Home Blog Page 607

Long COVID: Sebuah Penjelasan dan Rangkuman Penelitian

Naseem S. Miller

Saat pandemi COVID-19 memasuki tahun ketiga, para peneliti sedang mempelajari lebih lanjut mengenai efek jangka panjang dari infeksi tersebut dan mengenai kumpulan gejala serta komplikasi yang biasa disebut long COVID.

Sesak napas, kelelahan dan “kabut otak” adalah gejala-gejala long COVID yang paling umum. Bagi sebagian orang, gejala-gejala ini menetap setelah terinfeksi Coronavirus. Bagi orang-orang yang lain, komplikasi-komplikasi baru muncul berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian.

Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti berapa lama long COVID berlangsung, siapa yang lebih cenderung menderita long COVID dan mengapa. Dan masih belum ada konsensus di dalam masyarakat medis mengenai definisi, diagnosis, dan pengobatan long COVID.

“Saya pikir kita masih belum memahaminya dengan sempurna,” kata Dr. Amesh Adalja, seorang sarjana senior di Pusat Keamanan Kesehatan Universitas Johns Hopkins, yang penelitiannya berfokus pada penyakit menular yang muncul, kesiapsiagaan pandemi dan keamanan hayati.

Di bawah ini kami telah membahas beberapa pertanyaan penting mengenai long COVID dan merangkum beberapa penelitian yang dapat digunakan para jurnalis untuk mendukung pemberitaannya. Perlu diingat bahwa pengetahuan dan penelitian di bidang ini berkembang dengan pesat, dan kami akan memperbarui bagian ini secara berkala saat analisis-analisis baru terungkap.

Apa itu Long COVID?

Tidak ada definisi universal untuk long COVID.

Pusat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit AS (CDC) mengatakan bahwa long COVID adalah berbagai masalah kesehatan fisik dan mental yang baru, yang kambuh, atau yang berkelanjutan yang dapat dialami orang-orang empat minggu atau lebih setelah pertama kali terinfeksi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19.

Orang-orang dengan long COVID biasanya menderita kombinasi gejala, yang antara lain mencakup sesak napas, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi atau berpikir (“kabut otak”), nyeri kepala, masalah-masalah tidur, pusing, ruam dan nyeri sendi atau nyeri otot. Beberapa orang yang menderita infeksi COVID-19 yang parah juga dapat menderita kondisi autoimun. Orang-orang lain mungkin mengalami komplikasi yang mempengaruhi jantung, paru-paru, ginjal atau kulit mereka.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki pandangan yang lebih luas untuk gejala-gejala yang dapat dianggap gejala-gejala long COVID. Bukannya empat minggu menurut Pusat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan long COVID terjadi “biasanya 3 bulan sejak awal COVID-19 dengan gejala yang berlangsung selama minimal 2 bulan dan tidak dapat dijelaskan dengan sebuah diagnosis alternatif.” Gejala-gejala ini mungkin telah bertahan sejak penyakit awal, hilang dan muncul kembali, atau menjadi penyakit baru.

Mulai Juli 2021, long COVID dapat dianggap sebagai suatu kelumpuhan di bawah Undang-Undang Penyandang Kelumpuhan Amerika Serikat, menurut Kementerian Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat.

Apakah Istilah “Long COVID” Adalah Istilah yang Tepat?

Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menggunakan istilah umum “kondisi pasca-COVID.” CDC juga mencantumkan istilah lain yang digunakan untuk kondisi tersebut, termasuk long COVID, long-haul COVID, COVID-19 pasca-akut, COVID jangka panjang, COVID kronis, sindrom COVID pasca-akut.

Para ilmuwan menggunakan istilah umum sequala pasca-akut dari infeksi SARS-CoV-2, atau PASC. Long COVID berada di bawah istilah ini; begitu juga sindrom peradangan multisistem pada anak-anak (MIS-C) dan orang dewasa (MIS-A), yang merupakan suatu respons imun yang jarang tetapi parah terhadap infeksi COVID-19.

Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan, “Kondisi pasca COVID-19, juga dikenal sebagai ‘long COVID,’ mengacu secara kolektif pada kumpulan gejala jangka panjang yang dialami beberapa orang setelah mereka menderita COVID-19. Orang-orang yang mengalami kondisi pasca COVID-19 kadang menyebut dirinya sebagai ‘long-hauler.’”

Associated Press Stylebook menganjurkan “long-haul COVID-19” atau “long COVID-19.” “Kami tidak menggunakan istilah medis,” kata Associated Press Stylebook, yang mengacu pada sequala pasca-akut dari infeksi SARS-CoV-2. New York Times menggunakan istilah “long Covid.”

Apa Perbedaan Antara Long COVID dengan Sindrom Pasca Unit Perawatan Intensif?

Pasien yang menghabiskan waktu di Unit Perawatan Intensif dapat mengembangkan post-intensive care syndrome (PICS) atau sindrom pasca perawatan intensif, yang dapat mencakup kelemahan yang parah, masalah dengan pemikiran dan penilaian serta post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca-trauma, menurut CDC. Sindrom pasca perawatan intensif adalah sebuah diagnosis medis yang mapan yang sudah ada jauh sebelum COVID-19.

“Adalah sangat penting untuk memisahkan long COVID panjang dari kondisi-kondisi seperti sindrom pasca perawatan intensif, karena siapa pun yang dirawat di unit perawatan intensif dengan menggunakan sebuah ventilator tidak akan pulih [dengan cepat],” kata Dr. Amesh Adalja.

Bagian penelitian saat ini difokuskan pada membedakan kondisi yang hanya hasil dari infeksi COVID-19 dari orang-orang yang dihasilkan dari rawat inap di rumah sakit dan perawatan lain untuk penyakit yang parah akibat infeksi tersebut.

“Beberapa gejala yang dapat terjadi setelah dirawat di rumah sakit adalah mirip dengan beberapa gejala yang mungkin dialami oleh orang-orang yang awalnya menderita gejala ringan atau tanpa gejala selama beberapa minggu setelah COVID-19,” menurut CDC. 

“Mungkin sulit untuk mengetahui  apakah gejala-gejala itu disebabkan oleh efek rawat inap di rumah sakit, efek virus jangka panjang, atau kombinasi keduanya.”

Siapa yang Menderita Long COVID?

Long COVID dapat terjadi pada orang-orang yang sedang sakit berat, sedang sakit ringan atau tidak memiliki gejala.

“Sementara pasien yang berusia lebih tua dan pasien yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya mungkin memiliki peningkatan risiko penyakit yang parah, orang-orang muda, termasuk orang-orang yang sehat secara fisik sebelum infeksi SARS-CoV-2, juga telah melaporkan gejala yang berlangsung beberapa bulan setelah penyakit akut,” menurut CDC.

Pada September 2021, Institut Kesehatan Nasional mengumumkan pembentukan penelitian nasional untuk “memahami bagaimana orang-orang pulih dari COVID-19 dan mengapa beberapa orang tidak pulih sepenuhnya setelah infeksi  virus tersebut yang tampaknya telah sembuh.” 

Penelitian ini disebut Meneliti COVID untuk Meningkatkan Inisiatif Pemulihan, atau RECOVER Initiative. Proyek tersebut, yang akan mencakup beberapa universitas dan rumah sakit, masih dalam tahap awal dan belum mendaftarkan pasien-pasien.

Seberapa Umum Long COVID?

