Manusia Pasti Menaklukkan Alam adalah Dusta Besar, Kembali ke Kesejatian dan Kebenaran

DR Xie Tian

Tiongkok di bawah kekuasaan partai komunis menjadi dikenal dunia sebagai negara yang penuh dengan kebohongan dan kekerasan serta kekonyolan dan kesalah-tafsiran, kini mahluk nyeleneh di seluruh dunia ini kembali menambahkan corak baru, yakni kalangan akademisi PKT (Partai Komunis Tiongkok) di luar dugaan melontarkan “makalah ilmiah” yang berjudul “Marxisme Harus Memenangkan Perang Melawan COVID-19”. Jurnal akademis (edisi filsafat dan ilmu sosial) dari Nanning Normal University pada Volume 41 Edisi III Mei 2020 lalu telah memublikasikan “tesis” yang ditulis oleh Liu Guojing dan Liu Yawen masing-masing dari Institut Pariwisata dan Akademi Marxisme pada Changchun University, berjudul “Kepercayaan Marxisme: Kekuatan Inner Power yang Memenangkan Perang Melawan Pandemi Covid.”

Permasalahan yang menyangkut hubungan antara kepercayaan, keyakinan dan agama, dengan penyakit, virus, dan lahir-tua-sakit-mati dari umat manusia, adalah topik yang banyak disoroti dan hangat dibahas dalam sejarah umat manusia dari zaman kuno hingga zaman kini. Seluruh agama dan kepercayaan ortodoks (murni) yang ada selalu menekankan antara Langit/alam dengan manusia menyatu, dan hubungan antara materi dengan spiritual, serta hubungan sakit pada tubuh dengan moralitas manusia, serta masalah serangan virus dari luar dengan karma diri dan daya tahan tubuh.

Orang yang percaya Langit/alam dan manusia menyatu, jiwa dan raga menyatu, materi dan spirit menyatu, dengan sendirinya percaya hubungan penyakit dengan karma dan unsur jahat dari luar, juga memahami prinsip keyakinan yang lurus, kultivasi, dan Qigong (baca: chikung, red.) dapat menyembuhkan penyakit.

Namun kaum proletar revolusioner seperti PKT yang menganut ateisme, dan meyakini teori evolusi, mereka tidak percaya Tuhan, tidak percaya reinkarnasi, malahan menekankan pembantaian, pertarungan, revolusi dan aksi jahat lainnya, hal-hal tersebut sungguh jauh dari pengobatan penyakit – menolong manusia dan prihatin alam sekitar – belas kasih antar manusia.

Marxisme dan komunisme sangat bertentangan dengan semua agama kepercayaan ortodoks, kedua paham tersebut mempromosikan ateisme dan teori evolusi, bahkan menentang ajaran Tuhan, adalah dalang kejahatan yang menghancurkan kepercayaan manusia dan menyebabkan merosotnya moral dan etika. Marxisme, penganut ateisme, dan teori komunisme telah merusak hubungan tubuh dengan kesadaran dan hubungan materi dengan spirit; mereka beranggapan materi adalah yang primer, sedangkan kesadaran adalah yang sekunder, materi lebih dulu ada daripada kesadaran, materi yang menentukan kesadaran; mereka juga beranggapan manusia tidak memiliki roh, setelah tubuh mati maka semuanya tak eksis lagi. Jika benar demikian, lalu bagaimana mereka bisa mengatakan yang disebut dengan “kepercayaan” seperti marxisme, konten dari bidang semacam spiritual dan kesadaran, yang dapat “mengalahkan” semacam penyakit dan penderitaan berupa materi pada tubuh? Bukankah mereka menampar wajahnya sendiri bahwa dengan mempropagandakan spirit dapat menentukan materi?!

Istilah “kekuatan timbul dari dalam” yang disebutkan PKT dan para akademisinya yang tidak berhati nurani itu, juga sangat ambigu, tidak jelas juntrungannya dan tak bisa dipahami. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kekuatan timbul dari dalam”? Apakah spirit, kesadaran, atau roh? Apakah mereka berani mengakui keberadaan roh, mengakui spirit dan kesadaran independen dari tubuh yang berupa materi, dan eksis lebih dulu daripada materi? Para penganut komunisme di RRT konsep yang tidak benderang, berpikiran kacau balau dan tak memiliki, dan tak mampu membuat argumen atau kebohongannya tanpa celah, dari hal-hal tersebut dapat disimpulkan keseluruhannya.

