Drama Canggung Mulai Dipentaskan, Putin Tak Sudi Menjadi “Adik Kecil” Xi Jinping

Yang Wei

PKT berusaha memainkan peran sebagai “kakak”, yang membawa “adik kecil” Rusia untuk menantang AS dan negara Barat; akan tetapi Putin tidak sudi menjadi “adik kecil”. 

Selama ini PKT (Partai Komunis Tiongkok) dan Rusia saling memanfaatkan satu sama lain, tapi kini keduanya tengah sama-sama mengalami kesulitan, malahan ngotot berniat memanfaatkan pihak lain, dan mereka melanjutkan saling bermain drama yang memojokkan satu sama lain.

Putin Sengaja Meninggikan Posisinya

Rusia terjebak dalam Perang Ukraina dan sulit melepaskan diri, sepertinya lebih membutuhkan bantuan PKT, Istana Kremlin sebulan lebih awal telah mengumumkan berita rencana kunjungan Xi Jinping. 

Pemimpin PKT tentu saja sangat ingin menjadi “kakak”, dulu PKT pernah menyebut Rusia sebagai “kakak tertua”, Beijing juga mengakui kemerdekaan Mongolia Luar yang didukung oleh Uni Soviet, RRT berdiam saja setelah wilayah kedaulatannya yang luas di Vladivostok dan sekitarnya dicaplok oleh Uni Soviet, bahkan mewakili Uni Soviet sebagai proxinya berperang di Perang Korea, setelah itu masih mengalami pemerasan nuklir oleh Uni Soviet. 

Kini, PKT akhirnya juga mendapatkan kesempatan untuk menjadi “kakak tertua”; akan tetapi Putin malah sengaja hendak meninggikan posisinya sendiri.

Upacara penyambutan Putin seperti biasanya, sederhana dan singkat, Xi Jinping harus berjalan melalui lorong aula yang panjang, agar bisa tiba di samping Putin untuk berfoto bersama. Putin sengaja menciptakan suasana seperti itu, tidak seperti pertemuan dua kepala negara yang sederajat, lebih terasa seakan Putin memanggil, dan Xi Jinping sepertinya memperlihatkan ekspresi kurang senang, tetapi hanya bisa bersabar karena tidak berdaya.

Pada 20 Maret, saat Xi Jinping bertatap muka empat mata dengan Putin, keduanya saling menyebut “teman lama yang akrab”; akan tetapi pada 21 Maret, saat Xi Jinping masuk ke Istana Kremlin, Putin tidak menyambutnya di depan pintu. 

Pada aula berbentuk persegi panjang tempat upacara penyambutan itu berlangsung, Putin dan kawan-kawan menunggu di ujung sebelah dalam, sementara Xi Jinping memasuki ruangan dari ujung yang lain. Jarak antara keduanya diperkirakan sekitar 100 meter, jika penglihatan kurang baik, mungkin tidak bisa melihat jelas satu sama lain.

Tempat keduanya berjabat tangan dan foto bersama diperkirakan berjarak sekitar 20-30 meter dari Putin, namun berjarak sekitar 50-60 meter dari Xi Jinping. Putin sengaja memperlambat langkahnya, menunggu Xi Jinping berjalan ke arahnya melalui aula yang panjang itu, Xi Jinping berjalan melewati sederetan pejabat RRT dan Rusia berbaris rapi serta para wartawan media massa, kelihatannya seperti seorang utusan negara asing sedang datang menghadap.

Putin mengatur upacara yang begitu tidak sederajat seperti itu, seharusnya karena Putin hendak meninggikan posisinya sendiri, di saat yang sama menekan posisi Xi Jinping. Setelah keduanya bertemu, ternyata hanya diakhiri dengan musik dan foto bersama, keseluruhan upacara tidak megah, yang meninggalkan kesan paling dalam adalah saat Xi Jinping berjalan melalui aula yang panjang untuk berjabat tangan dengan Putin.

