Kesalahan AS Menyebabkan Kehilangan 2 Negara

Beijing Mempromosikan Perubahan 1 Abad

DR Xie Tian

Usulan yang diajukan selama kunjungan Xi Jinping ke Rusia, sepertinya tidak mendapatkan tanggapan antusias dari Putin. Setelah itu Menlu AS Blinken menyampaikan pidatonya dan menyatakan, Xi Jinping mendukung Rusia menginvasi Ukraina, melindungi dan membiarkan Putin melakukan agresi, serta Xi Jinping dan Putin sedang mengulur waktu, mereka menggunakan taktik poros yang membodohi dunia. 

Berfokus pada mengalahkan Putin, namun menjadikan LGBT dan sejenisnya sebagai inti dari kebijakan diplomatik AS (perkataan Blinken), serta tidak benar-benar mengenali bahwa musuh AS dan dunia yang sebenarnya adalah PKT (Partai Komunis Tiongkok), ini adalah hal yang paling salah arah pada penguasa sayap kiri Gedung Putih saat ini. 

Karena AS mencurahkan energinya pada Ukraina, serta berfokus pada menjatuhkan Rusia, inilah alasan sesungguhnya yang menyebabkan PKT mendapatkan peluang besar, dan mengambil kesempatan dalam kesempitan, bahkan memperoleh kemajuan dalam diplomatiknya. 

Mantan penasihat keamanan nasional AS John Bolton telah menyebutkan intinya: “Ancaman sesungguhnya bagi Barat adalah aliansi PKT dengan Rusia, bukannya Perang Ukraina.” Bolton menilai negara poros yang baru akan segera terbentuk, yakni Poros RRT – Rusia.

Kunjungan Xi Jinping ke Rusia, dengan rencana menjadi penengah dalam perang Rusia-Ukraina mungkin gagal, tapi akibat kesalahan strategi Gedung Putih, hingga membuat Moskow telah didorong merapat pada Beijing, sehingga RRT dan Rusia pun saling berangkulan,serta membentuk kubu ekonomi bersama yang kuat. 

RRT dan Rusia pada tingkat ekonomi memiliki fungsi saling melengkapi yang cukup kuat, Rusia dapat memasok bahan makanan, energi, sumber daya alam, serta teknologi militer dan dirgantara terbatas, sedangkan RRT dapat memasok makanan, pakaian, produk industri ringan seperti elektronika, peralatan permesinan, otomotif dan lain-lain, bisa mengisi kekosongan produk high-end Eropa yang ditarik dari Rusia dengan produk menengah ke bawah. Yang tidak bisa dipasok Beijing, yang sangat dibutuhkan oleh RRT dan Rusia, adalah cip canggih, elektronik, digital, komputer, dan sensor serta alat medis, juga peralatan permesinan yang presisi. 

Jika RRT sama seperti Rusia, yang pada akhirnya decoupling dengan Barat, kawasan yang sangat luas di timur dan tengah dataran Eurasia, mungkin akan sangat ketinggalan dibandingkan dengan Eropa dan AS serta belahan dunia lainnya, tapi mereka mungkin dapat tetap eksis di tengah “lingkup kecilnya” sendiri, dan terus menantang Barat dengan kemampuan swadayanya.

Xi Jinping mengatakan pada Putin, “Perubahan yang tidak pernah terjadi selama seratusan tahun ini telah tiba, mari kita wujudkan bersama.” Apa yang dimaksud oleh Xi Jinping tentang “perubahan yang tidak pernah terjadi selama seratus tahun”? 

Dalam satu abad terakhir, apa yang terjadi pada umat manusia? Siapakah kekuatan inti yang akan mendominasi tatanan dunia? Tentu saja negara Amerika Serikat. Dalam seratus tahun terakhir, sejak 30 Desember 1922 saat berdirinya Uni Republik Sosialis Soviet (USSR), hingga 1 Oktober 1949 berdirinya RRT, lalu sampai sekarang tahun 2023, adalah masyarakat bebas yang dipimpin AS, yang selama seratus tahun telah bertarung melawan komunisme internasional. 

