Trump Memperingatkan Xi Jinping Akan Menginvasi Taiwan Setelah Mendapat Isyarat dari Kembarannya Si Putin

Frank Fang

Mantan Presiden Donald Trump memperingatkan bahwa rezim Tiongkok akan menyerang Taiwan setelah melihat pasukan Rusia bergerak menuju Ukraina.

Invasi semacam itu terhadap Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri, akan terjadi karena pemimpin Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin adalah satu contoh dari “saudara kembar,” kata Donald Trump selama sebuah wawancara di The Clay Travis and Buck Sexton Show pada 22 Februari.

“Tiongkok akan menjadi yang berikutnya,  memang demikian. Andai saya adalah Presiden, mereka tidak akan melakukannya,” kata Donald Trump.

“Mereka menunggu sampai setelah Olimpiade. Sekarang Olimpiade sudah berakhir, dan lihatlah pada stopwatch anda, kan? Tidak, ia menginginkan itu seperti … Ini hampir mirip saudara kembar di sini,” tambahnya.

“Karena anda memiliki seseorang yang menginginkan Taiwan, saya pikir, sama buruknya,”Seseorang berkata, ‘Siapa yang lebih menginginkannya?’ Saya pikir mungkin sama buruknya.” kata Donald Trump.

Donald Trump menyatakan bahwa baik Putin maupun Xi Jinping tidak akan melakukan suatu gebrakan jika ia adalah Presiden.

“Putin tidak akan pernah melakukannya, dan Xi Jinping tidak akan pernah melakukannya,” mantan kata presiden itu.

Putin dan Xi Jinping bertemu di Tiongkok awal bulan ini. Setelah pertemuan mereka itu, mereka mengeluarkan sebuah pernyataan yang panjang, mengklaim bahwa kedua negara yang berbatasan itu menikmati ikatan yang kuat di mana tidak akan ada batasan dalam kemitraan mereka dan “tidak ada bidang kerja sama yang ‘terlarang.'”

Xi Jinping–—yang kemungkinan akan diberikan masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya di sebuah pertemuan Partai Komunis Tiongkok yang penting akhir tahun ini–—pada bulan Oktober bersumpah bahwa “penyatuan kembali” Taiwan dengan Tiongkok akan “pasti terwujud.”

Pada 23 Februari, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen memerintahkan badan-badan keamanan nasional Taiwan dan pasukan militer Taiwan  “meningkatkan upaya-upayanya untuk memantau dan memberikan peringatan dini mengenai perkembangan militer di Selat Taiwan dan daerah-daerah sekitarnya,” setelah sebuah pertemuan keamanan nasional tingkat tinggi mengenai perkembangan di Ukraina.

Tiongkok dan Taiwan dipisahkan oleh Selat Taiwan, yaitu sekitar lebar 80 mil pada titik tersempit Selat Taiwan.

Rezim Tiongkok melihat Taiwan sebagai bagian wilayahnya yang harus disatukan dengan  Daratan Tiongkok, secara paksa jika perlu. Namun, Taiwan adalah sebuah negara merdeka secara de facto, di mana rakyat Taiwan memilih para pejabat pemerintahnya sendiri melalui pemilihan umum yang demokratis.

Senator Partai Republik Michael McCaul (R-Texas) juga melihat suatu hubungan antara Ukraina dengan Taiwan, saat berbicara dengan ABC awal bulan ini.

“Xi Jinping sedang menyaksikan apa yang sedang terjadi [di Ukraina], musuh-musuh kita menyaksikan,” kata Michael McCaul. Jika Putin dapat masuk ke Ukraina tanpa perlawanan, tentu saja, Xi Jinping akan mengambil alih Taiwan. Xi Jinping selalu menginginkan hal ini.

Mengingat ambisi Beijing terhadap Taiwan dan kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas, Beijing telah terlibat dalam sebuah program modernisasi militer yang agresif. Bagian dari hal ini termasuk memperluas persenjataan nuklir Beijing, di mana sebuah laporan Pentagon tahun 2021 memperkirakan bahwa rezim Tiongkok mungkin memiliki 700 senjata hulu ledak nuklir yang dapat dikirim per tahun 2027, dan sebanyak 1.000 senjata hulu ledak nuklir yang dapat dikirim per tahun 2030.

Laporan tersebut menunjukkan tindakan militer yang berbeda yang mungkin dilakukan oleh rezim Tiongkok dikerahkan melawan Taiwan, termasuk blokade udara dan maritim, serangan udara yang tepat sekali, dan sebuah invasi amfibi skala-penuh.

Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan telah menanggung beban pelecehan militer yang gigih oleh Tiongkok, di mana jet-jet militer terbang ke Zona Identifikasi Pertahanan Udara Taiwan secara berkala. 

Menurut Kementerian Pertahanan Taiwan, serangan terbaru terjadi pada 23 Februari, ketika dua jet militer J-16 memasuki barat daya Zona Identifikasi Pertahanan Udara Taiwan, yang mendorong Taiwan untuk menyebarkan pesawat militer dan sistem-sistem rudal pertahanan udara sebagai tanggapan.

Sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Yayasan Pendapat Masyarakat Taiwan menemukan bahwa sebagian besar orang Taiwan tidak percaya bahwa invasi Rusia ke Ukraina, akan mengarah Beijing menyerang Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri. Survei tersebut mensurvei 1.079 orang selama dua hari yang berakhir pada 15 Februari.

Survei tersebut menemukan bahwa 62,9 persen orang mengatakan adalah tidak cenderung atau tidak mungkin bahwa Tiongkok akan menyerang Taiwan. Sementara itu, 26,6 persen orang mengatakan sangat cenderung atau sangat mungkin bahwa Tiongkok akan menyerang Taiwan setelah Rusia menyerang Ukraina.

Pada 24 Februari, Putin mendeklarasikan sebuah “operasi militer khusus” di Ukraina. Segera setelah itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengumumkan darurat militer dan mengatakan, Rusia telah melakukan serangan terhadap infrastruktur militer Ukraina dan penjaga-penjaga perbatasan Ukraina.

Agresi Rusia mengundang kritik langsung dari Senator Partai Republik Ashley Hinson (R-Iowa). Menulis di Twitter, ia menyatakan: “Saya sangat mengutuk tindakan serangan militer Putin yang tidak beralasan ke Ukraina. Orang-orang Amerika Serikat bersama-sama dengan orang-orang Ukraina yang berhak atas kebebasan dan perdamaian.”

“Dunia sedang mengawasi kita. Kita harus memastikan bahwa sekutu-sekutu kita, seperti Taiwan, mengetahui mereka dapat mengandalkan Amerika Serikat,” tambah Ashley Hinson. (Vv)