Tetapi yang diwakili dalam “tesis akademis” PKT ini, adalah teori sesat dan menyimpang bahwa “manusia mengalahkan Langit (manusia dapat menaklukkan alam)” yang telah lama beredar dan meracuni Tiongkok secara luas. Selama seratus tahun PKT mencengkeram Tiongkok ia terus menerus mempropagandakan “manusia dapat menaklukkan alam”, dan menyombongkan diri bahwa “bertarung dengan langit dan bumi adalah kebahagiaan tak terhingga.” Mereka melihat semut di atas tanah, melihat semut sangat kecil, dengan menyiram seember air dapat menciptakan banjir besar di dunia semut, menuangkan beberapa sekop tanah dapat mengakibatkan gempa di dunia semut, sehingga membuat satu persatu dunia semut musnah. Perbedaan dan jarak antara Tuhan dengan manusia, mana bisa dibandingkan dengan perbedaan antara manusia dengan semut? Tetapi jika dunia semut sesumbar dengan berujar “semut pasti dapat mengalahkan manusia”, apa yang akan dipikirkan manusia? Bagaimana mungkin manusia mengalahkan Langit? Akibat dari merusak hati umat manusia, memusnahkan kepercayaan ortodoks (murni), melecehkan Tuhan, dan menghujat Tuhan, dapat berakibat fatal. Manusia berbuat, Tuhan melihat, kejahatan pasti akan menuai imbalan; bukan tak ada balasan, hanya waktunya saja yang belum tiba.

Melihat 5.000 tahun peradaban masyarakat manusia sekarang ini, umat manusia selamanya tidak pernah “menang/menaklukkan” Langit (alam). Seorang sahabat pena dari Amerika Serikat membahas tentang pengelolaan padang pasir Amerika, dan Las Vegas sebagai “kota padang pasir” negara bagian Nevada adalah contohnya, ada orang yang beranggapan bahwa ini adalah contoh nyata “manusia dapat menaklukkan alam”, karena sejak pertengahan abad ke-19, orang AS telah menghabiskan waktu selama seabad untuk mengubah sebuah wilayah setengah gurun yang tidak bisa ditumbuhi apapun itu menjadi sebuah kota metropolitan internasional sekaligus kota judi yang modern. Tapi sahabat pena ini dengan tepat menjelaskan, sebenarnya dilihat dari skala keluasannya, dibandingkan dengan padang pasir di negara bagian Nevada, luas Kota Las Vegas sama sekali tidak layak dibandingkan. Padang pasir Nevada yang terbentuk secara alami, hanya secuil kawasan di tenggaranya saja yang diubah menjadi kota, sementara sebagian besar padang pasirnya masih tetap seperti semula. Kota judi itu disebut juga “kota dosa”, hanya bisa mempertahankan eksistensinya dari sektor perjudian. Dengan teknologi dan kekuatan finansialnya, AS telah menghabiskan waktu dua abad, tidak juga mampu mengubah padang pasir menjadi oasis.

Ada pula warga Tiongkok mengemukakan contoh bahwa PKT mengelola gurun pasir di Mongolia Dalam, dikatakan berkat “kepemimpinan” PKT, segenap kekuatan dihimpun untuk merampungkan misi akbar, melakukan reboisasi menumbuhkan hutan di padang pasir Mongolia Dalam, mengelola gurun, dan telah meraih prestasi yang gemilang. 

Faktanya adalah: Empat gurun pasir di Mongolia Dalam selain Badain Jaran, tiga padang pasir lainnya yakni Tengri (Tengger), Ulaanbuh, dan Kubuqi, tadinya bukan terbentuk secara alami, melainkan akibat dirusak oleh manusia. Manusia hanya menghentikan pengrusakan terhadap ketiga gurun tersebut lalu membantunya mengembalikan ke kondisi aslinya saja; yang “dikalahkan” manusia bukan jagad raya ini, melainkan umat manusia itu sendiri!