Pertarungan ini telah berlangsung genap seratus tahun, walaupun sebelum 1991 negara komunis Uni Soviet beserta Block Eropa Timurnya telah runtuh, tapi PKT masih bertahan hingga kini. Hingga 2023 hari ini, iblis merah berusia seabad itu telah sampai ke titik akhir. Namun  komunis tidak akan berinisiatif mundur dari pentas sejarah, ia akan mencengkeram segala peluang yang ada untuk menerkam balik, bahkan berupaya untuk “mendorong perubahan”, agar komunisme dapat terus eksis. Ini adalah makna terselubung dari “perubahan yang tidak pernah terjadi selama seratus tahun” yang hendak dipromosikan oleh Xi Jinping.

Selama setahun terakhir, AS setidaknya telah kehilangan dua tuas utama, kedua tuas ini berhubungan dengan “timur” (east), juga berkaitan dengan PKT. Tuas yang pertama adalah Arab Saudi di Timur Tengah (Middle East) dan yang kedua adalah Ukraina di Eropa Timur (Eastern Europe). Pada saat AS kehilangan kedua tuas ini, PKT justru telah berhasil merebut “wilayah”, semakin merajalela, dan sekarang telah mulai berkoar hendak mendorong “perubahan satu abad”.

Hubungan AS dengan Arab Saudi, berawal sejak 1933, waktu itu AS dan Arab Saudi telah membangun hubungan diplomatik menyeluruh, dan pada 1951 menandatangani “Mutual Defense Assistance”. Walaupun perbedaan antara kedua negara itu sangat banyak, namun Arab Saudi adalah negara monarki Islam yang sangat konservatif, dan AS adalah negara republik konstitusional yang sekuler, tapi kedua negara tetap mempertahankan hubungan persekutuan yang kokoh. 

Sejak era 1945-an, AS bersedia mengabaikan segala aspek kontroversi di pihak Arab Saudi, asalkan Arab Saudi dapat mempertahankan industri minyak buminya serta mendukung strategi keamanan global AS. Setelah PD-II, kedua negara terus bersatu menentang komunisme, mendukung kestabilan harga minyak dan ladang minyak serta pengiriman minyak mentah di Teluk Persia. Arab Saudi juga secara stabil dan terus menerus berinvestasi di negara Barat. Antara 2015 hingga 2021 pemerintah AS telah memberikan bantuan militer senilai 54 milyar dolar AS (818 triliun rupiah, kurs per 27/03) bagi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Tentu saja terdapat perselisihan kedua negara pada masalah Israel, bahkan sempat terjadi embargo minyak pada 1973. Peristiwa terorisme 9/11 membuat hubungan kedua negara memburuk, dan bahkan semakin memburuk lagi di masa pemerintahan Obama. Trump berkunjung ke Arab Saudi pada 2017, menjadikannya sebagai kunjungan luar negeri pertama setelah Trump menjadi presiden AS, demi mempererat hubungan yang penting ini. Semua presiden AS hingga presiden ke-45 yakni Trump, selalu menjaga hubungan erat dengan para pejabat senior dari Kerajaan Arab. Tetapi pada masa pemerintahan Biden, hubungan ini mulai berubah, hubungan AS dengan Arab Saudi mulai terjadi keretakan, maka PKT pun memanfaatkan peluang ini.

Hubungan Arab Saudi dengan Iran, pada dasarnya adalah hutang lama sejarah yang telah mengusik dunia Islam, dan teramat rumit. Karena penafsiran terhadap “Al Quran” dalam agama Islam, perebutan kekuasaan pemimpin dunia Islam antara kaum Sunni dengan kaum Shi’ah, kebijakan ekspor minyak bumi serta hubungan dengan AS dan negara Barat lainnya, hal ini menyebabkan timbulnya perselisihan geopolitik yang besar antara kedua negara. Perbedaan dalam hal agenda politik, ditambah dengan semakin dalamnya perselisihan dalam hal agama, kedua pihak dipenuhi dengan ketegangan, pertentangan dan saling bermusuhan.