Menurut kebiasaan Beijing, di saat pemimpin negara asing datang berkunjung, pemimpin RRT akan mendampingi tamu negara melakukan inspeksi pengawal kehormatan Beijing, di saat cuaca baik acara akan dilakukan di depan Balai Agung Rakyat Beijing, di saat cuaca kurang baik akan dilakukan di dalam aula Balai Agung Rakyat. Setelah Xi Jinping tiba di bandara Moskow, Rusia hanya mengutus wakil perdana menterinya untuk melakukan penyambutan, dilakukan pengaturan inspeksi berskala kecil di bandara, tapi hanya didampingi oleh wakil perdana menteri.

Pada 21 Maret pagi hari, Xi Jinping datang ke Kantor PM Rusia untuk berdialog, PM Rusia Mikhail Mishustin menyambutnya di pintu gerbang; pada sore hari Xi Jinping datang ke Istana Kremlin untuk berdialog dengan Putin, tapi Putin tidak menyambutnya di depan pintu. Dibandingkan dengan 2019, penyambutan yang diatur oleh Kremlin masih kurang lebih sama, pemimpin PKT sempat kesulitan hendak menunjukkan sosoknya sebagai “kakak”.

Pada September 2022 lalu, pertemuan keduanya di Asia Tengah terkesan agak canggung, waktu itu Putin sangat mendesak meminta pertolongan, sementara Xi Jinping sengaja menghindar, media massa RRT memberitakannya secara low profile. Kali ini pengaturan oleh Istana Kremlin, memperlihatkan seolah-olah Moskow tidak mengharapkan bantuan apapun dari pemimpin PKT.

Perhitungan Kremlin

Kunjungan Xi Jinping ke Moskow, seharusnya adalah hal yang dinantikan oleh Kremlin. Pada 18 Maret, Putin sengaja menampakkan diri di Mariupol, Ukraina, sebenarnya berniat hendak menyeret Xi Jinping ke dalam kubangan itu, dan yang terbaik adalah membuat PKT ikut terjun ke dalam Perang Rusia-Ukraina, setidaknya harus membuat kunjungan pemimpin PKT itu menjadi dukungan bagi perang Rusia-Ukraina. 

Kremlin sangat berharap RRT dapat sesegera mungkin memberikan senjata dan amunisi dalam skala besar, terutama bisa menyamai seperti bantuan AS dan NATO kepada Ukraina. Begitu fakta PKT memberikan bantuan senjata terungkap, pasti akan memicu reaksi keras dari AS dan NATO, maka Beijing pun akan berhasil disandera Rusia pada kereta perang Rusia.

Seharusnya yang paling diinginkan Moskow adalah konfrontasi antara PKT dengan AS semakin memburuk bahkan terjadi konflik, juga sangat ingin melihat hubungan PKT dengan Eropa semakin memburuk, dan melihat RRT resmi menjadi musuh bersama NATO, dengan demikian maka tekanan terhadap Rusia akan mereda. 

Jika Beijing bisa mengobarkan perang di Selat Taiwan, maka AS sepertinya tidak akan memperhatikan Ukraina lagi. Kremlin sangat memahami, PKT sebenarnya berharap perang Rusia-Ukraina terus berlanjut, agar Rusia dapat terus menahan AS dan Eropa, sekaligus menjadikan Rusia sebagai kartu as, untuk bermain konfrontasi dan kompromi dengan Barat. Moskow tahu Beijing sekarang juga sangat membutuhkan Rusia, Kremlin tidak ingin dijadikan kartu as oleh PKT, sebaliknya justru ingin menjadikan PKT sebagai kartu asnya.