Kami belum tahu, terutama karena kurangnya penelitian jangka panjang. Perkiraan long COVID sangat bervariasi dalam literatur saat ini, mulai dari 5% hingga 80%, menurut CDC.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sekitar 10% hingga 20% orang mengalami “efek jangka menengah dan efek jangka panjang” COVID-19 setelah mereka pulih dari penyakit awal.

Menurut Kantor Statistik Nasional Inggris, diperkirakan 1,3 juta orang, atau 2,1% populasi, melaporkan sendiri menderita long COVID. Perkiraan tersebut berdasarkan survei terhadap 305.997 orang selama periode empat minggu yang berakhir pada 2 Januari 2022.

Organisasi Kesehatan Dunia telah mengembangkan kode-kode medis untuk long COVID, yang dapat membantu dokumentasi dan pengawasan kondisi di seluruh dunia.

Long COVID juga dapat terjadi pada anak-anak, tetapi tampaknya lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Long COVID juga lebih sering dilaporkan terjadi pada wanita, tetapi para peneliti tidak tahu alasannya.

Bagaimana Diagnosis Long COVID Ditegakkan?

Menegakkan diagnosis long COVID adalah tidak sederhana. Tidak ada uji laboratorium yang dapat secara pasti membedakan long COVID saat ini. Dalam panduannya untuk para dokter, CDC menganjurkan sebuah daftar uji untuk mengevaluasi orang- -orang yang menderita long COVID.

Beberapa pasien yang mengembangkan long COVID lama mungkin tidak pernah memiliki sebuah uji positif untuk infeksi tersebut atau mungkin pernah menerima sebuah uji negatif karena berkurangnya kadar antibodi atau hasil negatif palsu, demikian CDC menjelaskan.

Dr. Amesh Adalja mengatakan ia pertama kali mengesampingkan sindrom pasca perawatan intensif dan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya yang mungkin tidak terdiagnosis. Ia kemudian melihat apakah gejala pasien yang menetap mengganggu aktivitas sehari-hari si pasien. Sebuah contoh adalah seseorang yang dulu mampu naik tangga tetapi sekarang menjadi terengah-engah setelah beberapa langkah. Ia menambahkan bahwa ia tidak menganggap batuk kronis sebagai satu gejala long COVID, karena terjadi setelah banyak infeksi virus dan dapat bertahan selama berminggu-minggu.

“Dan kemudian anda pada akhirnya mendapatkan sebuah diagnosis pengecualian: Tidak, mereka tidak dirawat di Unit Perawatan Intensif. Ya, hal ini [membatasi aktivitas-aktivitas sehari-hari]. Dan tidak, hal ini bukan sesuatu yang disebabkan oleh penyakit lain yang mungkin ada. Dan kemudian anda kembali didiagnosis menderita long COVID,” kata Dr. Amesh Adalja.

CDC mencatat bahwa para dokter tidak boleh hanya mengandalkan hasil laboratorium atau pencitraan untuk menilai pasien-pasien.

“Kurangnya kelainan-kelainan laboratorium atau pencitraan tidak membatalkan keberadaan, keparahan, atau pentingnya gejala-gejala atau kondisi-kondisi pasien,” kata Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.

Bagaimana Perawatan Long COVID?

Tidak ada pengobatan tunggal atau obat tunggal untuk long COVID, karena long COVID bukan hanya satu penyakit. Banyak kondisi pasca-COVID dapat membaik melalui pendekatan-

pendekatan mapan yang menatalaksana gejala-gejala, menurut CDC. Misalnya, latihan pernapasan dapat memperbaiki sesak napas.

Di seluruh Amerika Serikat, rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan mendirikan klinik untuk para pasien yang menderita long COVID, menyatukan spesialisasi yang berbeda-beda untuk mengatasi kebutuhan pasien. Setidaknya 66 rumah sakit dan sistem kesehatan memiliki klinik pasca-COVID-19, menurut Becker’s Hospital Review.

Banyak kondisi pasca-COVID juga dapat ditatalaksana oleh penyedia perawatan primer, menurut CDC.

“Pada akhirnya, tidak akan menjadi sesuatu yang akan disetujui untuk ‘minum pil ini dan long COVID yang anda derita akan hilang,’” kata Dr. Amesh Adalja. 

“Dan saya pikir sampai kami memahami apa yang terjadi pada para pasien itu, akan lebih seperti obat presisi dari satu ukuran cocok untuk semua.

Bagaimana Long COVID Dapat Dicegah?

Lakukan yang terbaik untuk tidak terkena COVID, kata Dr. Amesh Adalja.

Penelitian juga menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah divaksinasi cenderung tidak menderita long COVID.

Sebuah pengarahan oleh Badan Keamanan Kesehatan Inggris, yang diterbitkan pada Februari 2022, meneliti 15 penelitian yang melaporkan efektivitas vaksin terhadap long COVID. Pengarahan tersebut menemukan bahwa orang-orang yang sudah divaksinasi lengkap terhadap COVID-19 memiliki risiko lebih rendah untuk menderita long COVID dibandingkan dengan orang-orang yang sudah divaksinasi sebagian atau tidak divaksinasi.

Bagaimana Dibandingkan dengan Penyakit Infeksi Lainnya?

COVID-19 bukanlah penyakit menular pertama yang memiliki efek-efek berkepanjangan.

Setelah flu tahun 1918, beberapa orang mengalami gejala long-haul flu yang disebut Ensefalitis Von Economo, yang oleh mendiang Dr. Oliver Sacks, seorang dokter dan penulis terkenal kemudian menulis mengenai hal ini di dalam bukunya berjudul “Kebangkitan,” yang menjadi sebuah film dengan judul yang sama, kata Dr. Amesh Adalja.

Penyakit lain yang dapat memiliki efek berlama-lama termasuk mononukleosis, atau mono, dan penyakit Lyme. (Vv)

Naseem S. Miller bergabung dengan The Journalist’s Resource pada tahun 2021 setelah bekerja sebagai reporter kesehatan di surat kabar dan publikasi perdagangan medis, yang mencakup berbagai topik mulai dari perawatan kesehatan pemasyarakatan hingga uji klinis. Dia memiliki gelar sarjana di bidang molekuler dan mikrobiologi dan gelar master dalam jurnalisme multimedia

IIF : Terjadi Arus Keluar Modal Jumlah Besar dari Daratan Tiongkok Setelah Pecah Perang Rusia – Ukraina

 oleh Xiao Jing

Menurut data deret waktu yang dikumpulkan oleh data frekuensi tinggi (High-frequency data), bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah memicu money outflow jumlah besar dari daratan Tiongkok yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan para investor di daratan Tiongkok mengalami penurunan drastis di tengah konflik geopolitik dan ketidakpastian

Analis dari Institute of International Finance (IIF) setelah mengumpulkan data harian mengatakan, telah terjadi pergeseran arus modal yang “sangat tidak normal” di pasar negara berkembang di seluruh dunia pada akhir bulan Februari tahun ini. Banyak investor di daratan Tiongkok menarik diri dari pasar.

“Skala dan intensitas keluarnya modal dari daratan Tiongkok sangat luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya, terutama karena kita tidak melihat ada arus keluar serupa yang terjadi pada pasar negara berkembang lainnya”, kata Robin Brooks, seorang kepala ekonom di IIF.