Arab Saudi adalah negara asal agama Islam, kaum Sunni yang berasal dari kawasan ini juga merupakan kaum mayoritas, dan paling berpengaruh di dunia Islam. Iran adalah negara mayoritas kaum Shi’ah, dan kaum Shi’ah memiliki pengaruh yang besar di dunia Islam. Kedua negara pernah bersekutu dengan Barat pada masa Perang Dingin AS dengan Uni Soviet, demi mencegah masuknya ekspansi komunisme Soviet. Namun pada 1979 meletus Revolusi Islam di Iran, dan menjadi Negara Republik Islam Iran yang menggabungkan politik teokrasi dengan pemilu demokrasi, dan hubungannya dengan Barat mulai memburuk. Setelah itu, Arab Saudi lebih condong bersekutu dengan AS, Inggris, dan Uni Eropa, sementara Iran lebih condong bersekutu dengan RRT dan Rusia. Pada 2016 Arab Saudi mengeksekusi seorang pemuka agama kaum Shi’ah, dan hal ini memicu protes dan unjuk rasa di Negara Iran, Kedubes Arab Saudi di Teheran diserang dan dijarah, langsung setelah itu Arab Saudi pun memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran.

Swiss pernah berupaya memanfaatkan Kedubes Swiss di Arab Saudi dan Iran untuk menjembatani komunikasi antara kedua negara. Tetapi pada 10 Maret 2023 lalu, dengan ditengahi oleh RRT, utusan Arab Saudi dan Iran berdialog selama empat hari di Beijing, dan telah bersepakat untuk membangun kembali hubungan diplomatiknya, dan membuka kembali kedubes masing-masing.

Selama ini PKT adalah pendukung setia Iran, yang selalu memanfaatkan sikap Iran yang menentang AS, dan berpihak pada Iran melawan AS. Beijing telah mencengkeram kelemahan AS, memanfaatkan keretakan antara pemerintahan Biden dengan Arab Saudi, dan berhasil menggandeng Arab Saudi, untuk bersama-sama merusak AS, serta menjadikan PKT tiba-tiba dapat memainkan peran utama dalam masalah Timur Tengah, dan menarik sekutu utama AS di Timur Tengah yakni Arab Saudi, yang secara mendadak menjalin hubungan bersahabat dengan musuh AS! Pada saat ini Arab Saudi telah bersiap berinvestasi besar di Iran. Pemandangan di Timur Tengah yang mencengangkan ini dan berhasilnya PKT melakukan serangan menyelinap, tidak diragukan menjadi tamparan yang telak bagi Pemerintah Biden.

AS juga membuat kesalahan strategi serius pada Perang Rusia-Ukraina, mengabaikan bahwa Rusia sudah bukan lagi rezim komunis, dan realita bahwa partai komunis PKT-lah musuh terbesar AS dan umat manusia, serta berkehendak menjadikan kehancuran Rusia sebagai sasaran akhir, AS telah kehilangan sasaran strategis melawan komunisme. 

Setelah berperang selama setahun, ekonomi Rusia belum juga hancur, mata uang Rubel Rusia juga tidak melemah secara signifikan, energi Rusia terus diekspor ke Asia bahkan Eropa. Walaupun mayoritas negara yang bergabung di PBB menentang invasi Rusia terhadap Ukraina, namun mayoritas negara besar dunia, kecuali negara Eropa sekutu AS, tidak ada yang ikut bergabung dalam sanksi ekonomi terhadap Rusia. Perang telah menyalakan mesin perang Rusia, produksi senjata berjalan cepat, rudal hipersonik mulai dilengkapi dan dipersiapkan, persenjataan nuklir pun mulai ditingkatkan. Yang paling parah juga paling berbahaya adalah, persis seperti yang dijelaskan oleh John Bolton, mantan penasihat keamanan AS, dukungan AS bagi Ukraina, dan hantaman terhadap Rusia, telah menyebabkan timbulnya “ancaman yang sesungguhnya bagi Barat” yakni aliansi RRT dengan Rusia.

Xi Jinping mengakhiri kunjungannya ke Rusia dengan skala tinggi, pernyataan panjang dipublikasikan pasca pertemuan Xi dengan Putin, dan mengecam AS dan NATO, tetapi dalam hal sorotan seluruh dunia terhadap krisis Ukraina belum berhasil diraih terobosan. 

