44 Orang Tewas dalam Ledakan di Rapat Umum Partai di Pakistan
oleh Yu Liang
Sebuah ledakan yang diyakini pihak kepolisian sebagai bom bunuh diri terjadi saat rapat umum partai politik di Pakistan pada Minggu (30 Juli). Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 44 orang dan melukai lebih dari 100 orang lainnya.
Jamiat Ulema-e-Islam-Fazl, sebuah partai politik konservatif di Pakistan mengadakan rapat umum politik di kota Khar, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa yang berada di barat laut Pakistan pada Minggu.
Kantor gubernur provinsi menyatakan bahwa sedikitnya 44 orang tewas dan lebih dari 100 orang lainnya terluka dalam ledakan tersebut. Bahkan seorang pemimpin politik penting partai tewas dalam ledakan tersebut dan belasan orang lagi dalam kondisi kritis, jumlah korban tewas diperkirakan akan terus bertambah.
Rekaman video yang beredar menunjukkan bahwa yang terluka langsung dinaikkan ke mobil ambulans dengan tandu, banyak di antara pengikut rapat yang mengalami luka cukup serius. Pihak berwenang telah mengumumkan keadaan darurat untuk rumah sakit daerah.
Maulana Abdur-Rashied mengatakan : “Terjadi ledakan (saat rapat umum). Banyak rekan kami tewas dan banyak juga yang terluka.”
Investigasi awal polisi menyimpulkan bahwa itu adalah insiden serangan bom bunuh diri. Belum ada organisasi atau individu yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan itu.
Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif mengatakan bahwa para pelaku adalah teroris yang menargetkan mereka yang menyuarakan Islam dan Pakistan.
Pada Januari tahun ini, juga terjadi kasus bom bunuh diri di sebuah masjid di provinsi Khyber-Pashtun, yang menewaskan 87 orang dan melukai lebih dari 150 orang lainnya. (Hui)
Moskow Mendapat Serangan Drone Ukraina, Zelensky : Perang Telah Berbalik ke Rusia
oleh Yi Jing
Gedung pusat kota Moskow terkena serangan 3 drone pasukan Ukraina, pada Minggu (30/7/2023). Kementerian Pertahanan Rusia menuduh Ukraina melakukan serangan kembali ke Rusia. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa perang telah berbalik ke Rusia.
Kementerian Pertahanan Rusia menyebutkan, bahwa militer Rusia berhasil menembak jatuh 3 drone Ukraina yang menyerang wilayah pusat Moskow pada Minggu (30 Juli) dini hari. Di antaranya 2 drone jatuh ke gedung perkantoran, menyebabkan kerusakan ringan pada gedung, tetapi tidak ada korban yang jatuh.
Seorang saksi mata bernama Liya menuturkan : “Kami mendengar ledakan, seperti gelombang, hingga semua orang melompat. Ada begitu tebal asap sehingga mata tidak dapat melihat apa pun. Dari atas, Anda dapat melihat apinya.”
Serangan itu juga menyebabkan penutupan sementara Vnukovo International Airport yang berada di barat daya Moskow.
Meskipun pihak Ukraina belum secara terbuka menyatakan bahwa pihaknya bertanggung jawab atas insiden tersebut, tetapi Presiden Ukraina Zelensky mengatakan dalam pidato video hari itu bahwa perang telah berbalik ke Rusia.
“Ukraina telah menjadi lebih kuat. Perang secara bertahap sedang berbalik ke wilayah Rusia, kembali ke pusat simbolis dan pangkalan militernya. Ini adalah proses yang tak terhindarkan, alami, dan benar-benar adil,” kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Sejak Ukraina meluncurkan serangan balasannya, Rusia telah berulang kali menuduh Ukraina melancarkan serangan ke Rusia dengan menggunakan pesawat tak berawak. Terutama, pada Mei tahun ini, 2 drone berusaha menyerang Kremlin, tetapi ini dibantah oleh Ukraina.
Hari Sabtu, di tengah seringnya serangan Ukraina ke Rusia Presiden Putin mengklaim bahwa dirinya tidak menolak pembicaraan damai dengan Ukraina.
“Kami tidak pernah menolak (pembicaraan damai), saya selalu mengatakan bahwa kami tidak pernah menolak pembicaraan damai,” ujar Putin.
Namun, Putin juga menekankan bahwa gencatan senjata akan sulit tercapai ketika tentara Ukraina melancarkan serangan. (sin)
Krisis ini Sulit Diatasi oleh Beijing, Rusia Juga Ikut Mencekik?
Qin Yue
Fokus kali ini: Rusia memblokir “jalur kehidupan laut”, dan siapakah korban terparah? Kapal dagang Tiongkok tidak boleh berlayar masuk, jika tidak, akan dianggap sebagai kapal musuh dan ditenggelamkan? Rusia juga memutus pasokan dan mencekik leher? Krisis Beijing ini sungguh sulit diuraikan.
Perahu kecil simbol persahabatan Tiongkok dengan Rusia yang tidak terbatas itu akan segera karam? Satu aksi Rusia saat ini, disebut-sebut oleh kalangan media luar sebagai menusuk punggung Beijing dari belakang.
Rusia Tidak Lagi Memperpanjang “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam”
Pada 17 Juli dini hari, jembatan besar yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea di Ukraina diledakkan, beberapa jam kemudian, Rusia mengumumkan: “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam” segera berakhir pada 18 Juli, dan tidak akan memperpanjangnya lagi. Padahal hari Jum’at sebelumnya (14/07), Presiden Turki Erdoğan masih menyatakan, dirinya telah mencapai kesepahaman dengan Putin, dan akan memperpanjang perjanjian itu.