Dalam laporan yang ditulis oleh Robin Brooks bersama rekannya pada 24 Maret disebutkan : Arus keluar modal secara besar-besaran dari pasar di Tiongkok ini justru terjadi bertepatan dengan di saat-saat Rusia melakukan invasi ke Ukraina. Hal ini menunjukkan bahwa investor asing mungkin menggunakan pandangan lain untuk melihat Tiongkok. Namun demikian, terlalu dini bagi kami untuk menarik kesimpulan pasti tentang apa alasan sebenarnya.

Para ekonom mengatakan bahwa Rusia mungkin akan melihat keuntungan finansialnya yang dapat diperoleh selama lebih dari satu dekade, menguap akibat sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, ditambah lagi dengan perusahaan-perusahaan asing yang terpaksa memutuskan hubungannya dengan Rusia.

Analisis IIF sebelumnya menyebutkan bahwa, pertumbuhan ekonomi Rusia tahun ini (2022)dihadapkan pada kontraksi sekitar 15% akibat sanksi dari banyak negara gara-gara invasi ke Ukraina. Kontraksi ekonomi bisa mencapai 2 kali lebih dalam dari resesi Rusia selama krisis keuangan global.

Meskipun IIF tidak mengharapkan resesi menyebar luas di pasar negara berkembang, tetapi efek limpahan perang tidak dipungkiri telah membuat para pengamat pasar di Tiongkok khawatir.

Bloomberg mengutip 1 set data resmi yang menunjukkan bahwa bulan lalu, investor asing telah menjual obligasi pemerintah Tiongkok senilai USD. 5,5 miliar. Ini tercatat sebagai arus keluar modal bulanan terbesar yang terjadi di Tiongkok. Pengamat pasar keuangan menduga  bahwa Moskow mungkin menjual oblogasi pemerintah Tiongkok untuk mengumpulkan dana karena cadangan devisa bank sentral Rusia yang disimpan dalam euro dan dolar AS telah dibekukan oleh sanksi.

Beberapa pihak khawatir bahwa kemungkinan sikap Tiongkok yang pro-Rusia dapat memicu babak baru sanksi Barat terhadap Moskow.

Pada 11 Maret, SEC (Securities and Exchange Commission), atau Komisi Sekuritas dan Bursa AS mewajibkan 5 perusahaan daratan Tiongkok yang go-public di AS untuk segera menyerahkan laporan hasil audit kepada regulator tepat waktu, jika tidak, maka regulator akan memaksa penghentian transaksi di bursa efek AS. Berita tersebut telah memicu para investor di AS dan Hongkong untuk menjual seluruh saham perusahaan Tiongkok yang bersangkutan.

Beijing selain tidak menggunakan pengaruhnya terhadap Moskow untuk mendorong percepatan gencatan senjata, sebaliknya, menolak untuk mengutuk agresi Rusia, menolak untuk menjatuhkan sanksi apa pun terhadap Rusia, bahkan berjanji untuk membangun hubungan perdagangan yang normal dengan Moskow dan secara aktif melepaskan retorika pro-Rusia di dalam negeri. Meskipun Beijing telah berulang kali mengklaim bahwa PKT bersikap “menjaga netralitas”.

“Tiongkok tidak boleh memberikan dukungan ekonomi atau militer kepada Rusia guna keperluan invasi”, kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam konferensi pers pada 24 Maret. Sehari sebelumnya, Jens menuduh Beijing secara terang-terangan menyebarkan kebohongan dan informasi yang salah.

Pada hari yang sama, Gedung Putih memperingatkan Beijing untuk tidak menggunakan peluang bisnis yang diciptakan oleh sanksi untuk memberikan bantuan ekonomi kepada Rusia. Sebelumnya, duta besar Tiongkok untuk Rusia, Zhang Hanhui mendesak pengusaha Tiongkok di Moskow untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan segera mengisi kesenjangan yang timbul dalam ekonomi Rusia.

Presiden AS Joe Biden memperingatkan Xi Jinping pekan lalu tentang adanya konsekuensi jika Beijing memberikan bantuan material kepada Rusia selama konflik.

“Pada tahap ini, terlalu dini untuk berpendapat apakah perang mendorong arus keluar modal besar-besaran dari daratan Tiongkok, atau karena ada faktor lainnya”, kata Robin Brooks. Penyebaran gelombang baru virus komunis Tiongkok (COVID-19) di daratan Tiongkok serta tindakan keras yang diterapkan regulasi di Beijing, semua ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kepanikan di kalangan investor. (sin)

[Kolom Karikatur] AS Menetapkan Pemerintah Junta Militer Myanmar Sebagai Pelaku Genosida

oleh Radio Free Asia (RFA)

Pada 21 Maret 2022, pemerintah Amerika Serikat secara resmi menetapkan pemerintah junta militer Myanmar sebagai pelaku genosido atas kekejamannya terhadap kelompok etnis Rohingya

Asap Hitam Pekat Mengepul dari Area Kota Terlarang, Dugaan Mengarah ke Zhongnanhai di Beijing

0

oleh Qiao An

Pada Jumat (25/3/2022), terlihat kepulan asap hitam pekat dari area dalam Kota Terlarang dan Zhongnanhai di Beijing. Sampai berita diturunkan, belum diketahui penyebab kebakaran.

Dari rekaman video yang diunggah ke Internet oleh saksi mata yang mengambil dari beberapa sudut seperti dari depan Lapangan Tiananmen, Gerbang Zhongnanhai, Taman Beihai dan lainnya, terlihat kepulan asap tebal atau kebakaran terjadi dalam area Kota Terlarang.

Menurut penilaian orang-orang yang akrab dengan medan Beijing, bahwa dilihat dari sudut pengambilan gambar diduga kuat lokasi kebakaran adalah Zhongnanhai.

Karena Zhongnanhai adalah kediaman pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok, banyak netizen yang mengatakan bahwa tidak perlu diragukan lagi ini adalah isyarat kematian partai.

Di awal bulan ini, pintu gerbang sisi Hall of Supreme Harmony dalam Kota Terlarang ambruk gara-gara tertiup angin kencang. Beberapa pakar Fengshui dari Hongkong dan Taiwan dengan blak-blakan mengatakan, bahwa itu merupakan pertanda sangat buruk bagi partai yang sedang berkuasa. (sin)

Tentara Ukraina di Kyiv Hancurkan Konvoi Lapis Baja Rusia

Han Fei – NTD

Pada hari ke-23 invasi Rusia ke Ukraina, militer Ukraina mengatakan bahwa mereka berhasil melawan konvoi lapis baja Rusia dan merebut kembali sebuah desa di daerah Kyiv.

Sebanyak lima kendaraan lapis baja Rusia dibakar, dan jejak pertempuran sengit dapat dilihat di kenderaan lapis baja itu. Tentara Ukraina berhasil melawan tentara Rusia dan merebut kembali beberapa desa yang diduduki oleh tentara Rusia.

Prajurit Ukraina berkata : “Kami bertemu tentara Rusia, yang sangat terampil. Awalnya kami tidak bisa maju. Kami bertempur selama beberapa hari, dan pada hari ketiga kami berhasil membuat mereka keluar dari desa.”

Kendaraan lapis baja Rusia diledakkan oleh ranjau yang dipasang oleh tentara Ukraina, setelah trek jatuh, tidak bisa bergerak dan ditinggalkan.

Prajurit Ukraina: “Kolom ini ada di sini untuk mendukung kekuatan utama. Kami mengintai dari belakang dan meletakkan ranjau di posisi mereka. Mereka jatuh ke dalam perangkap kami, menginjak ranjau, dan diserang oleh artileri kami, dan harus mundur.”