Kremlin juga telah melihat kesulitan yang dialami Beijing, juga mengetahui kekhawatiran PKT, dan pemimpin PKT saat ini tidak mampu melawan AS, juga harus menghindari konfrontasi dengan Eropa. Oleh sebab itu, Moskow pun sangat sulit berharap RRT akan memberikan bantuan militer secara terbuka bagi Rusia, pada kondisi tertentu bahkan harus bekerjasama dengan PKT yang memainkan peran sebagai penengah, tapi Kremlin tidak ingin menerima PKT sebagai penengah.

Pasukan Rusia sedang melancarkan serangan ke Ukraina, sekarang belum waktunya mengadakan gencatan senjata; jika beberapa bulan kemudian Ukraina benar-benar balik menyerang, pada saat pasukan Rusia sudah tidak mampu membendung serangan, baru ada kemungkinan gencatan senjata. 

Walaupun di saat Kremlin sudah siap berdamai, Moskow bisa langsung bernegosiasi dengan Barat, campur tangan PKT sama sekali tidak dibutuhkan. Kremlin lebih memahami model diplomasi dan komunikasi dengan Barat dibandingkan PKT, dan sama sekali tidak perlu mengandalkan Beijing, terlebih lagi tidak bersedia diperintah oleh PKT, apalagi menjadi kartu as bagi PKT untuk berkompromi serta bernegosiasi dengan AS.

Saat ini, Kremlin memang membutuhkan PKT, oleh sebab itu Rusia perlu memainkan suatu permainan dengan pemimpin Beijing, yakni menyambut “diplomatik negara besar” dan “diplomatik kepala negara” yang selalu digunakan pemimpin PKT untuk mengangkat pamornya, bekerjasama dengan sikap PKT, serta memperlihatkan sikap bersama-sama menghadapi AS dan Barat. PKT sedang memberikan bantuan senjata secara diam-diam lewat Iran, dan Belarusia. Jika PKT tidak berani terang-terangan, dan hanya bisa memberikan sejumlah suku cadang, Rusia mau tidak mau harus menerimanya, lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Moskow berharap bantuan itu bersifat cuma-cuma, atau berharap Beijing bisa membeli sumber energi dan bahan baku dari Rusia dengan harga setinggi mungkin, sekaligus membantu Rusia menghindar dari sanksi Barat. Ini sepertinya yang menjadi topik inti dialog Putin dan Xi Jinping pada 20 Maret lalu, yang dipublikasikan hanya kata-kata indah untuk mengelabui publik. Kedua belah pihak pasti akan tawar menawar, Xi Jinping mungkin ingin menjadi “kakak tertua”, tapi Putin juga tidak ingin menjadi “adik kecil”.

Yang dilakukan PKT Hanya Bisa Menggertak

Jumlah pertemuan dan dialog antara Xi Jinping dan Putin sudah cukup banyak, tapi bidang kerjasama keduanya pada dasarnya tidak banyak berubah.

Pada 21 Maret lalu, setelah PKT dan Rusia berdialog dalam lingkup luas, Beijing menyebut akan “memperluas kejasama perdagangan konvensional di bidang energi, sumber daya, dan produk elektronik; juga memperluas kerjasama di bidang teknologi informasi, ekonomi digital, pertanian, dan layanan perdagangan; memperlancar distribusi dan transportasi logistik; menciptakan kondisi yang memudahkan kunjungan pejabat kedua negara”. Putin hanya mengemukakan “mendorong perkembangan baru ekonomi perdagangan, investasi, energi, dirgantara, distribusi logistik lintas perbatasan kedua negara, lewat kerjasama yang konkrit”.

Sepertinya kerjasama PKT-Rusia yang disebut-sebut oleh kedua pihak sulit untuk meraih terobosan yang berarti, kurang akan inovasi. Kantor berita Xinhua News menjabarkan dokumen kerjasama yang ditandatangani kedua negara meliputi “pertanian, kehutanan, riset dasar, pengawasan pasar, dan media massa”, tidak ada yang istimewa.

Konferensi pers Kemenlu RRT pada 21 Maret lalu telah mengungkap lebih banyak kebenaran. Ada wartawan Rusia bertanya, sebelumnya RRT memutuskan memulihkan berbagai jenis visa bagi warga asing. 