Perjanjian tersebut sangat penting, karena Ukraina dan Rusia merupakan negara pengekspor bahan pangan, setelah perang meletus, pasokan pangan dari kedua negara itu menyusut tajam, hal ini menyebabkan melambungnya harga bahan pangan global.
Untuk meredakan krisis pangan internasional itu, pada Juli tahun lalu, antara PBB, Rusia, Ukraina, dan juga Turki telah ditandatangani “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam” (Black Sea Grain Initiative), yang memungkinkan Ukraina mengekspor bahan pangan melalui 3 pelabuhan di Laut Hitam termasuk Odessa, di saat yang sama juga memperbolehkan Rusia mengekspor produk pertanian dan pupuk walaupun dalam kondisi dikenakan sanksi.
Namun sekarang Rusia memutuskan mengundurkan diri dari perjanjian itu, berarti “saluran kemanusiaan” angkutan laut itu terpaksa ditutup. Selanjutnya, militer Rusia telah mengerahkan pesawat nirawak dan rudal, serta selama beberapa hari berturut-turut menyerang Odessa, pelabuhan Laut Hitam milik Ukraina.
Pihak Ukraina pada 19 Juli lalu menuding Rusia telah merusak infrastruktur ekspor pangan Ukraina dalam serangan udara di malam hari yang “ibarat neraka” itu. Presiden Zelensky dalam pidatonya malam itu mengatakan, “Pelabuhan yang hari ini diserang telah menyimpan sekitar 1 juta ton bahan pangan. Semua bahan pangan itu sedianya akan dikirim ke negara konsumen di Asia dan Afrika.”
60.000 Ton Produk Pertanian Yang Akan Dikirim ke Tiongkok Juga Tertahan
Zelensky terutama juga menekankan, terminal pelabuhan yang terdampak paling serius akibat serangan malam hari itu, menyimpan 60.000 ton produk pertanian yang akan dikirim ke Tiongkok.
Seakan tidak cukup hanya menutup saluran itu dan membombardir pelabuhan, Rusia kembali mengumumkan bahwa mulai 20 Juli, semua kapal yang berlayar melalui Laut Hitam menuju pelabuhan Ukraina akan dianggap sebagai “kapal logistik militer potensial”, dan negara pemilik kapal-kapal tersebut akan dianggap sebagai negara peserta perang yang berpihak pada Ukraina. Di saat yang sama, kawasan tenggara dan barat laut perairan Laut Hitam itu sementara ini juga ditetapkan sebagai kawasan yang “tidak aman untuk berlayar”.
Dengan kata lain, Rusia melalui intimidasi kekuatan militer, berniat memblokir transportasi pangan di Laut Hitam.
Tindakan Rusia pun menyulut kemarahan dunia. Menlu AS Blinken mengutuk bahwa Rusia telah “menjadikan pangan sebagai senjata”, hal ini sama sekali tidak bisa diterima. Presiden Komisi Eropa yakni Ursula Gertrud von der Leyen menyebutkan, keputusan Rusia adalah “egois dan arogan”, Uni Eropa akan terus berupaya memastikan keamanan pasokan pangan bagi negara-negara miskin.
Sekjend PBB António Guterres juga menyatakan kekecewaannya akan hal tersebut, ia berkata, mundurnya Rusia dari perjanjian, menandakan perjanjian terkait bahan pangan dan pupuk Rusia lainnya juga ikut berakhir.
Tiongkok Menjadi Korban
Di saat yang sama, karena Tiongkok juga merupakan korban dari diakhirinya “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam”, media asing juga mengalihkan sorotan kepada Beijing yang menjalin hubungan persahabatan tanpa batas dengan Rusia. Menurut data Pusat Riset Nasional Akademi Ekonomi Pertanian Ukraina, negara pengimpor terbesar produk pertanian Ukraina pada 2019 adalah Tiongkok, atau sekitar 8,7% dari total ekspor pertanian Ukraina.
Kantor berita Radio France Internationale (RFI) menganalisa, Moskow tidak lagi memperpanjang “Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam” seolah menunjukkan menusuk Beijing, sekutu utamanya, dari belakang. Kesepakatan itu telah berlangsung satu tahun, 33 juta ton bahan pangan Ukraina bisa diekspor ke 45 negara di seluruh dunia. Walaupun Rusia menyebutkan, mayoritas bahan pangan dari Ukraina mengalir ke Eropa dan negara makmur lainnya, tetapi kenyataannya hampir seperempatnya atau sekitar 8 juta ton telah mengalir ke pelabuhan di Tiongkok.
Hal ini tidak sulit dipahami, mengapa pemimpin PKT Xi Jinping juga senantiasa menekankan, pentingnya untuk bisa terus melaksanakan perjanjian ini. Dalam “12 pernyataan sikap” upaya Xi Jinping menengahi perang Rusia-Ukraina, salah satu di antaranya adalah menjamin ekspor bahan pangan, tertulis: “Semua pihak harus secara efektif dan menyeluruh melaksanakan ‘Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam’ yang telah ditandatangani oleh PBB, Ukraina, Turki, dan Rusia, mendukung fungsi penting PBB dalam masalah ini.”
Namun sekarang situasi canggung telah terjadi, karena Rusia tidak lagi mempedulikan apa yang disebut “persahabatan tanpa batas”, dan telah menghentikan perjanjian yang memberikan jaminan bagi RRT ini, Beijing akan mengalami kesulitan tidak bisa lagi mengimpor bahan pangan dari Ukraina.