Tentara Ukraina juga meledakkan beberapa kendaraan militer Rusia di hutan di pinggiran Kyiv di bawah bimbingan drone. Menurut sebuah analisis oleh situs Intelijen Pertahanan Inggris, tentara Rusia berada di ambang kehancuran, dan pasokan logistiknya tidak mencukupi.

Tentara Ukraina mengatakan: “Mereka mencoba untuk maju, tetapi tidak bisa, jadi mereka mundur, meninggalkan peralatan, tentara yang terluka, barang-barang, amunisi, dan senjata.” (hui)

Lebih dari 5.000 Orang Meninggal Dunia di Hong Kong karena COVID-19, Pemerintah Hong Kong Mulai Mencabut Banyak Pembatasan

0

Li Mei dan Rong Yu – NTD

Tak termasuk daratan Tiongkok pada Senin 21 Maret, lebih dari 470 juta orang di seluruh dunia didiagnosis dengan COVID-19 atau virus Komunis Tiongkok dan sekitar 6,07 juta meninggal dunia. Jumlah kasus yang dikonfirmasi dan rawat inap di Inggris terus meningkat, dan kota-kota tetap buka. Otoritas Hong Kong mencabut banyak pembatasan, termasuk larangan terbang.

Hong Kong melaporkan 14.000 kasus baru pada hari itu, hari ketiga berturut-turut di bawah 20.000 kasus. Ada 223 kasus kematian baru pada hari tersebut, sehingga jumlah kematian menjadi lebih dari 200 kasus selama 17 hari berturut-turut. Gelombang kelima wabah telah menewaskan lebih dari 5.000 orang.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengumumkan pada hari itu bahwa sejumlah pembatasan akan dicabut. Termasuk penundaan rencana tes COVID-19 wajib nasional yang diumumkan pada 22 Februari, pembatalan awal larangan penerbangan dari sembilan negara, dan pengurangan karantina hotel menjadi setidaknya 7 hari.

“Larangan penerbangan di sembilan negara tidak lagi diperlukan karena situasi epidemi di negara-negara ini tidak lebih buruk daripada di Hong Kong,” katanya.

Carrie Lam mengakui bahwa tindakan ini telah menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menuturkan: “Jika kita melanjutkan larangan penerbangan, maka akan membawa masalah besar bagi orang-orang Hong Kong yang terdampar di sembilan negara ini.”

Pemerintah Hong Kong mengatakan bahwa beberapa pebisnis khawatir tentang perlunya memasuki fasilitas karantina untuk tes COVID-19 secara nasional, dan memutuskan  meninggalkan Hong Kong untuk waktu yang singkat.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid mengatakan pada hari yang sama, bahwa pemerintah Inggris tidak terlalu khawatir tentang varian subtipe Omicron BA.2 yang lebih menular dan  tingkat siaga tidak berubah.

Javid berkata : “Tingkat kewaspadaan kami tidak berubah karena meskipun jumlah kasus, tingkat infeksi meningkat dan rawat inap meningkat, masih jauh di bawah puncaknya.”

Tiga minggu lalu, Inggris berhenti mewajibkan karantina lima hari bagi mereka yang dites positif. Semua pembatasan masuk dicabut lagi minggu lalu, dan pelancong tidak lagi diharuskan untuk menjalani tes COVID-19  saat masuk.

Sedangkan Jepang mencabut “langkah-langkah utama untuk mencegah penyebaran ” di 18 prefektur pada Senin 21 Maret, mengakhiri gelombang keenam epidemi dan mengembalikan warga ke kehidupan normal.

Sejak Januari, Jepang telah mencatat peningkatan sekitar 4,3 juta kasus yang dikonfirmasi, dan 90% dari kematian berusia di atas 70 tahun. (hui)

Perhitungan Rusia yang Rumit oleh Tiongkok

0

oleh James R. Gorrie 

Beijing mencoba memainkan sebuah permainan yang cerdas dengan mendukung perang Rusia di Ukraina, sambil menyeimbangkan tindakan- dan retorikanya, mengingat reaksi Barat yang sangat kuat terhadap invasi.

Tanpa berbuat kesalahan mengenai hal itu, meskipun kemajuan lebih lambat dari yang diantisipasi, kecuali perkembangan yang tidak terduga, Rusia akan menang dalam konflik  dengan Ukraina ini. Selanjutnya, Beijing tidak akan mengutuk mitranya, Rusia, setelah menggambarkan kemitraan antara kedua bangsa tersebut seperti “batu yang kokoh.”

Oleh karena itu, Beijing berusaha untuk mempertahankan kredibilitas di Barat, di mana kepentingan ekonomi Beijing adalah sangat besar, dan bersamaan dengan aliansi Beijing yang ekspansif dan berwawasan ke depan bersama dengan Rusia.

Sebuah Aliansi Campur-Aduk

Konon, dukungan Beijing untuk Moskow adalah rumit, di mana terdapat campuran antara keuntungan dengan kerugian.

Misalnya, Beijing ingin meminimalkan dampak ekonomi dari sanksi terhadap Rusia, namun tidak akan mengorbankan kepentingan ekonomi Beijing untuk membantu Moskow mengatasi sanksi tersebut. Hal tersebut dapat dimengerti. Dengan cadangan mata uang asing yang semakin menipis dan menyusutnya pasar-pasar di Eropa, Tiongkok sendiri menjadi lebih rentan secara ekonomi.

Lebih jauh lagi, tidak peduli seberapa keras Beijing berupaya memainkan kedua  pihak, Beijing telah kehilangan banyak niat baiknya dengan Eropa dan Barat karena kebijakan perdagangan Beijing yang beracun, pencurian teknologi yang merajalela, serta dukungan Beijing terhadap invasi Rusia.

Tidak ada yang benar-benar percaya pernyataan Beijing bahwa Beijing menginginkan hidup damai secara berdampingan atau bergerak melampaui suatu “mentalitas Perang Dingin” karena Beijing sepenuhnya mendukung sebuah perang tanpa beralasan di Ukraina. Tujuan Partai Komunis Tiongkok adalah untuk menggantikan Amerika Serikat dan memerintah dunia, dan semua orang tahu akan hal itu.

Rusia Merangkul Tiongkok

Pada saat yang sama, invasi tersebut telah mendorong Rusia semakin jatuh ke dalam cengkeraman Tiongkok. Hal itu seharusnya tidak mengejutkan siapa pun, apalagi negara-negara lain. Rusia dan Tiongkok membentuk aliansi  jauh sebelum invasi tersebut dan cenderung merencanakan aliansi tersebut bersama-sama sebagai perlawanan terhadap kekuatan Amerika Serikat.

Tetapi sekarang di bawah sanksi-sanksi ekonomi yang luas dari Barat, Rusia membutuhkan Tiongkok lebih dari sebelumnya. Lebih dari 300  perusahaan Barat telah menarik diri dari Rusia dalam dua minggu terakhir-—dari maskapai penerbangan hingga makanan cepat saji, hingga perusahaan internet–yang menghancurkan ekonomi Rusia.

Misalnya, Moskow mengandalkan raksasa telekomunikasi Tiongkok Huawei untuk mengisi celah isolasi digital yang ditinggalkan oleh penyedia layanan internet Barat.

Rusia hampir tidak memiliki tempat lain untuk mencari layanan internet dan kemampuan digital lainnya yang diperlukan.

