan pembangunan infrastruktur melalui proyek OBOR dengan tujuan untuk memperluas pengaruhnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun, perlambatan ekonomi global, ditambah lagi dengan kenaikan suku bunga dan inflasi yang melonjak, telah menyulitkan banyak negara untuk membayar kembali pinjaman mereka. Dana pinjaman berjumlah puluhan miliar dolar AS yang digelontorkan Tiongkok kini telah berubah menjadi kredit macet, dan banyak proyek pembangunan terhenti. Baru-baru ini, seorang sumber yang terlibat dalam pengambilan keputusan membocorkan informasi bahwa pemerintah pusat Tiongkok sedang membahas soal penyesuain yang konprehensif terhadap inisiatif OBOR yang sedang bermasalah.

Menurut laporan sumber tersebut bahwa pihak berwenang saat ini sedang membahas rencana yang lebih konservatif, yang dikenal dalam diskusi internal sebagai “OBOR 2.0”, “Rencana baru akan mengevaluasi proyek pinjaman baru dengan aturan yang lebih ketat. 

“Tampaknya mereka (pejabat Tiongkok yang terlibat dalam pembahasan) juga lebih terbuka untuk membahas kasus-kasus yang sebelumnya enggan disinggung tentang kerugian dari pemberian pinjaman dan negosiasi untuk restrukturisasi utang”, katanya.

Bank-bank Tiongkok telah secara tajam mengurangi pemberian pinjaman untuk pembangunan proyek-proyek baru di negara-negara berpenghasilan rendah, karena mereka sedang berfokus untuk membersihkan portofolio pinjaman macet mereka, kata laporan itu.

Menurut ekonom Sebastian Horn, Carmen Reinhart dan Christoph Trebesch, hampir 60% dari dana pinjaman luar negeri Tiongkok sekarang berada di negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan.

Wall Street Journal mengungkapkan bahwa pemerintah Tiongkok terpaksa harus bekerja sama dengan lembaga internasional seperti Paris Club yang sejak lama ditolaknya. Saat ini, otoritas Beijing sedang berkoordinasi dengan anggota Kelompok 20 (G20) untuk merundingkan keringanan utang bagi beberapa negara. Dan, proses tersebut dapat memaksa bank-bank Tiongkok untuk menelan kerugian yang sebenarnya sangat tidak diinginkan oleh industri perbankan.

Menurut laporan itu, eksekutif senior perbankan Tiongkok yang ikut dalam diskusi internal  mengungkapkan bahwa pada awal tahun 2017, eksekutif perbankan senior telah mengajukan keberatan kepada pihak berwenang untuk menyalurkan pinjaman kepada negara peserta proyek OBOR yang akan sulit dalam penagihannya, bahkan beberapa bank pernah mengancam untuk menghentikan pinjaman. Para eksekutif tersebut pada saat itu mengatakan bahwa pinjaman baru akan dirilis kecuali atas kehendak regulator (bank tidak akan bertanggung jawab jika mereka gagal bayar).

Kementerian Keuangan Tiongkok bersikap “no comment” terhadap perbankan Tiongkok menanggung kerugian atas pinjaman yang diberikan untuk proyek-proyek OBOR.

Sebelumnya, beberapa pemimpin Barat mengkritik Inisiatif OBOR Tiongkok sebagai bentuk “diplomasi perangkap utang”. Banyak ekonom dan investor juga mengkritik penyaluran pinjaman Tiongkok karena memicu krisis utang di tempat-tempat seperti Sri Lanka dan Zambia.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa Xi Jinping dalam Forum OBOR yang diadakan pada bulan November 2021 menyebutkan bahwa perlu untuk secara komprehensif memperkuat pencegahan dan pengendalian risiko serta memperluas kerja sama.

Zhong Weifeng, seorang peneliti di Mercatus Center dari Universitas George Mason, Amerika Serikat mengatakan, dulu Beijing mengklaim dana pinjaman dari Tiongkok sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi negara-negara penerima, tetapi sekarang telah mulai menekankan “manajemen risiko”. dan “pengendalian risiko”. Peningkatan kerja sama internasional menunjukkan bahwa pihak berwenang Tiongkok berusaha memperbaiki haluan.

Wall Street Journal mencoba memverifikasi informasi di atas dengan Dewan Negara Tiongkok, Kementerian Keuangan, People Bank of China dan beberapa bank yang terlibat dalam menyalurkan pinjaman buat proyek OBOR, tetapi tidak mendapat tanggapan sama sekali. (sin)