Wilayah Produk Pertanian Berkurang, PKT Semakin Khawatir Keamanan Pangan
Sudah jatuh tertimpa tangga, surat kabar Prancis Les Echos memberitakan, panen gandum dan biji-bijian musim panas di Tiongkok pada tahun ini telah selesai akhir Juni lalu, walaupun luasan lahan tanam yang disemai bertambah, tetapi hasil panen kali ini menunjukkan tren menurun, merosot sekitar 0,9% dan ini adalah untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir, padahal panen musim panas mencakup ¼ dari total produksi pangan di Tiongkok.
Di samping itu, wilayah Provinsi Henan dan kawasan sekitar Tiongkok Tengah yang dijuluki “lumbung pangan Tiongkok”, belakangan ini terdampak air bah, juga telah menimbulkan kekhawatiran terbaru akan keamanan pangan, daerah tersebut memproduksi lebih dari ¾ gandum bagi seluruh negeri. Di saat yang sama, panen pangan di Provinsi Yunnan dan Guizhou di barat daya Tiongkok juga menurun drastis akibat kekeringan.
Hal ini kemungkinan akan membuat rezim Tiongkok semakin khawatir akan terjadinya krisis pangan.
Faktanya, beberapa tahun terakhir ini Tiongkok telah mengalami krisis keamanan pangan, PKT berbalik arah dari kebijakan “mengurangi lahan pertanian melindungi hutan” yang dulu dipromosikan kini berubah menjadi kebijakan “mengurangi hutan memulihkan pertanian”, bahkan membentuk “Tim Penegak Hukum Komprehensif Pedesaan” atau oleh kalangan luar disebut “pengawas desa”, fungsinya sama seperti “pengawas kota (= satpol PP di Indonesia)”, salah satu misi terpentingnya adalah memastikan adanya lahan untuk menghasilkan pangan, harus ditanami bahan pangan, yang kemudian dipastikan agar menjamin tercapainya “program pangan seratus milyar kati”, yaitu meningkatkan produksi pangan sampai seratus milyar kati (1 kati = setengah kilogram, red.), hal ini sepertinya mirip dengan gerakan “Lompatan Jauh ke Depan (sebuah program ambisius yang berlangsung dari 1958 hingga 1960 dengan tujuan membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah. Program ini berakhir dengan bencana kelaparan dan telah menyebabkan kematian tidak wajar sekitar 21 juta orang lebih. Red.)”.
Tak hanya itu saja, dalam “Dokumen Nomor Satu Pusat” PKT 2023, disebutkan sebanyak 6 kali kata-kata “keamanan pangan”, bahkan ditekankan harus mengeluarkan “UU Jaminan Keamanan Pangan”. Dalam Kedua Sesi Rapat Pleno PKT tahun ini, Xi Jinping sekali lagi menekankan keamanan pangan, “Memastikan di dalam mangkuk setiap warga Tiongkok terisi dengan hasil pangan Tiongkok”, dari sini nampak kekhawatiran PKT terhadap kurangnya bahan pangan Tiongkok.
Dalam kondisi seperti ini, Rusia memblokir kiriman bahan pangan dari Ukraina, berarti memutus pasokan bagi Tiongkok, tak heran bila media asing mendeskripsikan, Putin menusuk Xi Jinping dari belakang. Bagaimana Xi Jinping akan meresponnya, juga akan menjadi sorotan kalangan luar.
Warganet Ramai Membahas: Apakah Hubungan Tiongkok-Rusia Masih Tak Terbatas?
Selain itu, aksi Rusia kali ini, juga telah menimbulkan pembahasan hangat di Tiongkok. Di media sosial Tiongkok muncul artikel: “Kapal Dagang RRT Tidak Boleh Berlabuh di Ukraina, Jika Tidak Akan Dieksekusi Sebagai Kapal Musuh Oleh Militer Rusia”.
Warganet Tiongkok beramai-ramai menulis: “Ini berarti Rusia sudah tidak lagi mempunyai cara lain, kartu as di tangan sudah tidak ada sehingga menghalalkan segala cara.” “Ini berarti Rusia memusuhi seluruh dunia, apakah negara kita juga akan mengikutinya?” (Sud/Whs)
Topan Doksuri Terus Bergerak ke Tiongkok Utara, Ribuan Orang Dievakuasi dari Beijing
oleh Liu Haiying dan Tian Yuan
Setelah topan “Doksuri” mendarat di Fujian, Tiongkok pada (28/7) Jumat pagi, doksuri mendarat di Anhui pada (29/7) Sabtu pagi dan melemah menjadi depresi tropis. Kemudian bergerak ke wilayah utara yang berdampak terhadap 6 provinsi dan kota termasuk Beijing, Tianjin, Hebei, Shandong, Henan, dan Shanxi. Akibatnya, ribuan orang dievakuasi dari Beijing.
Observatorium Meteorologi Pusat mengeluarkan peringatan badai hujan merah pada pukul 18:00 pada Sabtu, ini adalah kedua kalinya peringatan hujan badai merah dikeluarkan sejak mekanisme tersebut diluncurkan secara resmi pada tahun 2010.
Akhir pekan ini, di Beijing selatan, Hebei tengah dan barat, Shanxi timur, dan Henan utara, permukaan air sungai kecil dan menengah melebihi tingkat alarm, dan banjir bandang serta bencana geologi dapat terjadi di sekitar daerah pegunungan.
Pihak berwenang di Beijing menangguhkan acara olahraga dan menutup beberapa tempat wisata dan taman. Menurut laporan media setempat, sebanyak 3.031 orang dievakuasi.