Kemungkinan Hasil Invasi ke Ukraina

Dalam suatu konteks geopolitik, hasil di Ukraina dapat sedikit berbeda-beda. Eropa yang tidak stabil dengan hubungan Amerika Serikat yang tegang dan berkurang pengaruh Amerika Serikat, misalnya, dapat menjadi sebuah kemenangan besar bagi Beijing dan Rusia. Hal itu dapat membuat NATO menjadi tidak relevan jika hampa.

Namun, jika NATO entah bagaimana tumbuh lebih kuat dan membantu Ukraina untuk mengusir Rusia, hal itu dapat dengan cepat memperluas perang. Memang, Presiden Rusia Vladimir Putin mungkin sudah melakukannya di mana hingga 16.000 pejuang Suriah dalam perjalanan ke Ukraina. Tetapi jika Ukraina entah bagaimana tetap independen, maka hal itu akan menyebabkan kerugian lebih lanjut bagi Beijing dan Moskow dalam hal akses pasar Eropa dan pengaruh di seluruh dunia.

Hasil semacam itu mungkin tergantung pada keinginan atau kemampuan Eropa untuk melawan Moskow dan kemampuan Amerika Serikat untuk memperkuat hubungan Atlantik daripada terlihat lemah di panggung dunia.

Hasil ketiga dan sangat menguntungkan bagi Rusia untuk menyatukan keuntungan Rusia di Krimea, membangun negara-negara pengekor di Luhansk dan Donetsk, dan menegakkan netralitas dari apa yang tersisa dari Ukraina. Hal ini akan memberi kemenangan besar bagi Rusia tanpa memicu sebuah konflik yang lebih luas dan NATO sebagai jalan keluar.

Keuntungan Bertambah untuk Moskow Maupun Beijing

Namun, satu keuntungan yang diberikan invasi tersebut kepada Tiongkok adalah wawasan mengenai bagaimana Beijing dapat mempersiapkan, atau bahkan menghindari, masalah yang dihadapi Rusia, jika rezim Tiongkok menyerang Taiwan. Namun, tingkat keuntungan itu adalah tidak jelas.

Keuntungan lain adalah kenyataan bahwa perdagangan antara kedua negara itu telah melonjak hampir 40 persen selama tahun lalu, menjadi sekitar USD 147 miliar. Ini adalah hubungan yang penting dan saling menguntungkan. Sebagai pengimpor makanan terbesar di dunia, Tiongkok membutuhkan makanan Rusia dan sumber daya Rusia. Kesepakatan perdagangan baru-baru ini mencakup Tiongkok mengimpor minyak, gas, batubara, dan biji-bijian dari Rusia. Sebagai pengekspor gandum terbesar di dunia, Rusia menjadi lebih kritis dari sebelumnya.

Sebaliknya, Rusia membutuhkan bantuan keuangan Tiongkok, serta dukungan keahlian teknologi-tinggi dan produk konsumen dari Tiongkok. Sebagai contoh, sistem pembayaran UnionPay Tiongkok, yang bersaing dengan Mastercard dan Visa, sedang diadopsi oleh Rusia.

Pada saat yang sama, poros Rusia-Tiongkok memiliki ruang lingkup yang strategis, yang dimaksudkan untuk menantang tatanan liberal saat ini yang dipimpin oleh Amerika Serikat kawasan di Eropa dan di kawasan Asia Pasifik, baik secara militer maupun secara ekonomi.

Sistem pembayaran antar- bank lintas-batas Tiongkok dirancang untuk mengganti sistem SWIFT. Hal ini akan memberikan kekebalan terhadap sanksi-sanksi keuangan yang diberikan oleh Amerika Serikat. Negara-negara lain yang ingin menghindari kendali Amerika Serikat atas ekonomi mereka juga akan menyambut suatu alternatif SWIFT.

Tujuan yang Bertentangan

Seperti disebutkan sebelumnya, di satu sisi, Tiongkok berusaha menyeimbangkan hubungannya dengan para pemimpin global saat ini, dan di sisi lain, memanfaatkan kemitraannya dengan Rusia. Beberapa orang memandang Rusia sebagai bagian yang lebih kuat dari aliansi tersebut, tetapi agresi Rusia memungkiri keputusasaan Rusia, bukannya keunggulan Rusia.

Salah satu poin penting yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan adalah untuk mempertimbangkan dalam aliansi Tiongkok-Rusia adalah tempat kepentingan masing-masing mitra berada, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam jangka pendek, kepentingan-kepentingan Rusia termasuk menaklukkan Ukraina, menghidupkan kembali ekonomi Rusia, dan mungkin menaklukkan satelit bekas Uni Soviet. Kepentingan Tiongkok melemahkan kendali keuangan global Amerika Serikat dan mungkin mengambilalih Taiwan.

Dalam jangka panjang, Rusia ingin mendominasi Eropa, sedangkan Tiongkok ingin mendorong Amerika Serikat keluar dari kawasan Asia-Pasifik serta mendominasi Eropa. Dengan demikian, juga akan mencakup Rusia.

Sementara itu, kedua negara menghadapi beberapa tantangan serupa.

Misalnya, di tingkat makro, keduanya menghadapi tantangan ekonomi yang kaku. Tiongkok sangat perlu mengalihkan ekonominya dari pengembangan real estate berbasis-utang ke konsumsi domestik. Ledakan ekonomi Rusia adalah jauh lebih dramatis dan membuat Rusia menjadi lebih lemah daripada  Tiongkok.

Di tingkat mikro, kedua pemerintah itu pada dasarnya memerintah negaranya masing-masing melalui kediktatoran.

Mungkin tidak secara kebetulan, keduanya semakin terisolasi dari panggung dunia. Seperti disebutkan dalam sebuah posting sebelumnya, pemimpin Tiongkok Xi Jinping belum meninggalkan Beijing dalam lebih dari dua tahun. Xi Jinping mungkin menghadapi tantangan internal di dalam Partai Komunis Tiongkok. Sementara itu, Vladimir Putin bersembunyi di sebuah bunker gunung.

Seperti dalam semua perang, ada hasil-hasil yang diantisipasi dan tidak terduga. Tetapi pada akhirnya, tampaknya Tiongkok–—bukannya Rusia–—yang paling diuntungkan dan paling kalah dari perang di Ukraina. (VIV)

AS Nyatakan Rusia Melakukan Kejahatan Perang di Ukraina

Luo Tingting

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken  mengeluarkan pernyataan pada 23 Maret. Setelah meninjau dengan cermat informasi dan intelijen yang ada, AS secara resmi mengidentifikasi Rusia melakukan kejahatan perang di Ukraina.

Dalam sebuah pernyataan, Menlu Antony Blinken menunjukkan bahwa serangan tanpa henti dan kekerasan Rusia, telah menyebabkan kematian, cedera dan kehancuran di Ukraina sejak invasi ke Ukraina pada 24 Februari.

Blinken mengatakan bahwa menurut beberapa laporan yang kredibel, pasukan Rusia telah meluncurkan serangan membabi buta di Ukraina, dengan sengaja menargetkan warga sipil dan melakukan kekejaman lainnya. Mereka menghancurkan bangunan tempat tinggal, kampus, rumah sakit, infrastruktur penting, kendaraan sipil, pusat perbelanjaan dan ambulans, menewaskan ribuan warga sipil tak berdosa.

