Kisah Jurnalis Muslimah Uighur Tentang Penghilangan Paksa Keluarganya dan Berjuang Demi Keadilan

Oleh VENUS UPADHAYAYA – The Epoch Times

Ingatan Gulchehra Hoja masih segar saat masa-masa kecilnya yang riang di Xinjiang, Tiongkok. Dirinya menyukai berada di depan kamera. Dia pun bermimpi menjadi seorang pembawa acara TV.

Cita-cita Hoja pun tercapai. Dia menjadi pembawa acara dalam bahasa Tionghoa dan bahasa Uighur. Dia memulainya dengan program anak-anak di sebuah TV di Xinjiang. Wajahnya pun sangat familiar oleh pemirsa Xinjiang.

Pada tahun 2001 ketika sedang berlibur di Eropa, dia mendengar sesuatu di radio yang belum pernah dia dengar sebelumnya — sebuah laporan berita tanpa sensor tentang aksi protes di Xinjiang.

Dia memutuskan tak kembali ke Tiongkok. Sebaliknya, dia mulai bekerja sebagai jurnalis berbahasa Uighur dari luar negeri. Dia mendapatkan pekerjaan di Radio Free Asia (RFA) di Washington, Amerika Serikat.

BACA JUGA : Kesaksian Etnis Uighur yang Lolos dari “Kamp Pendidikan Ulang” di Xinjiang

Hoja menjadi seorang penyiar yang menyampaikan informasi ke wilayah-wilayah Asia tanpa kebebasan pers. Pendengarnya menjadi nara sumbernya dan membantunya dengan informasi tentang penganiayaan Uighur oleh rezim komunis Tiongkok.

Sudah 17 tahun Hoja berlangsung melaporkan nasib Uighur yang tindas oleh komunis Tiongkok. Tetapi, tak pernah terbesit dalam mimpi-mimpinya  bahwa pada suatu hari kelak, dia harus berbicara tentang penganiayaan yang dialami 25 anggota keluarganya termasuk adik laki-lakinya, Kaisar Keyum.

“Dia hanya satu setengah tahun lebih muda dariku. Saya merasa dia mengingat saya. Saya bermimpi tentang dia hampir setiap malam. Saya merasa dia menderita. Saya menderita perpisahan ini, tetapi dia lebih menderita,” kata Hoja saat diwawancarai The Epoch Times di rumahnya di Virginia, Amerika Serikat.

Hoja memiliki kenangan indah dengan satu-satunya saudara kandungnya ini. Hoja mengenang mereka sering berangkat ke sekolah bersama-sama dan selalu bersama saat masa kecil mereka.

“Setiap kali aku jatuh sakit, dia tidak akan meninggalkanku. Jika saya tidak pergi ke sekolah, dia juga menolak untuk pergi, “kata Hoja. Nama mereka memiliki arti yang serupa; sementara Gulchehra berarti “Seorang dengan wajah seperti bunga,” Kaisar berarti “Bunga Saffron”

Ketika Hoja bergabung dengan RFA, Keyum masih kuliah. Dia tidak pernah pulang lagi dan itu mengubah hidup Keyum selamanya. Interogasi polisi secara intens memaksanya untuk keluar dari sekolah, jadi dia harus mendapatkan pekerjaan sebagai penerjemah.

BACA JUGA : PKT Memperketat Pengawasan Xinjiang Menyebabkan Ribuan Muslim Uighur Hilang

“Dua kali, pernikahan (potensi) tidak terwujud karena polisi mendatangi keluarga perempuan dan menanyakan hal-hal seperti: Apakah Anda tahu latar belakang keluarganya? Mengapa Anda ingin berada dalam masalah?,” kata Hoja.

Keyum telah ditangkap sebanyak 10 kali, terakhir pada 28 September 2017. Dia kini masih mendekam di penjara.

Hoja kaget dan menangis ketika ibunya, Qimangul Zikri, mengatakan kepadanya bahwa polisi menyalahkan Hoja atas penangkapan Keyum. Karena panik, Zikri bertanya kepada polisi mengapa, dan petugas itu menjawab: “Kakaknya bekerja (untuk RFA). Apakah itu tidak cukup alasan untuk membawanya? ”

Tindakan sadis Komunis Tiongkok terhadap Muslim Uighur telah meningkat sejak 2016.  Sekitar 1 juta Uighur ditahan di berbagai pusat penahanan dan penjara pra-ajudikasi, yang keduanya merupakan fasilitas formal. Mereka juga ditahan di kamp-kamp pendidikan politik, yang tidak memiliki dasar di bawah hukum Tiongkok, sebagaimana diungkap lembaga HAM internasional, HRWG.

Pada bulan April 2017, Partai Komunis Tiongkok memperkenalkan Peraturan De-Ekstremisme Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, yang membahas ancaman terorisme yang dianggap oleh rezim komunis terkait dengan ekstremisme. Ini diungkap oleh Chinese Human Rights Defenders (CHRD), sebuah LSM internasional.