Doksuri adalah topan terkuat yang melanda Tiongkok pada tahun ini dan topan terkuat kedua yang melanda provinsi Fujian sejak tahun 2016. Sekolah dan bisnis ditutup dan pekerja di ladang minyak dan gas lepas pantai dievakuasi.
Menurut media resmi Tiongkok, topan “Doksuri” mempengaruhi sekitar 880.000 orang di sepanjang pantai Fujian, lebih dari 354.400 dievakuasi, dan kerugian ekonomi langsung melebihi RMB.478 juta (sekitar 67 juta dolar AS). (Hui)
Pembersihan Pasukan Roket? Wu Guohua Mantan Wakil Komandannya Meninggal Dunia, Otoritas Partai Merahasiakannya
oleh Han Fei
Wu Guohua, mantan wakil komandan Tentara Roket Partai Komunis Tiongkok meninggal dunia pada awal Juli lalu. Para pejabat partai komunis Tiongkok sempat merahasiakannya. Obituari baru dikeluarkan 21 hari setelah kematiannya. Dunia luar berspekulasi bahwa kematiannya berhubungan dengan pembersihan tingkat tinggi Tentara Roket oleh otoritas PKT.
Laporan surat kabar di daratan Tiongkok mengklaim bahwa Wu Guohua meninggal dunia karena sakit. Meski demikian, beberapa netizen mengatakan bahwa Wu Guohua bunuh diri dan terkait dengan fakta bahwa Li Yuchao, komandan Pasukan Roket dibawa pergi untuk penyelidikan.
Yao Cheng, seorang mantan perwira staf letnan kolonel dari Komando Angkatan Laut PKT berkata : “Komandan Tentara Roket (Li Yuchao) dibawa pergi selama rapat, dan sifat penculikannya sangat serius. Pada akhirnya, semua orang mengungkapkan bahwa salah satunya adalah putra komandan (Li Yuchao) belajar di Amerika Serikat, diperkirakan putra komandan yang mengungkapkan semuanya.”
Tak lama setelah Li Yuchao dibawa pergi, ada kabar bahwa Wu Guohua bunuh diri. Kini rumor tersebut telah terkonfirmasi. Namun, Li Yuchao sudah lama menghilang dari situs resminya, dan absen dari upacara kenaikan pangkat militer pada akhir Juni, kini hidup dan matinya masih menjadi misteri.
Analisis percaya bahwa perombakan tingkat tinggi Angkatan Roket terkait dengan laporan Angkatan Roket yang diungkapkan oleh Akademi Angkatan Udara A.S pada tahun lalu.
Pada Oktober tahun lalu, tak lama setelah Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok, Akademi Angkatan Udara Amerika Serikat secara khusus merilis laporan penyelidikan tentang pasukan Roket PKT. Lapoan mulai dari struktur personel internal militer, struktur organisasi, sistem komando, dan pangkalan logistik, termasuk nama beberapa orang yang bertanggung jawab, semuanya tersedia, dan bahkan lokasi regu pembuatan ditandai dengan jelas.
Yao Cheng berkata : “Saya kaget, karena menurut saya, Pasukan Roket adalah unit dengan tingkat kerahasiaan tertinggi.”
Komentator urusan internasional Tang Hao berkata : “Seseorang di iternal PKT secara pasti telah membocorkan rahasia, dan kebocoran yang terjadi adalah rahasia tingkat tinggi. PKT tidak hanya kehilangan muka sama sekali, tetapi juga mengguncang moral militer PKT.”
“Chosun Ilbo” melaporkan bahwa setelah laporan “Rocket Army Intelligence” AS dirilis, PKT tampaknya mulai menyelidiki kebocoran tersebut. Media Hong Kong dan Taiwan melaporkannya sebagai penangkapan dan bunuh diri.”
Pasukan Roket adalah cabang militer strategis yang bertanggung jawab atas rudal balistik nuklir antar benua Tiongkok dan dituduh sebagai ancaman utama bagi Taiwan. Xi Jinping pernah berkata: “Pasukan Roket adalah kekuatan inti dari pencegahan strategis Tiongkok.”
Yao Cheng percaya bahwa saat ini PKT ingin berperang melawan negara asing, tidak hanya melawan Taiwan, tetapi juga melawan Amerika Serikat, dan satu-satunya yang dapat digunakan PKT adalah tentara roket dan misilnya. Sebaliknya, bagi Amerika Serikat, begitu perang dimulai, pasukan roket harus dihancurkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, ketakutan pasukan roket terhadap perang sangat serius.
Yao Cheng: “Fenomena ini telah menyebabkan Pasukan Roket, di satu sisi, enggan berperang, dan di sisi lain, karena ditekan oleh para petinggi Xi Jinping, pasukan ini dapat dikatakan hidup dalam ketakutan, sehingga tidak stabil.
Komentator urusan internasional Tang Hao percaya bahwa pembersihan Pasukan Roket baru-baru ini oleh PKT mungkin bertujuan untuk menyelidiki kebocoran rahasia, dan pada saat yang sama membersihkan “rasa takut akan perang” yang mungkin muncul di Pasukan Roket. Pembersihan pasukan roket juga merupakan upaya lebih lanjut untuk menindak kekuatan anti-Xi di dalam militer karena takut akan pemberontakan.
Ada juga rumor bahwa apa yang dialami Qin Gang baru-baru ini mungkin disebabkan oleh kedekatannya dengan para petinggi pasukan roket.