Dia mengatakan banyak situs yang diserang oleh Rusia ditandai dengan jelas sebagai milik warga sipil, termasuk Rumah Sakit Wanita dan Anak Mariupol, dan teater lokal dengan kata Rusia untuk “anak-anak”. Tentara Rusia tidak hanya mengejutkan dunia, tetapi juga, seperti yang dikatakan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, “membasahi rakyat Ukraina dengan darah dan air mata”.

Blinken memposting video di Twitter pada 23 Maret, dan memposting bahwa pasukan Rusia membunuh orang-orang Ukraina setiap hari – tentara, warga sipil, anak-anak. Orang-orang takut untuk bermalam di rumah, karena serangan rudal dan pemboman. Dia meminta masyarakat untuk berbagi kebenaran dan membantu orang-orang Ukraina.

Menurut statistik dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), pada 22 Maret, serangan Rusia telah melukai 1.594 warga sipil di Ukraina dan menewaskan 977 orang, termasuk 81 anak kecil.

Sebagian besar korban sipil disebabkan oleh berbagai senjata peledak, termasuk artileri berat, beberapa sistem roket, rudal dan serangan udara, kata OHCHR. Mereka percaya “jumlah sebenarnya dari korban akan lebih tinggi”.

Blinken mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa Amerika Serikat akan terus melacak laporan kejahatan perang Rusia dan akan menggunakan semua alat untuk mencari pertanggungjawaban, termasuk penuntutan pidana.

Setelah  diserbu oleh Rusia, Ukraina segera mengajukan pengaduan darurat ke Mahkamah Internasional, meminta badan peradilan tertinggi PBB untuk memerintahkan Rusia segera menghentikan operasi militernya terhadap Ukraina.

Pada 16 Maret, Pengadilan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa Rusia harus segera menghentikan invasinya ke Ukraina.

Dokumen putusan menunjukkan bahwa 13 hakim memberikan suara mendukung dan dua hakim memberikan suara menentang, satu dari Rusia dan satu dari Tiongkok.

Pihak berwenang Ukraina memuji langkah ini sebagai kemenangan penuh untuk keadilan dan kemenangan bagi Ukraina. Setelah putusan Mahkamah Agung PBB, perwakilan Ukraina menuntut bahwa “Rusia harus bertindak sesuai dengan keputusan Mahkamah Internasional dan menarik pasukannya dari Ukraina”.

Keputusan Mahkamah Internasional bersifat wajib dan tidak dapat diajukan banding, tetapi Mahkamah Internasional tidak memiliki sarana untuk menegakkan keputusannya.

Sementara itu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) juga sedang menyelidiki kejahatan perang invasi Rusia ke Ukraina. Jaksa pengadilan mengunjungi Ukraina pada 16 Maret.

Pengadilan Kriminal Internasional didirikan pada tahun 2002 dan berlokasi di Den Haag, Belanda. Fungsi utamanya adalah untuk mengadili dan mengadili individu untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. (hui)

KTT NATO Menghasilkan 3 Keputusan Besar Sebagai Tanggapan Atas Sebulan Invasi Rusia ke Ukraina

oleh Jin Shi

Menanggapi sebulan invasi Rusia ke Ukraina, NATO mengadakan pertemuan puncak khusus dan mengumumkan tiga putusan yang telah diambil. Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa AS akan menanggapi jika Rusia menggunakan senjata kimia.

Pada 24 Maret, para pemimpin dunia Barat berkumpul di Brussel, Belgia untuk menghadiri 3 KTT kelas berat dalam sehari.

Setelah acara pembukaan KTT NATO, para pemimpin dari berbagai negara berfoto bersama di depan markas NATO, baik untuk menunjukkan kekompakan maupun untuk memperingati KTT khusus yang diadakan dalam situasi darurat akibat invasi Rusia ke Ukraina ini.

Pertemuan berlangsung sekitar dua jam, di mana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berpidato di KTT itu melalui video, menyerukan NATO untuk memberikan Ukraina lebih banyak bantuan militer.

Volodymyr Zelensky mengatakan : “Kalian memiliki ribuan jet tempur, tetapi kami belum memperoleh satupun. Kalian memiliki sedikitnya 20.000 tank, dan Ukraina hanya menginginkan 1% dari itu, berikan kepada kami atau jual kepada kami”.

Usai KTT, NATO mengeluarkan pernyataan atas 3 keputusan yang diambil :

Satu, Terus memberikan bantuan militer kepada Ukraina. (Termasuk senjata anti-tank, senjata anti-pesawat, drone, dan peralatan melawan senjata biologi dan kimia serta senjata nuklir)

Dua, Terus memperkuat pengerahan militer ke Eropa Timur. Yakni menambah 4 kelompok pasukan tempur di Hongaria, Slovakia, Bulgaria dan Rumania, sehingga total pasukan NATO di Eropa Timur menjadi 40.000 orang

Tiga, Setuju untuk meningkatkan pembelanjaan pertahanan oleh negara-negara anggota NATO. (mengizinkan pengeluaran pertahanan mencapai mendekati 2% dari PDB negara)

Selain itu, pernyataan tersebut secara khusus meminta semua negara, termasuk Tiongkok untuk tidak mendukung operasi militer Rusia dengan cara apa pun.

Selain KTT NATO, KTT G7 dan Dewan Uni Eropa juga diadakan pada hari yang sama. Presiden AS Biden menghadiri ketiga KTT itu dan mengadakan konferensi pers usainya.

Biden mengatakan : “Anggota NATO belum pernah sekompak seperti yang terjadi hari ini”.

Biden mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan memberikan tambahan dana USD. 1 miliar bantuan kemanusiaan untuk Ukraina dan akan menjatuhkan sanksi pada lebih dari 400 individu dan entitas Rusia.

Seorang wartawan bertanya, apakah Amerika Serikat dan NATO akan menanggapi secara militer jika Putin menggunakan senjata kimia.

Joe Biden menjawab : “Kami akan merespons (dalam bentuk tertentu). Jika dia (Putin) menggunakannya, kami akan merespons. Sifat respons bergantung pada sifat senjata yang dia gunakan”.

Biden juga memperingatkan Tiongkok bahwa mereka akan menderita kerugian besar jika membantu Rusia.

“Saya pikir Tiongkok dapat memahami bahwa ekonomi masa depannya lebih bergantung pada hubungannya dengan Barat daripada dengan Rusia”, katanya.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan bahwa Inggris akan memasok kepada Ukraina senjata yang lebih mematikan untuk pertahanan, termasuk 6.000 buah rudal.

“Jika Putin menggunakan senjata kimia, itu akan menjadi bencana baginya”, kata Johnson.

24 Maret adalah tepat 1 bulan pasukan Rusia menginvasi Ukraina. Namun sejauh ini, militer Rusia masih belum mencapai tujuan militer utamanya bahkan langkah penyerangannya terhalang selain oleh perlawanan yang gigih dari pasukan Ukraina, juga jatuhnya moran tempur pasukan Rusia karena kurangnya pasokan.

Di ibukota Kyiv, konvoi Rusia masih diblokir di pinggiran kota. Pada hari itu 24 Maret, kota Kyiv cukup tenang.

Tentara Ukraina Valeri Vishtalyuk mengatakan : “Rakyat Ukraina belum pernah bersatu padu seperti saat ini. Hal mana membuat saya sangat senang. Rusia menginvasi negara kami itu adalah suatu kesalahan besar.” (sin)

Angka Pernikahan Tiongkok Tahun 2021 Mencapai Titik Terendah Dalam 36 Tahun Terakhir

0

NTDTV.com

Angka pernikahan Tiongkok tahun 2021 telah mencapai titik terendah selama 36 tahun terakhir.