Saat ini, WN Rusia sangat membutuhkan visa RRT, menurut media massa Rusia, karena orang yang mengajukan visa sangat banyak, mereka harus menunggu satu sampai dua bulan untuk memperoleh visa.

 Apakah RRT akan berinisiatif mempercepat proses permohonan visa bagi warga Rusia? Juru bicara Wang Wenbin menyebutkan, sedang “diupayakan untuk memberikan layanan visa yang berkualitas bagi warga Rusia”; “waktu proses visa RRT saat ini sudah jauh lebih pendek dibandingkan sebelumnya”.

Dari sini bisa dilihat, selama penerapan kebijakan “Nol Covid” dan setelah pelonggaran kebijakan “Nol Covid”, interaksi normal antara RRT dengan Rusia selama ini belum kembali normal, hal ini membuat hubungan kerjasama strategis kedua negara menampakkan wujud aslinya.

Dikabarkan, kasus tragis 9 orang WN Tiongkok yang dibunuh di Afrika belum lama ini, pelakunya kemungkinan adalah anggota militer Wagner Group Rusia. Selain itu, pada masalah Afghanistan sepertinya RRT dan Rusia masih berseteru, hingga saat ini Rusia tidak mengakui rezim Taliban yang didukung oleh Beijing. PKT juga sedang berupaya untuk merebut sejumlah kawasan Asia Tengah yang telah didikte oleh Rusia. Jadi yang disebut “tak ada batas atas” dalam hubungan PKT dengan Rusia sebenarnya hanya semacam aksi pengelabuan politik saja.

Xinhua News memberitakan, pada 21 Maret lalu Xi Jinping dan Putin menghadiri konferensi pers, dan lebih lanjut menyebutkan “hubungan kedua negara jauh melampaui kategori bilateral, dan teramat penting bagi nasib dan masa depan dunia serta umat manusia”.

Propaganda PKT terhadap kerjasama RRT-Rusia seharusnya ditujukan bagi rakyat Tiongkok sendiri, tapi sebenarnya bukan hal penting kunjungan Xi Jinping tersebut, gertakan PKT terutama ditujukan bagi AS. Akan tetapi, PKT mengemukakan cara RRT dan Rusia ambil bagian dalam “pemerintahan global”, hanya sebatas “mempererat kerjasama dalam kerangka internasional seperti Shanghai Cooperation Organisation (SCO), mekanisme kerjasama negara BRICS, serta G20” saja.

Pengaruh dari mekanisme SCO dan BRICS sangat terbatas, tidak banyak berfungsi terhadap negara makmur Barat. Sedangkan G20 sendiri lebih didominasi oleh negara Barat, RRT dan Rusia tak begitu banyak berperan. Pada KTT G20 Bali November 2022 lalu, pemimpin RRT tidak melakukan apapun, Putin bahkan tidak ikut hadir. Dialog hampa antara RRT dengan Rusia, belum bisa memperlihatkan pengaruh yang besar.

PKT Sadar Setali Tiga Uang

Dalam konferensi pers Kemenlu RRT pada 21 Maret lalu, ada wartawan bertanya: apakah Beijing bersikap netral pada masalah Ukraina? Padahal RRT menyatakan bertindak “adil” dalam masalah Ukraina, mengapa hingga kini RRT belum berdialog dengan Presiden Ukraina Zelenskyy?

Pertanyaan ini telah menohok titik lemah PKT, Wang Wenbin hanya menjawab “telah berkomunikasi dengan kedua pihak”.

Ada lagi wartawan langsung bertanya: apakah Beijing bersedia mendorong dialog damai Rusia-Ukraina bersama AS?

Wang Wenbin masih saja menjawab secara samar, “Pihak RRT hendak sejalan dengan masyarakat internasional, untuk terus berperan yang sifatnya membangun menyelesaikan krisis Ukraina secara politik”. Lalu ia secara berlebihan menambahkan, “Kami usulkan kalian juga bertanya pada pihak AS apakah bersedia mendorong dialog damai”.