Tang Hao: “Jika kita melihat serangkaian peristiwa ini, kita dapat melihat bahwa Partai Komunis Tiongkok tidak hanya mengalami pergulatan internal dalam sistem diplomatik, tetapi juga pergulatan internal dalam sistem militer, atau bahkan pemberontakan. Ada kekuatan yang berkumpul untuk melancarkan serangan balik terhadap Komite Sentral Partai. Oleh karena itu, situasi politik berikutnya di Zhongnanhai mungkin akan ada pertunjukan besar yang akan datang.” (Hui)
Aksi Protes Pecah di Xi’an, Tiongkok Terkait Sumber Daya Pendidikan
Gary Du
Ribuan orangtua setempat yang marah mendatangi beberapa instansi pemerintah di Kota Xi’an, provinsi Shaanxi, Tiongkok pada 21 Juli untuk memprotes kebijakan pemerintah yang mempersempit kesempatan siswa untuk mengenyam pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Para orang tua mengeluh bahwa pemerintah mengizinkan sejumlah besar siswa dari Provinsi Henan untuk berpartisipasi dalam ujian masuk sekolah menengah setempat, dengan menaikkan standar kelulusan. Akibatnya, banyak siswa lokal yang gagal masuk ke sekolah menengah atas dan kehilangan kesempatan masa depan mereka untuk kuliah.
Para orangtua mengepung agen-agen tersebut dan berteriak: “Anak-anak Xi’an menginginkan kursi!” Mereka pergi tak lama setelah tengah malam setelah walikota berjanji untuk menyelidikinya.”
Menurut unggahan di media sosial, 40.000 siswa dari total 100.000 peserta ujian tidak terdaftar sebagai siswa lokal, atau yang disebut sebagai siswa “arus balik”. Registrasi rumah tangga mereka berada di Kota Xi’an, tetapi mereka tidak mendaftar di sekolah mana pun di kota tersebut.
Hal ini menyebabkan nilai kualifikasi mereka naik 16 poin. Mereka yang tidak mendapatkan 600 poin (dari nilai penuh 700) tidak akan bisa masuk sekolah menengah atas dan tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Para orang tua murid berkumpul di berbagai instansi pemerintah sejak 14 Juli, ketika nilai tersebut dirilis.
Departemen Pendidikan Kota mengklaim pada 18 Juli bahwa total 3.608 siswa yang berpartisipasi dalam “flow-back”, yang hanya 3,5 persen dari total keseluruhan.
Namun, banyak orang tua yang tidak percaya. Mereka mengeluh bahwa hanya ada 80.000 siswa kelas dua di sekolah tahun lalu, jadi bagaimana mungkin ada peningkatan 20.000 siswa hanya dalam waktu satu tahun?
Beberapa orang tua mengangkat spanduk bertuliskan “Anak saya bukan tumbal kebijakan baru atau kebijakan malas,” di depan Pemerintah Distrik Yangling, Kota Xi’an. Beberapa juga melakukan protes di Departemen Pendidikan Provinsi Shaanxi pada 20 Juli. Polisi menahan dua orang ibu-ibu.
Pada Jumat 21 Juli, para orang tua memadati Pusat Penerimaan Petisi di kota tersebut, di mana warga dapat mengajukan banding atas keputusan yang dibuat oleh kota. Mereka meminta penjelasan resmi. Beberapa berteriak, beberapa memohon, dan beberapa bernyanyi.
Pihak berwenang mengerahkan polisi dengan kendaraan pemblokir sinyal ponsel. Sementara itu, semua unggahan di media sosial yang terkait dengan peristiwa tersebut telah dihapus.
Menurut laporan setempat, Walikota Ye Niuping berbicara dengan perwakilan orangtua murid. Dia berjanji untuk membentuk gugus tugas untuk menyelidiki dan memverifikasi pendaftaran dan nilai dari 3.608 siswa yang “mengalir kembali”.
Kesempatan pendidikan di Tiongkok sangat terbatas dan tidak merata. Provinsi Shaanxi, dengan populasi 40 juta jiwa, memiliki 16 jurusan di 7 universitas yang terdaftar dalam Rencana Universitas Kelas Satu Ganda dari Kementerian Pendidikan Tiongkok. Sementara Provinsi Henan, dengan populasi hampir 100 juta, hanya memiliki 4 jurusan di 2 universitas yang terdaftar. Skor kualifikasi untuk ujian masuk perguruan tinggi di kedua provinsi ini berbeda karena ketidakseimbangan tersebut. Untuk masuk ke perguruan tinggi atau perguruan tinggi yang lebih baik, banyak penduduk Henan yang mengambil resiko melanggar hukum untuk pindah ke Shaanxi.
Pemerintah Berinisiatif Bongkar Praktik Kasus IMEI Ilegal
ETIndonesia- Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, pihaknya sejak lama telah berkomitmen membongkar praktik akses ilegal terhadap Centralized Equipment Identity Register (CEIR). CEIR merupakan basis data yang menyimpan nomor International Mobile Equipment Identity (IMEI) dari ponsel yang beredar di Indonesia.
“Ketika Pemerintah meluncurkan program registrasi IMEI, tentu juga dibarengi dengan upaya untuk bisa mengurangi telepon seluler (ponsel) ilegal yang masuk ke Indonesia. Sehingga, ponsel impor yang masuk Indonesia bersifat legal dan dikenai pajak. Upaya ini juga untuk mendorong tumbuhnya industri ponsel di dalam negeri,” ujar Menperin di Jakarta, Jumat (28/7) dalam siaran persnya.
Menperin menjelaskan, dalam perjalanannya, tata kelola registrasi IMEI perlu disempurnakan. Salah satu contoh penyimpangan yang terjadi adalah adanya upaya mendaftarkan IMEI secara ilegal. Ia telah menugaskan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Dirjen ILMATE) Kementerian Perindustrian untuk membongkar praktik-praktik ilegal tersebut.