Presiden Ukraina Zelenskyy telah menyampaikan pandangannya terhadap gencatan senjata, juga sedang menantikan tatapan mata Xi Jinping beradu pandang dengannya pada pertemuan online. Beijing telah mengajukan 12 usulan perdamaian Ukraina, semuanya ditolak oleh kedua belah pihak. Ukraina mengajukan rencana perdamaian untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, di antaranya 10 usulan pernah dikemukakan Zelenskyy pada KTT G20 Bali pada November tahun lalu lewat video streaming. 

Rencana perdamaian Zelenskyy termasuk mengambil alih kembali wilayah Ukraina, menuntut pasukan Rusia ditarik semuanya dari Ukraina, memastikan keamanan nuklir, memastikan ekspor bahan pangan Ukraina, dan perjanjian damai terakhir antara Rusia dengan Ukraina.

Di pihak RRT, walaupun ada sedikit keberhasilan di masyarakat internasional, yang membuat AS kehilangan dua “wilayah”, tapi Pemerintahan Xi jelas tidak berhasil dalam mediasi internasional. Dalam wawancara dengan media massa berbahasa Mandarin pada pertengahan Maret penulis pernah menjelaskan, pada dasarnya Beijing memiliki kesempatan menonjolkan pengaruh negaranya, tetapi mereka mungkin kehilangan peluang tersebut. Ukraina menuntut Rusia menarik pasukannya baru mau bernegosiasi, Rusia menuntut negosiasi tanpa menarik pasukannya, sedangkan AS mendukung sikap Ukraina. 

Jika Xi mempunyai kemampuan melobi yang kuat dengan wawasan internasional, maka selama tiga hari berada di Moskow, Xi seharusnya melobi Putin agar mau bersikap: Rusia menarik pasukan dari seluruh wilayah yang dikuasainya, memenuhi prasyarat Ukraina untuk berunding, tapi menuntut wilayah yang telah ditinggalkannya (empat wilayah yakni Donbas, Zaporizhia, Kherson, dan Luhansk) dijadikan sebagai zona demiliterisasi, serta dikawal oleh PBB dan pasukan perdamaian, baik Rusia maupun Ukraina tidak mempertahankan pasukan di zona tersebut; lalu setelah enam bulan PBB memprakarsai referendum bagi warga setempat, untuk memutuskan apakah mereka tetap berada di Ukraina atau bergabung dengan Rusia.

Terhadap usulan penulis ini, Putin mungkin akan menerimanya, karena warga Ukraina yang berbahasa Rusia di keempat wilayah tersebut adalah mayoritas, jika ia yakin warga di wilayah tersebut akan menyambut Pemerintah Rusia, maka ia akan menerima hasil referendum; dan jika hasil referendum adalah tetap tinggal di Ukraina, wilayah yang dikuasai Putin itu pun tidak akan bermanfaat, karena akan selalu mengalami perlawanan yang tak berkesudahan dari warga setempat. 

Usulan ini seharusnya juga tidak akan ditolak Ukraina, karena pasukan Rusia telah ditarik mundur, dan hak warga menentukan nasibnya sendiri tidak dapat disangkal. AS tidak akan menentang usulan yang dapat diterima oleh Ukraina ini, dan hanya akan membiarkannya. Hanya dengan cara ini, masyarakat internasional baru dapat melihat secercah harapan perdamaian. Namun, mungkin jalan pikIr PKT tidak seperti itu, mungkin juga tidak bernyali untuk mengajukan usulan seperti itu, maka hilanglah kesempatan untuk sekali lagi tampil.

Bagaimana pun juga, karena kesalahan AS sendiri, berturut-turut kehilangan tuas strategis di Timur Tengah dan juga Eropa Timur, yang terjadi adalah “tidak ada pahlawan di era ini, sehingga orang kecil yang bukan siapa-siapa bisa menjadi pahlawan” (kitab “Jinshu-Ruan Ji Zhuan / 晉書·阮籍傳”), memberi peluang pada PKT untuk menonjolkan diri, seolah telah menjadi pemeran utama bagi masyarakat internasional, dalam hal ini masyarakat internasional khususnya AS harus segera tersadarkan, dan bangkit dari kesalahannya. (sud/whs)