Setengah abad lalu, seorang ilmuwan secara heboh menjelaskan, “Manusia melawan alam, berarti melawan dirinya sendiri.” Zat kimia DDT yang dipergunakan luas selama PD-II, adalah insektisida yang sangat efektif, ampuh dan sangat murah pada masa itu, serta sangat berguna untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. DDT telah membuat kebun zaitun di Yunani meningkat seperempat hasil panennya, membuat 500 juta orang terbebas dari penyakit tipes dan kolera, tapi bahayanya terhadap lingkungan hidup dan tubuh manusia justru telah diabaikan. Hingga era 1960-an masyarakat barulah menyadari bahwa insektisida jenis DDT telah merusak flora dan fauna, mencemarkan tanah, sumber air, dan juga makanan; di tengah pencemaran industri dan insektisida, maka bertambah lagi risiko penyakit pada manusia. Jika manusia berupaya mengendalikan alam, dengan merusak kestabilan alami ekosistem, pada akhirnya juga akan berdampak pada manusia sendiri.

Manusia bijak mengingatkan, air bah yang terjadi pada 5.000 tahun silam, adalah bencana yang bersifat memusnahkan, dan tidak ada peluang untuk menyelamatkan diri, di Tiongkok hanya ada segelintir orang yang beruntung lolos dari maut karena menyelamatkan diri ke Gunung Kunlun, di Barat ada keluarga Nabi Nuh yang selamat. “Manusia mengalahkan Langit”, apakah manusia telah mengalahkan alam? Tentu saja tidak, hanya air bahnya saja yang kemudian surut dengan sendirinya, segelintir orang berhati bajik telah berhasil diselamatkan.

Merebaknya penyakit pes di Eropa, flu Spanyol yang melanda dunia pada 1918, Peristiwa Bukit Kematian di India 3.600 tahun silam menyebabkan Mohenjo-Daro musnah dalam semalam, tragedi Tunguska di Rusia, gempa super dahsyat beskala Richter 9,5 ditambah letusan gunung berapi dan tsunami di Chili pada 1960, hampir sepenuhnya menghancurkan sebuah kota, masyarakat mempunyai banyak dugaan atas misteri ini, namun pada akhirnya tidak mengetahui fakta, juga tidak mampu mencegah terjadinya lagi peristiwa serupa. Apakah “manusia telah menaklukkan alam”? Tidak.

Di Tiongkok, hal yang kerap dikaitkan dengan “manusia mengalahkan Langit” adalah “hujan buatan”, dan “rekayasa cuaca”. Namun hujan buatan atau rainmaking atau cloud seeding, sebenarnya adalah pada kondisi di langit ada awan, lewat campur tangan manusia dilakukan katalisasi hujan, dengan cara menurunkan suhu pada lapisan awan, agar tetesan air kecil di awan menggumpal menjadi tetesan besar, sehingga tercapailah tujuan menurunkan hujan. Jika tidak ada awan, atau di dalam awan tidak terdapat cukup uap air, manusia tidak akan mampu memaksakan turun hujan. Efektivitas hujan buatan, hingga kini belum bisa dipastikan, hanya Badan Meteorologi RRT dan negara-negara tertentu lainnya merasa sudah sering berhasil melakukannya, tapi kalangan akademisi internasional menilai, efektivitasnya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.

“Manusia mengalahkan Langit”, jika dipahami secara harfiah, sepertinya maknanya adalah “manusia dapat mengalahkan Langit/alam”. Namun sebenarnya adalah kesalah-tafsiran masyarakat modern terhadap zaman dulu, yang sekarang justru sengaja didistorsi dengan maksud tertentu. “Manusia mengalahkan Langit” juga merupakan pernyataan kuno, masa beredarnya setidaknya sekitar delapan ratus tahun, atau lebih dari seribu tahun. Tetapi seperti diketahui, di Tiongkok zaman kuno, “Langit” adalah keberadaan maha tinggi, Sang Penguasa manusia yang paling tinggi — raja/kaisar pun hanya disebut “Putra Langit”. Di era memuja Langit dan Dewa, bagaimana mungkin ada manusia berani sesumbar “manusia pasti dapat mengalahkan Langit”? Para filsuf dan kultivator di era Tiongkok kuno, mengemukakan konsep “Langit dan manusia menyatu”, maknanya adalah manusia hidup berdampingan secara harmonis dengan alam, manusia dapat berkultivasi kembali ke Langit, dan tidak mungkin saling menyingkirkan satu sama lain, satu pihak (manusia) menekan pihak yang lain (alam).