Terkait dengan kasus tindak pidana akses ilegal CEIR, Menperin menyambut baik langkah dari Kepolisian untuk menegakkan aturan yang berlaku.
“Kami telah mengetahui dan sejak kira-kira setahun lalu telah memerintahkan untuk membongkar praktik-praktik tersebut. Sehingga saat ini merasa senang karena memang telah memberikan arahan terkait itu,” kata Agus.
Menperin juga meminta kepada Kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap hal ini secara menyeluruh dan adil, juga terhadap pihak-pihak terkait yang memiliki akses ke CEIR. Selain Kemenperin, pihak yang dapat mengakses CEIR adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta para operator ponsel.
Dalam program pengendalian IMEI dengan CEIR, berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2020, Kemenperin bertugas melakukan pendaftaran IMEI yang berasal dari produsen Handphone, Komputer, dan Tablet (HKT) maupun importir terdaftar HKT.
Untuk menjalankan tugas ini dengan baik, Kemenperin juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 1870 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Pengawasan dan Pengendalian IMEI Nasional.
“Satuan tugas (satgas) ini terdiri dari perwakilan banyak instansi yang bertugas menangani pengawasan dan pengendalian alat/perangkat telekomunikasi yang terhubung ke jaringan bergerak seluler melalui identifikasi IMEI sesuai dengan kewenangan masing-masing,” pungkas Menperin. (asr)
Menghindari Forum Tingkat Tinggi OBOR, Eropa Menjaga Jarak dengan Xi Jinping dan Putin
oleh Zhang Ting
Pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping berencana untuk menyelenggarakan sebuah forum berprofil tinggi untuk mempromosikan inisiatif “One Belt One Road” yang ia gagaskan beberapa tahun silam, tetapi menghadapi satu masalah yang memusingkan kepala, yaitu pejabat asing yang mau berpartisipasi tidak banyak, terutama beberapa negara Eropa tidak ingin hadir. “Wall Street Journal” menyebutkan bahwa ini mencerminkan hubungan yang tidak lagi harmonis antara Eropa dengan Tiongkok.
Partai Komunis Tiongkok berencana mengadakan forum tingkat tinggi OBOR pada pertengahan bulan Oktober mendatang. Sumber yang mengetahui masalah ini memberitakan Wall Street Journal bahwa pejabat Tiongkok masih sedang gencar mengupayakan kehadiran para pejabat negara asing. Minggu ini, hanya Kremlin yang mengatakan bahwa Putin bersedia hadir. Namun partisipasi Putin semakin mendorong para pemimpin Eropa untuk menghindari forum tersebut.
Sejak pecahnya perang Rusia – Ukraina, Xi Jinping telah menolak untuk menyebut perang tersebut sebagai invasi Rusia ke Ukraina, bahkan meningkatkan hubungan perdagangan dengan Rusia untuk memberi Moskow jalur ekonomi pada saat Barat memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Rusia. Hal mana menambah ketidakpuasan Barat terhadap Beijing.
Pemerintah Tiongkok telah lama menginginkan Eropa bergabung dengan inisiatif infrastruktur OBOR, tetapi para pemimpin Eropa, seperti Amerika Serikat, telah mewaspadai peningkatan ketergantungan pada ekonomi Tiongkok.
Forum tingkat tinggi OBOR tahun ini merupakan yang pertama sejak epidemi melanda dunia, forum ini akan menguji sejauh mana daya tarik platform diplomatik ekonomi khas Xi Jinping tersebut. Diplomat Tiongkok tentunya akan berusaha sekuat tenaga untuk “mendatangkan” pejabat asing.
Pejabat senior pemerintah mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz saat ini tidak memiliki rencana untuk menghadiri Forum OBOR tahun ini. Menurut seseorang yang mengkoordinasikan rencana perjalanan Perdana Menteri Italia, bahwa Georgia Meloni, Perdana Menteri Italia, juga tidak ada rencana untuk hadir. Meskipun Italia adalah satu-satunya negara di antara tujuh kelompok industri besar (G7) yang telah menandatangani perjanjian Inisiatif OBOR dengan Beijing.
Meloni telah berulang kali mengisyaratkan rencanabya untuk menghentikan perjanjian OBOR. Dia mengatakan kesepakatan tersebut adalah sebuah “kesalahan besar” yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, dan ia berjanji mau meninjau kembali kerja sama tersebut.
Seorang juru bicara kementerian luar negeri Swiss mengatakan, bahwa Swiss juga sedang mempertimbangkan apakah akan menghadiri forum tingkat tinggi OBOR tahun ini. Swiss, yang secara historis tergolong negara netral, telah 2 kali mengirim presidennya ke 2 KTT OBOR di waktu lalu. Sedangkan Yunani, yang bergabung dengan Inisiatif OBOR pada 2018, telah memberi tahu Beijing bahwa perdana menterinya tidak akan hadir. Seorang juru bicara pemerintah Ceko mengatakan tidak ada presiden atau pejabat senior yang diharapkan hadir di forum Oktober nanti. Republik Ceko bergabung dengan inisiatif tersebut pada 2015.
Wall Street Journal mengatakan bahwa tingkat kehadiran forum tingkat tinggi OBOR yang rendah akan melemahkan upaya Beijing dalam menciptakan “citra pengaruh globalnya yang terus berkembang”.
