2,8 Juta Pekerja Tiongkok di-PHK Tahun 2018 Akibat Perang Dagang

Oleh Liu Yi

Hasil survei terhadap 370.000 perusahaan besar di daratan Tiongkok menunjukkan bahwa hingga bulan November lalu, sebanyak 2.8 juta pekerja dalam tahun 2018 telah kehilangan pekerjaan akibat perang dagang AS – Tiongkok.

Sejak Amerika Serikat mengenakan kenaikan tarif impor terhadap komoditas Tiongkok senilai USD. 200 miliar, sebagian besar perusahaan Tiongkok mulai melakukan PHK karyawannya.

Media ‘Freedom Times’ mengutip ucapan Ernan Cui, seorang analis dari Gavekal Dragonomics, Beijing melaporkan bahwa hasil survei resmi terhadap lebih dari 370.000 perusahaan besar Tiongkok menunjukkan, jumlah orang yang dipekerjakan pada perusahaan responden telah menurun sekitar 2,8 juta orang per bulan November tahun lalu.

Namun, menurut perkiraan Bank UBS,  potensi PHK karyawan pada industri-industri yang terkait dengan ekspor Tiongkok mungkin mencapai 1,5 juta orang.

Banyak ahli percaya bahwa angka pengangguran di Tiongkok menunjukkan tanda-tanda memburuk.

CEO Internasional Beige Book China, Leland Miller mengatakan bahwa pada kuartal ke empat tahun lalu, kinerja ketenagakerjaan industri-industri besar di Tiongkok berangsur-angsur memburuk.

Dampak paling langsung dari perang dagang AS – Tiongkok adalah bahwa sebagian besar perusahaan pemrosesan dari Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong telah pindah dari daratan Tiongkok untuk menghindari tarif tinggi.

Dari 29 Agustus-5 September tahun lalu, Kamar Dagang Amerika di Tiongkok dan Kamar Dagang Amerika di Shanghai melakukan survei terhadap pedagang AS yang berinvestasi di daratan. Sekitar sepertiga dari lebih 430 perusahaan AS sedang dalam perencanaan untuk hengkang dari jalur produksi mereka di Tiongkok.

GoPro, produsen kamera olahraga Amerika yang terkenal pada 10 Desember lalu menyebutkan bahwa pihaknya sedang berencana untuk mengalihkan ke luar daratan Tiongkok sebagian besar produk yang mereka jual ke Amerika Serikat untuk menghindari kenaikan tarif.

Sebuah media pada 14 Januari mengekspos Viacom Inc., grup media terbesar keempat di dunia yang sedang berhubungan dengan pembeli asal daratan untuk mempersiapkan penjualan sebagian besar saham bisnis perusahaannya yang di Tiongkok.

Perusahaan internasional lain seperti Samsung Electronics asal Korea Selatan, LG, Nikon, Toshiba, Sony dan lain-lain telah bersiap-siap untuk menarik diri dari jalur produksi mereka di Tiongkok. Pabrik-prabrik ini beralih ke negara-negara Asia Tenggara, India atau Brazil yang biaya operasionalnya lebih  rendah. Atau pindah langsung ke pasar utama yakni Amerika Serikat dan Uni Eropa, membangun pabrik di sana.

Jumlah perusahaan asal Taiwan dan Hongkong di daratan Tiongkok yang ditutup jauh lebih tinggi daripada jumlah perusahaan Amerika Serikat dan Jepang.

Beberapa lembaga mengatakan bahwa dengan meningkatnya perang dagang AS – Tiongkok, perusahaan asing di daratan dan perusahaan internasional yang membeli barang di daratan telah memindahkan pabrik dan lokasi pengadaan ke luar daratan. Beberapa orang di industri mengatakan bahwa hengkangnya industri dari Tiongkok telah menjadi sebuah tren.

Konsekuensi paling langsung dari penarikan besar-besaran modal asing adalah sejumlah besar pekerja menganggur, apalagi Tiongkok sendiri sekarang juga sedang dalam resesi. Bahkan menambah kesulitan bagi pekerja yang menganggur untuk mencari pekerjaan.

Pada 16 Juli tahun lalu, OMRON Precision Electronics (Suzhou) Co., Ltd. mengumumkan bahwa pabrik Suzhou akan ditutup secara permanen mulai sekarang. Menurut situs resmi OMRON, jumlah karyawan perusahaan di Tiongkok per bulan Maret 2018 mencapai 11.000.

Pada akhir bulan Desember tahun lalu, pabrik Samsung di Tianjin telah ditutup, langsung menyebabkan lebih dari 2.000 orang karyawannya kehilangan pekerjaan.

Beberapa orang yang berkecimpung dalam industri mengatakan bahwa jika dihitung dampak akibat penutupan pabrik terhadap perusahaan penunjang asal Tiongkok yang berada di hulu dan hilir, maka  pekerja yang menganggur seharusnya mencapai beberapa kali lebih besar dari pabrik yang ditutup.

Hasil analisa Lembaga think tank Jerman Merics (Mercator Institute for China Studies) yang dikeluarkan baru-baru ini menyebutkan bahwa tahun 2019 akan menjadi tahun yang sangat sulit bagi Tiongkok. Jika negosiasi perdagangan tidak mengalami kemajuan, Sebagian besar induastri Tiongkok akan terpukul keras dan secara langsung menyebabkan jumlah PHK karyawan bertambah.

Situasi saat ini sangat serius bagi kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dan memaksa otoritas Tiongkok untuk melakukan segala cara yang dimungkinkan guna menstabilkan pasar kerja. Jika tidak, peningkatan jumlah pengangguran akan menyebabkan keresahan sampai gejolak sosial. (Sin/asr)