Menurut data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Urusan Sipil Tiongkok, jumlah pernikahan penduduk usia nikah di daratan Tiongkok terus menurun dari tahun ke tahun. 

Pada tahun 2019, turun di bawah 10 juta pasangan. Pada tahun 2020 turun di bawah 9 juta pasangan, dan pada tahun 2021 hanya 7,636 juta pasangan. Ini adalah angka terendah sejak tahun 1986.

Analis percaya bahwa penyebab dari penurunan angka pernikahan di daratan Tiongkok itu adalah : Pertama, karena kebijakan keluarga berencana selama ini yang menyebabkan jumlah populasi muda semakin sedikit. Ditambah lagi dengan fenomena dimana banyak anak-anak muda yang takut berkeluarga. Seorang pejabat kantor catatan sipil di Provinsi Hebei mengatakan, bahwa anak muda takut menikah, tidak berani berkeluarga. “Ada yang melihat banyaknya perceraian yang terjadi di orang-orang sekitar mereka, sehingga takut berkeluarga”.

Kedua, karena situasi ekonomi yang memburuk sebagai dampak dari epidemi. Hal tersebut juga mempengaruhi keinginan kaum muda untuk menikah.

Di samping itu, faktor lain yang ikut memberikan dampak terhadap penurunan angka pernikahan di Tiongkok adalah pincangnya rasio pria dan wanita. (sin)

Menelisik Akar Fenomena Gandrungi Rusia

0

ISWAHYUDI

Uraa! Itu satu kata yang diucapkan Vladimir Putin di depan militernya. Dan kata Uraa juga mewarnai jagad dunia maya Indonesia baik untuk konten yang serius maupun parodi. Dan lebih mengejutkan berdasarkan sebuah artikel di thediplomat.com (9/3) berjudul “Why are Indonesian Netizen expressing Support for Russian Invasion of Ukraine1?” mengatakan bahwa mayoritas warganet Indonesia termasuk beberapa komentator juga menunjukkan fakta mengejutkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia (atau setidaknya mereka yang aktif daring), terus bersimpati dengan Rusia atau mengekspresikan dukungan atas invasi Rusia ke Ukraina.

Di media sosial tanah air, semisal Twitter, ciutan pro-Rusia dibagikan secara luas di antara orang Indonesia dan menunjuk ke beberapa akademisi Indonesia yang secara terbuka mendukung posisi Rusia, atau sikap pemerintah Indonesia yang relatif hati-hati, bahkan banyak kanal Youtube membuat narasi pro Rusia dengan berbagai angle untuk meyakinkan bahwa invasi Rusia yang melanggar kedaulatan negara lain sebagai hal yang dibenarkan secara moral atau sudah dinubuatkan.

Dalam sebuah diskusi daring2 yang yang diselenggarakan oleh Universitas Nasional (UNAS) pada 24 Februari 2022. Dalam acara tersebut, presentasi dari Dr. Ahmad Fahrurrodji, seorang pengamat Rusia yang berbasis di UNAS, dilaporkan sangat bias sehingga mendo- rong Vasyl Hamianin, duta besar Ukraina untuk Indonesia, yang juga mengambil bagian dalam diskusi, menggambarkannya sebagai “propaganda komunis Soviet”.

Sebuah Artikel di South Morning Post3 melaporkan beberapa faktor yang menyebabkan kecenderungan warganet Indonesia yang condong kepada Putin.

Pertama, warganet Indonesia banyak terpengaruh  propaganda/narasi  yang   berasal dari pasukan lima sen Tiongkok. Dalam pesan-pesan yang beredar di group WA etnis Tionghoa di Indonesia banyak beredar narasi analogi menjelaskan mengapa Rusia menginvasi Ukraina, menyamakan Moskow seperti seorang suami yang telah lama menderita, dan membiarkan istrinya yang tidak tahu berterima kasih untuk menjaga anak-anak mereka setelah meminta cerai. Dia bahkan melunasi hutangnya. Tapi mantan istri itu kemudian terlibat dengan pengganggu desa – Amerika Serikat dalam analogi ini – dan berteman dengan sekelompok pelacur (sekutu AS) dan menodai nama mantan suaminya. Pria itu kehilangan kesabaran dan menuntut kembalinya satu anak (Rusia mencaplok Krimea dari Ukraina pada 2014), tetapi sang istri juga mulai memperlakukan anak- anak lain dengan buruk, memaksa pria itu untuk menghadapinya.

Selain itu banyak narasi yang menyamakan invasi Rusia ke Ukraina seperti AS menyerang Irak pada 2003 untuk menghancurkan senjata pemusnah massal dan menggulingkan diktator Saddam Hussein. Kezia Dewi, seorang mahasiswa doktoral Indonesia di universitas Belgia KU Leuven, mengatakan dia telah melihat banjir pesan pro-Putin yang dibagikan di grup media sosial yang digunakan oleh orang Tionghoa Indonesia.

Kedua, sentimen umat muslim yang anti AS dan barat berkontribusi pada sikap mayoritas warganet Indonesia pro Putin. Radityo Dharmaputra, peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur, Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, mengatakan Rusia telah berusaha untuk meningkatkan citranya dalam hubungannya dengan dunia muslim setelah berakhirnya Perang Chechnya II pada 2000. Radityo mengatakan Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov, seorang loyalis Kremlin, memiliki daya tarik yang besar di kalangan Muslim Indonesia. Komentar Kadyrov diliput di media berbahasa Indonesia dan dia dipandang sebagai ikon Muslim.

“Ada persepsi bahwa Putin lebih pro -Islam daripada AS, meski nodanya masih tertinggal diingat oleh generasi tua ketika Rusia menyerbu Chechnya dan ketika Uni Soviet melakukan hal yang sama ke Afghanistan,” katanya merujuk pada intervensi Uni Soviet di Afghanistan pada 1979. Salah satu faktor yang memotivasi Moskow untuk melakukannya adalah ketakutan bahwa Afghanistan mungkin beralih loyalitas ke Barat.

Ketiga, banyak sarjana dan pakar di Indonesia yang pro-Putin. Salah satunya adalah Dina Yulianti Sulaeman, yang mengajar di Universitas Padjajaran di kota Bandung Jawa Barat dan direktur Pusat Studi Timur Tengah Indonesia. Di akun medsosnya ia menyebut Ukraina sebagai “Suriah Lain”, menuduh bahwa kekacauan sebelum Revolusi Martabat 2014 di Ukraina telah direkayasa oleh Barat untuk menciptakan “Suriah lain” dengan mengadu kelompok yang berbeda. Dia telah mengulangi klaim Putin, menegaskan bahwa neo-Nazi dan kelompok supremasi kulit putih berusaha menaklukkan Ukraina yang berbahasa Rusia di Donetsk dan Luhansk. Dina mengatakan kepada This Week In Asia bahwa Putin mendapat kekaguman masyarakat Indonesia karena berani menantang hegemoni AS. “Ketika semua pemimpin dunia lainnya tetap diam tentang intervensi Amerika di seluruh dunia, Putin berdiri sendiri dalam oposisi yang kuat. Banyak dari kita bersyukur bahwa seseorang seperti dia ada. Banyak yang percaya pada Hadits Nabi bahwa menjelang akhir zaman, sebuah negara yang dikenal sebagai Rum, yang biasanya diartikan sebagai Rusia, akan bergabung dengan umat Islam untuk melawan musuh besar,” katanya.