Sekarang, seiring dengan Eropa berusaha mengurangi pengaruh ekonomi Tiongkok di Eropa, jadi banyak negara sedang menjauhkan diri dari proyek infrastruktur PKT itu. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan pada Maret, bahwa tujuan eksplisit PKT adalah untuk secara sistematis mengubah tatanan internasional sehingga kelak berpusat di Tiongkok. Von der Leyen mengusulkan strategi “mengurangi risiko” Tiongkok. Strategi ini diterima secara luas oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, tetapi menimbulkan kegusaran PKT. Sampai-sampai Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang dalam pidatonya di Forum Davos Musim Panas yang diadakan di Tianjin menentang “de-risking” Barat.
Noah Barkin, seorang ahli yang berfokus pada urusan Eropa dan Tiongkok di firma riset Rhodium Group, mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir, negara-negara Eropa telah bersifat terbuka terhadap inisiatif OBOR Tiongkok. Sekarang, persepsi telah bergeser, mereka umumnya menganggap program tersebut sebagai “alat untuk menyebarkan pengaruh Tiongkok (PKT) ke luar negeri”.
Wall Street Journal mengatakan, bahwa sejauh ini, respons Eropa yang lesu terhadap inisiatif tersebut menunjukkan, bahwa lanskap global kini semakin menantang bagi Xi Jinping yang memiliki ambisi diplomatik. Jika di masa lalu negara-negara Eropa pernah mempertimbangkan untuk bergabung dengan OBOR, sekarang mereka malahan ingin bersaing dengannya.
Pada akhir Oktober nanti, pemerintah Eropa akan mengundang para pemimpin bisnis, pejabat, dan kepala negara dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia (tidak termasuk Tiongkok) ke forum mereka sendiri untuk mempromosikan rencana infrastruktur “Global Gateway” Uni Eropa senilai USD. 333 miliar. “Global Gateway” ini mencakup dunia, terutama proyek pembangunan infrastruktur di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dan dirancang untuk melawan inisiatif OBOR dari PKT yang pelunasannya “mencekik”.
Para pejabat Barat menuduh inisiatif OBOR membebani negara-negara miskin dengan utang besar, tentunya tuduhan ini dibantah Tiongkok. (sin)
Pakar : Ekonomi Tiongkok Melesu Akan Menyebabkan Resesi Lebih Buruk Daripada yang Dialami Jepang
Jessica Mao dan Olivia Li
Tiongkok saat ini sedang bergulat dengan kesengsaraan ekonomi yang semakin parah, karena ekspor dan permintaan domestik mengalami penurunan yang terus-menerus, sementara investasi swasta telah berkurang dan sektor real estate yang dulu pernah berkembang pesat kini kehilangan momentum.
Sementara beberapa analis mengatakan bahwa ekonomi Tiongkok kini mengalami stagnasi yang mirip dengan Jepang di awal “Dekade yang Hilang”, ungkap seorang ekonom dengan mengatakan bahwa masalah-masalah yang dihadapi Tiongkok lebih serius dibandingkan dengan masalah-masalah yang dihadapi Jepang di tahun 1990-an.
Dekade yang hilang adalah situasi di mana suatu negara atau wilayah mengalami kemerosotan ekonomi berkepanjangan yang berlangsung sekitar satu dekade. Contoh-contoh umum termasuk Inggris setelah Perang Dunia II, Amerika Latin setelah kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1980-an, dan Jepang setelah pecahnya gelembung di tahun 1990-an.
Tak lama setelah Tiongkok merilis data ekonomi kuartal kedua, banyak media Barat menyadari bahwa pemulihan negara ini di kuartal pertama hanya berlangsung singkat. Baru-baru ini, Wall Street Journal meramalkan bahwa “Dekade yang Hilang” di Tiongkok bagi para investor telah terjadi.
Situasi Tiongkok Sangat Berbeda dengan Jepang
Frank Tian Xie, seorang pakar ekonomi, mengatakan kepada The Epoch Times pada 25 Juli bahwa ekonomi Tiongkok jelas berada dalam resesi yang serius.
Xie adalah seorang profesor John M. Olin Palmetto di bidang Bisnis di University of South Carolina Aiken.
Beberapa orang berpikir bahwa Tiongkok mungkin akan mengalami deflasi. Xie mengindikasikan bahwa masih belum pasti apakah deflasi tidak dapat dihindari di Tiongkok. Namun, Tiongkok memang menghadapi masalah serius dengan meledaknya gelembung real estat dan menunjukkan tanda-tanda peringatan dini krisis keuangan.
“Beberapa orang mengatakan bahwa Tiongkok berada dalam situasi yang mirip dengan ‘Dekade yang Hilang’ di Jepang, dan memang ada beberapa kemiripan,” kata Xie.
“Memang benar bahwa Jepang mengalami kehancuran pasar saham dan kehancuran pasar perumahan pada saat itu, dan ekonomi Jepang melambat sepanjang tahun 1990-an. Faktanya, Dekade yang Hilang lebih dari satu dekade, telah diperpanjang menjadi 20 dan 30 tahun. Namun pada kenyataannya, situasi Tiongkok saat ini masih sangat berbeda dengan Jepang di tahun 1990-an.”
Pertama-tama, investasi berlebihan dan ekspansi perusahaan-perusahaan Jepang yang menyebabkan gelembung real estat dan pemborosan sumber daya adalah tindakan perusahaan, bukan tindakan pemerintah. Jepang, sebagai sebuah negara, tidak secara langsung terpengaruh oleh kebangkrutan perusahaan-perusahaan ini. Sebaliknya, masalah-masalah di Tiongkok disebabkan oleh situasi yang dipimpin oleh pemerintah, kata Xie.
“Berbagai pemerintah daerah di Tiongkok semuanya terlibat dalam real estat. Hutang pemerintah-pemerintah ini, hutang platform pembiayaan, dan hutang yang sangat tinggi dari bank-bank milik negara karena pinjaman real estat adalah masalah pemerintah, atau dengan kata lain, masalah seluruh penduduk,” lanjutnya.