Dalam aksara Mandarin, pemahaman yang benar atas makna asal “manusia mengalahkan Langit” adalah, pertama-tama manusia harus mengetahui cara membaca kata-kata ini dengan benar. “Manusia pasti mengalahkan Langit” dalam aksara Mandarin adalah “人定勝天 (rén ding sheng tiān)”, cara membaca yang benar seharusnya adalah dipisah antara “人定 (rén ding)” dengan “勝天 (sheng tiān)”; dan bukan dipisahkan menjadi “人 (rén)”, “定 (ding)”, dan “勝天 (sheng tiān)”. Karena hanya dengan cara membaca yang benar “定 (ding)” yang seharusnya sebagai kata kerja yang menjelaskan perilaku manusia, tidak salah dipahami sebagai kata keterangan “一定 (yi ding)” yang bermakna “pasti”.

Kedua, pemahaman makna sebenarnya dari “人定勝天” harus dimulai dari makna dasar “定 (ding)” dan kata “勝 (sheng)”. Dalam kitab “Shuowen Jiezi Zhu” karya Duan Yucai di masa Dinasti Qing, makna “定 (ding)” adalah “tenang”. Arti kata “勝 (sheng)” adalah “unggul”. Jadi, kata-kata “人定勝天” pada era Tiongkok zaman dulu, sama sekali tidak sama dengan pemahaman manusia modern saat ini, melainkan “manusia, jika bisa tenang, menjaga hati, maka akan sejalan dengan kehendak Langit”, begitu makna sebenarnya. Ada pula cendikiawan mendefinisikan, “人定勝天” yang benar adalah “hati manusia tenang, masing-masing mawas diri, maka akan unggul di atas segalanya, itu jauh lebih penting dari apapun”. Ini juga tergolong pernyataan dari sebuah aliran.

Tentu saja, dalam aliran Buddha ada penjelasan lain untuk kata-kata “人定勝天”, yaitu “apabila manusia tenang, maka dapat melampaui reinkarnasi, dan melampaui takdir”, maksudnya adalah seorang kultivator setelah mencapai keheningan yang tenang, dapat terbebas dari ruang lingkup alam semesta tertentu, maka dapat mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Penjelasan ini juga sama sekali berbeda dengan pemahaman manusia modern yang mengatakan “manusia mengalahkan Langit”.

Dengan kata lain, makna sebenarnya dari kata “人定勝天”, bukan berarti manusia pasti dapat mengalahkan Langit (menaklukkan alam), juga bukan dengan kemampuan manusia dapat mengubah segala sesuatu di alam semesta ini, tapi manusia harus tenang dan damai, menenangkan diri, mengikuti kehendak Langit, eksis secara harmonis dengan alam ini. Inilah makna sejati dan sesungguhnya dari “人定勝天 (rén ding sheng tiān)”.

Yang sangat disayangkan adalah, hari ini, “人定勝天” telah didistorsi oleh manusia, dan dimanfaatkan oleh kejahatan, telah berubah menjadi semacam teori sesat yang penuh dengan penistaan, dan meracuni seluruh rakyat Tiongkok. Pada dasarnya, pemahaman sesat ini sebenarnya adalah pengembangan dan kelanjutan dari ateisme dan teori evolusi, mereka percaya bahwa manusia adalah hasil dari “evolusi”, mengira suatu saat di masa mendatang akan dapat melampaui Tuhan, mengalahkan Tuhan, dan menaklukkan alam semesta.

Hari ini di masa akhir zaman ini, umat manusia telah berada dalam kondisi teramat berbahaya, pandemi, penyakit, gempa bumi, banjir bandang, bencana dan malapetaka datang menimpa silih berganti. Bagi manusia yang dihadapkan pada marabahaya ini, kembali ke jalan Tuhan adalah hal pertama yang harus dilakukan.

Jadi, teori sesat “manusia pasti mengalahkan Langit (manusia pasti dapat menaklukkan alam)” (“人定勝天”) harus dikubur dalam-dalam; kalimat “人定勝天 (rén ding sheng tiān)” sebagai kebohongan terbesar dunia yang disebarluaskan, harus segera dibantah dan dihentikan. Umat manusia harus meluruskan kembali dan membersihkan perilaku serta pikiran, kembali ke prinsip dan keyakinan pada ke-Tuhan-an yang benar dan sejati, barulah dapat menemukan jalan keluar yang sesungguhnya. (sud)