Keempat, narasi yang menyamakan sosok Putin bak Soekarno yang anti Barat banyak beredar di media sosial tanah air. Putin juga membangkitkan ingatan bangsa Indonesia tentang Sukarno yang punya jargon, “Go to Hell with Your Aid” terhadap AS dan Barat. Seorang blogger asal Yogyakarta Rahino Sudjojono mengatakan sejarah Indonesia sendiri telah memberinya perspektif tentang Perang Ukraina. “Saya bisa mengerti mengapa Putin memutuskan untuk menyerang. Inilah sebabnya mengapa Bung Karno kita (Sukarno) menentang pembentukan negara boneka Barat (negara) yaitu Malaysia. Jadi Putin pasti berpikir dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Sukarno.”

Kelima, berdasarkan sebuah artikel yang terbit di kompas.com (14/03) tentang kenapa warganet Indonesia cenderung pro-Rusia, menurut platform pemantauan dan analisis digital Evello. Sikap itu terbentuk karena didasari oleh ketidaksukaan sebagian besar masyarakat Indonesia pada Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Akan tetapi, Radityo Dharmaputra yang juga kandidat doktor dalam ilmu politik di Institut Studi Politik Johan Skytte, Universitas Tartu, Estonia menilai sikap publik yang condong pro-Rusia ketimbang Ukraina ini sesungguhnya dikarenakan pemahaman masyarakat yang minim tentang Ukraina. Kondisi ini menyebabkan publik mudah termakan narasi dominan dari kalangan elite dan akademisi yang menganggap persoalan ini merupakan konflik geopolitik antara Rusia dan Amerika Serikat.

Data yang diperoleh Evello menunjukkan informasi tentang serangan militer Rusia ke Ukraina yang tayang di YouTube Indonesia telah ditonton sebanyak 554 juta kali dengan jumlah percakapan mencapai 2,3 juta komentar. Sementara itu, video Instagram perang Rusia-Ukraina telah dilihat 72 juta kali dengan komentar sebanyak 727.000.  Kemudian di video TikTok, invasi Rusia ke Ukraina juga sudah ditonton 526 juta kali. Adapun di Twitter, terdapat 22.000 akun yang membicarakan perang ini. Juru bicara Evello, Dudy Rusdianto mengatakan, setidaknya ada tiga sikap yang ditunjukkan warganet terhadap serangan militer Rusia ke Ukraina. 

“Pertama, ketidaksukaan terhadap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat. Kedua, kekaguman pada sosok Presiden Vladimir Putin, dan Ketiga, ada- nya simpati kepada rakyat Ukraina dan Presiden Volodymyr Zelensy,” papar Dudy. Namun demikian, dari empat platform media sosial yang diteliti mulai dari Twitter, YouTube, Instagram, dan TikTok, mayoritas warganet cenderung berpihak pada Rusia. Dudy mencontohkan Twitter, jumlah akun yang membicarakan Presiden Putin 71 persen lebih besar dibandingkan Zelensky. Percakapan yang menge- muka di Twitter didasari oleh ketidaksukaan kepada NATO dan Barat.

Makna di Balik Fenomena Gandrungi Rusia

Fenomena kecendurungan warganet Indonesia yang pro Rusia ini bisa menyiratkan banyak hal:

Pertama, perang propaganda Rusia Berhasil menguasai atmosphir pemikiran rakyat Indonesia. Aknolt Kristian Pakpahan, dosen Ilmu Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Katolik Parahyangan di Bandung menjelaskan mengenai kelihaian Rusia dalam menjalankan strategi yang dikenal dengan nama DIME (Diplomacy, Information, Military, and Economy) yaitu strategi untuk menghindari kegiatan yang kontraproduktif dan bertentangan selama operasi taktis dengan mempertimbangkan faktor- faktor ini secara terkoordinasi selama perencanaan dan pelaksanaan misi. Menurutnya DIME dimainkan untuk mempengaruhi persepsi orang. Hal inilah yang tidak dimainkan oleh Ukraina maupun orang yang pro-Ukraina. Rusia menampilkan citra negara yang berusaha mengatasi permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tiga wilayah Ukraina, yaitu Crimea, Donetsk, dan Luhansk. Rusia ini sanggup mengolah arus informasi sehingga bisa mendapatkan dukungan publik di Indonesia yang dijumpai di berbagai platform media sosial. Selain itu, Rusia memberi persepsi sebagai negara yang erat dengan unsur Islam, dengan banyaknya masjid di Rusia, “Duta merek” Rusia yang merupakan juara Ultimate Fighting Championship (UFC) Khabib Nurmagomedov adalah seorang muslim.

Kedua, matinya nalar dan nurani. Adil itu dimulai dari pikiran. Bahkan di kitab suci disebutkan bahwa janganlah karena kebencian membuat seseorang berlaku tidak adil. Mata dunia sudah melihat dengan gamblang Rusia yang memulai invasi tersebut dan jelas- jelas Ukraina adalah negara yang berdaulat. Indonesia pernah berada di posisi sama dengan Ukraina seperti pada agresi militer Belanda saat Indonesia memproklamirkan sebagai negara yang berdaulat. Sangat besar  kemungkinan jika Rusia berhasil menginvasi Ukraina ini akan menjadi semacam inspirasi bagi RRT untuk menginvasi Taiwan. Dalam perjanjian tanpa batas Rusia-RRT baru-baru ini Rusia sepakat dengan kebijakan One China Policy. Ketidak- adilan pada suatu tempat adalah ancaman bagi keadilan di semua tempat.

Ketiga, adanya arus mendambakan bangkitnya otoritarianisme. Kepemimpin sipil selama hampir satu dekade yang diharapkan bisa membawa perubahan dan lompatan kemajuan ternyata pupus. Segudang masalah tidak bisa dipecahkan, malah komoditi minyak goreng harganya kian tak terkendali padahal Indonesia adalah gudangnya kelapa sawit. Ini bisa membangkitnya sosok pemimpin yang semodel dengan Putin yang otoriter dan penuh ilusi. Pemimpin yang jago bela diri, berotot, tegas mirip Putin bisa jadi mendapat pasar di pemilu berikutnya.

Keempat, Indonesia negara yang mudah dibelah dengan isu dari luar sehingga agenda dan masalah mendasar yang dihadapi bangsa sendiri terlupakan. Posisi Indonesia yang berada sangat strategis di jalur perdagangan dunia membuat Indonesia tak selesai dengan dirinya sendiri. Pembelahan masyarakat terus terjadi bahkan hanya karena isu remeh temeh. Modal sosial toleransi yang merupakan lem perekat atas kebhinekaan suku, ras, agama, golongon kian hari kian habis. Jangan karena begitu gegap gempita kata Uraa-nya putin yang membangkitkan nafsu tribalisme menjadikan kita ora iso opo-opo (tidak bisa apa-apa) dan tidak ke mana-mana. Menjadi bangsa yang selalu tanggung dan medioker.

Catatan:

1.https://thediplomat.com/2022/03/why- are-indonesian-netizens-expressing-support- for-russias-invasion-of-ukraine/

2 . h t t p s : / / w w w. y o u t u b e . c o m / watch?v=0tTfdIsQEX0&t=1924s

3.https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3169708/chinese-internet-or-us- foreign-policy-why-some-indonesians