“Orang kaya dan berkuasa dari Partai Komunis Tiongkok, perwakilan bisnis mereka di industri real estat, dan beberapa pengembang telah diuntungkan oleh hal ini, tetapi pada kenyataannya semua rakyat jelata Tiongkok sekarang terlilit utang, yang sangat berbeda dengan situasi di Jepang.”
Konsumsi, investasi aset tetap, dan ekspor secara bersama-sama disebut sebagai “tiga kereta kuda”, pendorong utama ekonomi Tiongkok.
Xie menunjukkan bahwa di Tiongkok saat ini, semua “tiga gerbong kuda” telah terhenti.
“Tiongkok mengalami penurunan besar untuk impor dan ekspor, pembangunan infrastruktur yang berlebihan, dan permintaan domestik yang lesu, tetapi Jepang tidak mengalami masalah ini. Bagi orang Jepang, tidak pernah ada masalah dengan standar hidup atau tingkat konsumsi, dan mereka juga tidak pernah mengalami tingkat pengangguran yang tinggi seperti di Tiongkok,” lanjut Xie.
Dalam retrospeksi, beberapa analis memberikan beberapa perspektif baru tentang Dekade yang Hilang di Jepang, dengan mengatakan bahwa meskipun ada satu dekade resesi ekonomi, tidak ada masalah sosial yang serius. Selain itu, lingkungan ekonomi Jepang mengalami perubahan yang stabil sejak saat itu, dan perusahaan-perusahaan Jepang juga menyesuaikan diri selama periode ini dan mendapatkan kembali posisi kepemimpinan teknologi mereka karena mereka terus memajukan teknologi mereka. Jadi situasinya sangat berbeda dengan Tiongkok.
Xie berkata : “Jika Anda bersikeras bahwa ada kesamaan, di permukaan, pecahnya gelembung real estat terjadi di kedua negara. Namun dalam hal masalah yang sebenarnya, tidak ada perbandingan sama sekali.”
Hal ini karena tidak ada kerusuhan sosial atau ketidakstabilan politik di Jepang, dan juga tidak ada masalah dengan struktur sosial. Di sisi lain, jika harga rumah di Tiongkok terus menurun, ditambah dengan melonjaknya pengangguran dan menyusutnya pendapatan, kekuasaan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan stabilitas masyarakat akan benar-benar terancam, dan konsekuensinya akan jauh lebih parah daripada yang terjadi di Jepang, kata Xie.
Data Ekonomi Menunjukkan Depresi
Pada Juni, ekspor Tiongkok turun 12,4 persen year-on-year (YoY), penurunan terbesar sejak Februari 2020. Total impor turun 6,8 persen tahun-ke-tahun, turun 2,3 poin persentase dari bulan sebelumnya. Kinerja ekspor dan impor berada di bawah ekspektasi pasar.
Pada 10 Juli, Biro Statistik Nasional Tiongkok merilis data CPI untuk semua provinsi di Tiongkok pada bulan Juni. Diantaranya, CPI di 17 provinsi mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Selain itu, Indeks Harga Produsen (PPI) turun 5,4 persen pada bulan Juni, 0,8 poin persentase lebih tinggi dari penurunan pada Mei. Ini menandai bulan keenam berturut-turut penurunan yang meluas dan level terendah sejak Januari 2016, menurut data resmi.
Pada 15 Juli, harga penjualan properti residensial di 70 kota besar dan menengah di Tiongkok dirilis sesuai jadwal. Kepala statistik Biro Statistik Nasional menafsirkan data penjualan tersebut, mengatakan bahwa harga penjualan properti residensial secara keseluruhan pada Juni turun dari bulan sebelumnya, dan kinerja pasar real estat pada Juni masih berada di bawah ekspektasi.
Media pemerintah Tiongkok mengakui bahwa meskipun ada banyak kebijakan stimulus real estate, pasar properti telah mendingin sejak April, karena sebagian besar pembeli rumah yang memiliki kebutuhan untuk membeli rumah masih kurang percaya diri di pasar, dengan sikap “menunggu dan melihat”.
Sejumlah perusahaan properti yang terdaftar di saham A terpaksa dihapuskan dari daftar saham dalam tiga bulan terakhir, karena harga saham mereka berada di bawah satu yuan ($ 0,14) selama 20 hari perdagangan berturut-turut, sementara lebih dari 15 perusahaan properti di Bursa Efek Hong Kong masih ditangguhkan.
Tingkat pengangguran kaum muda yang tinggi di Tiongkok juga menimbulkan kekhawatiran. Biro statistik melaporkan bahwa pengangguran di antara para pekerja berusia 16-24 tahun mencapai rekor 21,3% pada Juni. Namun, Zhang Dandan, seorang akademisi di Universitas Beijing, mengatakan bahwa jika sekitar 16 juta orang-mereka yang memilih untuk tidak bekerja dan hidup dari orang tua mereka-semuanya dihitung sebagai pengangguran, maka tingkat pengangguran kaum muda yang sebenarnya pada Maret mencapai 46,5%.
Bahkan dari data ekonomi yang dirilis oleh rezim Tiongkok sendiri, situasi ekonomi saat ini di Tiongkok mirip dengan yang terjadi pada awal “Dekade yang Hilang” di Jepang. Mengingat sejarah panjang PKT dalam memalsukan semua jenis statistik untuk menutupi masalah, kondisi ekonomi Tiongkok yang sebenarnya kemungkinan besar akan jauh lebih buruk.
Kane Zhang berkontribusi dalam laporan ini.