Jawaban Wang Wenbin lagi-lagi kurang meyakinkan. Pada 18 Maret lalu, surat kabar People’s Daily menerbitkan artikel berjudul “Mengapa Pemimpin RRT Pergi Ke Rusia?”. Artikel menyebutkan, “Kunci menyelesaikan krisis Ukraina tidak di tangan RRT, melainkan ada di tangan AS dan Barat”.

PKT sangat sadar tidak mampu melakukan apapun, juga sama sekali tidak berencana melakukan apa-apa, hanya sekedar mencari perhatian saja. 

Pada 21 Maret lalu Xinhua News lebih awal menerbitkan sepenggal konten pernyataan bersama RRT-Rusia terkait masalah Ukraina. Dalam pernyataan itu pihak Rusia tidak menyebutkan akan menerima Beijing sebagai penengah, hanya menyebutkan “hanya menilai sikap netral objektif dari pihak RRT dalam masalah Ukraina”; “menyambut baik kesediaan RRT memerankan fungsi aktif untuk menyelesaikan krisis Ukraina melalui jalur politik dan diplomatik”. Xinhua News juga belum menyatakan bahwa Beijing bersedia menjadi penengah, hanya mengulang “pernyataan sikap” terhadap krisis Ukraina.

Pada 20 Maret lalu, koordinator komunikasi strategis Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih yakni John Kirby berkata, “(Kesepakatan) gencatan senjata apapun yang tidak membuat Rusia menarik pasukannya dari Ukraina, akan dianggap mengakui invasi ilegal Rusia”; AS akan “menolak” seruan gencatan senjata apapun yang diserukan dari pertemuan Xi Jinping dan Putin; “setidaknya harus menelepon dan berdialog dengan Presiden Zelenskyy, dan memahami pandangan Ukraina.” 

Pada hari yang sama, Menlu AS Blinken juga berkata bahwa Beijing sedang memberikan “perlindungan diplomatik” bagi invasi Rusia terhadap Ukraina, “cukup pihak Rusia saja sudah bisa menghentikan perang itu hari ini juga”.

Kartu as Rusia yang dilontarkan PKT sedang menimbulkan efek yang sebaliknya. Kirby juga menyatakan, antara Xi Jinping dan Biden masih ada kemungkinan berdialog, tapi hanya pada “saat yang paling tepat”. 

Dialog Biden dan Xi sepertinya telah ditunda hingga batas waktu tak terhingga. Kemudian Biden menandatangani resolusi memberikan wewenang untuk mendekripsi intelijen terkait sumber COVID, Gedung Putih lagi-lagi secara resmi mengeluarkan sebuah kartu as bagi PKT.

PKT dan Rusia berencana saling menjadikan kartu as satu sama lain, untuk unjuk gigi pada AS dan Barat, akan tetapi kerjasama Putin dan Xi Jinping dalam memainkan drama ini tidak begitu baik, keduanya terlalu ingin mencapai tujuannya masing-masing. 

PKT ingin menjadi “kakak tertua”, dengan sendirinya berharap Rusia akan dilemahkan, tapi harus terus mendukung Rusia agar dapat terus berperang, agar tidak bisa kalah secepat itu. Moskow berharap pada Beijing, juga menyadari bahwa PKT juga membutuhkan Rusia, oleh sebab itu tidak ingin menjadi “adik kecil”.

Kesepahaman PKT dan Rusia sangat terbatas, pondasi kerjasama kedua negara sangat terbatas, setelah sebuah pertemuan dengan misi pertunjukan politik itu, walaupun kesulitan masing-masing pihak tidak ada penyelesaian, sandiwara “kakak tertua” dan “adik kecil” kedua negara ini masih akan terus berlanjut. (Sud/whs)