“Di bawah peraturan ini, seseorang dapat dikurung di kamp ‘pendidikan ulang’ atau dipaksa untuk menghadiri sesi indoktrinasi karena mempunyai produk halal tertentu, memiliki jenggot panjang, mengenakan jilbab, memilih nama anak-anak dengan ‘konotasi Islam, ‘Menolak untuk mengonsumsi televisi atau radio pemerintah, atau menolak untuk melanggar larangan dalam Islam,” demikian CHRD.

Sejatinya, Kamp re-edukasi adalah praktik lama bagi rezim Komunis Tiongkok untuk memberangus kelompok mana pun yang tidak cocok dengan ideologi komunisnya.

Sebuah laporan 2018 dari PBB untuk Committee on the Elimination of Racial Discrimination (Penghapusan Diskriminasi Rasial) oleh 18 ahli independen mengutip laporan yang dapat dipercaya tentang meluasnya penyiksaan terhadap kelompok etnis di kamp-kamp pendidikan ulang Tiongkok.  Penganiayaan terhadap praktisi dari spiritual Falun Gong dan jemaat Kristen juga banyak dilaporkan.

Penghilangan Paksa Keluarga Hoja

Pada 3 Februari, Hoja menerima telepon mengejutkan lainnya dari putri tetangganya: “Apakah Anda mendengar, Saudari, bahwa orangtua Anda, semua anggota keluarga Anda, 25 orang, ditangkap oleh pemerintah Tiongkok pada hari yang sama?”

“Saya terkejut. Saya tidak bisa mempercayainya. Saya berkata, “Mengapa? Bagaimana Anda tahu? “Dia berkata,” Saya tahu karena ibu saya memberi tahu saya. Dan kemudian saya langsung menelepon ke rumah saya, dan tidak ada yang mengangkat. Saya menelepon ayah saya, ibu saya, saudara lelaki saya, sepupu saya, seperti sekitar 30 orang — tidak ada yang mengangkat,” kata Hoja dengan air mata bercucuran.

Tepat di belakangnya, di ruang tamu, buah-buahan kering, kue, dan cokelat  di atas meja, siap disajikan dengan etken chai (teh Uyghur). Di sudut ke kiri terdapat foto orangtuanya dan di sebelah kanan adalah saudara laki-lakinya yang lain memgenakan jas dan dasi kupu-kupu.

“Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya saat itu. Rasa bersalah yang sangat besar, Anda tahu. … Karena aku, mereka telah ditangkap. Tetapi saya merasa sangat tidak berdaya, dan bahkan saya tidak tahu di mana mereka dibawa — apakah mereka hidup atau tidak?”

Ibu Hoja, Zikri, dibebaskan pada 10 Maret, tetapi yang lain masih ditahan, termasuk ayah Hoja yang berusia 77 tahun, yang setengah lumpuh setelah stroke dan ditempatkan di bawah penjagaan di kamar rumah sakitnya.

Sejak penangkapan terjadi, Hoja telah berbicara di berbagai forum-forum di seluruh Amerika Serikat tentang penderitaan keluarganya. Hoja pun bersaksi di depan Kongres Amerika Serikat pada bulan Juli tahun lalu.

BACA JUGA : Dunia Perlu Mengutuk Komunis Tiongkok yang Menindas Kebebasan Beragama

Amnesty International dan Human Rights Watch telah melaporkan kasus keluarganya. Artikel telah dituliskan ke seluruh dunia tentang perjuangannya demi keadilan.

Tetapi rasa sakit dalam dirinya menolak untuk mereda. Dia khawatir tentang tantenya  yang dibiarkan mengurus tiga cucu ciliknya sendirian. Setiap kali dia memasak kebab di dapurnya, dia ingat Keyum.

“Fotonya ada di meja (saya) setiap hari, di hati saya, sebenarnya! Saya ingin melihatnya. Jika dia muncul di hadapanku, aku tidak akan berhenti menciumnya dan aku akan berkata, “Maafkan aku!,” kata Hoja.

Di rumahnya di Virginia, tempat Hoja tinggal bersama suami dan tiga anaknya, ada sebuah kotak kaca yang penuh dengan memorabilia Uighur, termasuk sebuah batu yang dikirimkan ayahnya kepada dirinya.

Dia percaya ayahnya mengirim batu karena surat-suratnya selalu diawasi. Dengan mengirimkan batu, ayahnya berharap menjadi pengingat yang kuat agar tetap terhubung dengan suku dan budayanya. (asr)

Fotografi : Brendon Fallon

Artikel Ini Terbit di Theepochtimes.com dengan judul Uyghur Journalist Reports on Own Family’s Disappearance, Fights for Release

Video Rekomendasi :