Bersiap Menyongsong Gelombang Krisis

Krisis atau 危机(Wéijī) memuat dua hal, yaitu bahaya dan peluang. Atau dalam istilah Jawanya zaman Joyoboyo yaitu suatu zaman yang bisa menjadi momentum untuk mencapai kejayaan, kesuksesan, dan kemakmuran tapi dari sisi lain berbagai macam bahaya siap menceraiberaikan. Siklus krisis selama dua dekade ini semakin pendek dan frekuensinya semakin sering. Sebuah perusahaan multinasional di Korea Selatan mempunyai motto yang harus diingat oleh para karyawannya berbunyi “we are in continous crisis”. Yang mengingatkan bahwa kalau mereka berhenti berinovasi dan lengah mereka akan menjadi sejarah dan hilang dari peredaran. Seperti Nokia yang dulu jaya, namun sekarang sudah menjadi legenda. Ini bukan zaman normal di mana orang bisa melakukan “business as usual”, tapi zaman yang penuh gejolak, ketidakpastian, kerumitan, dan ambiguitas menjadi warnanya. Kita memasuki peradaban VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexcity, Ambiguity).

ISWAHYUDI

Perang dagang AS-RRT, pandemi global COVID-19, perang Ukraina-Rusia, dan suhu politik Indo-Pasifik yang terus memanas membuat membuat bahtera setiap bangsa-bangsa di dunia tidak bisa berlayar tenang dan kecenderungan badai semakin menggunung. Teringat ketika pandemi COVID-19 melanda Wuhan, banyak para pengambil kebijakan melakukan penyangkalan bahwa virus ini tak akan menyerang kita, kita beriklim tropis dan virus akan mati terkena sinar matahari. Para elite berlomba membuat lelucon dan penyangkalan, namun akhirnya ketika virus itu benar-benar menyerang, kita tergagap sampai setahun kemudian menjadi episentrum baru pandemi dengan varian deltanya. Dari 2 tahun pandemi yang meremukkan ekonomi kita, sudah siapkah dengan guncangan krisis yang lain? Itulah pekerjaan rumah kita.

Saat secara perlahan kasus terinfeksi semakin menurun dan masyarakat mulai mendapat herd immunity. Tiba-tiba guncangan krisis yang lain muncul dari jauh di Ukraina. Rusia menginvasi negara produsen gandum dan biji-bijian yang menyuplai sepertiga pasar pangan dunia dan sesumbar bahwa invasi tidak lama, namun perang itu memanjang dan melebar. 

Di awal ketika perang berkecamuk, 70% fans berat Putin di Indonesia bersorak-sorai dengan kata-kata “uraa” menggema di mana-mana, seolah sebagai pelepasan stres setelah dikekang dalam “sangkar emas PPKM” selama dua tahun. Namun barisan yang mengantri minyak goreng dan antrian solar membuat kita terperangah bahwa kejadian yang jauh itu riak gelombangya sampai ke sini. Euforia uraa ala Putin ternyata membuat semua orang repot bahkan di negeri kita yang jauhnya ribuan kilometer. Karena invasi Rusia ke Ukraina ternyata menyulut perang yang lain yaitu perang ekonomi dan perang yang lain di medan pertempuran lain dan model perang yang lain: unristricted warfare.

Secara makro jalan terjal menuju laga final pertarungan dua kekuatan geopolitik beserta sekutunya semakin dekat. Biden mencoba mendekati Indonesia dan ASEAN untuk menjaga status quo bebas di perairan internasional di Indo-pasifik, sementara negara yang tergabung denga QUAD (AS, Jepang, India, dan Australia) bertekad sama untuk bertahan dari rezim komunis Tiongkok yang semakin agresif. Sementara yang ditakuti para ahli pertahanan kini benar-benar terjadi ya- itu terbentuknya aliansi Dragon Bear yakni aliansi RRT dan Rusia akan menciptakan tantangan militer yang sebelumnya belum pernah terjadi bagi AS dan sekutunya. Dragon Bear telah latihan perang pertamanya. Dan medan perang baru benar-benar di depan rumah kita.

Doktrin politik luar negeri kita memang memerintahkan bebas aktif, tapi sejauh mana, sekuat apa dan seberapa lama keteguhan pada doktrin tersebut bisa dipertahankan? Memilih salah satu dari kekuatan geopolitik berisiko, pun juga tidak memilih alias netral juga punya resiko yang tidak kalah kecil. Yang perlu diingat dan menjadi fokus para pemimpin negeri adalah seperti yang diamanatkan para Bapak Pendiri Bangsa dalam pembukaan UUD 1945 yaitu: 

(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 

(2) Memajukan kesejahteraan umum,

(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, 

(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Itulah makna eksistensial dari terbentuknya negara Indonesia yang harus disadari oleh seluruh bangsa Indonesia apalagi para elitnya.

Berhenti Membuat Penyangkalan, Kenali Situasi, Koreksi Mimpi-Ambisi Pribadi

Seseorang ketika menjadi pemimpin terkadang mempunyai visi dan janji yang berusaha ia wujudkan. Ia ingin membuat legacy supaya terus dikenang sepanjang zaman. Perlu diingat bahwa manusia hanya bisa berencana dan takdir ada pada Yang Kuasa. Dia harus mengukur kemampuan dirinya ketika dihadapkan pada realitas krisis. Apakah ia mampu dan benar-benat kompeten? Dalam self-talk, seorang pemimpin harus jujur bahwa kekuasaan besar yang ada di tangannya, bersamaan pula ada tanggung jawab besar. Kekuasaan bukan tujuan tapi sebuah alat untuk mewujudkan sumpah janji setia pada konstitusi. Ia harus menempatkan dirinya sebagai pekerja bagi tujuan negara bukan pekerja mimpi diri sendiri atau mimpi orang lain. 

Ketika situasi krisis memang membuat ia tak mungkin mewujudkan janji dan mimpi-mimpinya, maka melupakannya dan meminta maaf bahwa ia tak bisa mewujudkan mimpi dan janjinya dan lebih mementingkan menjaga keselamatan segenap bangsa dan tumpah darah adalah pemimpin yang bijak dan rasional. Dan bersama-sama merangkul seluruh elemen bangsa untuk sintas bersama menghadapi gelombang krisis yang semakin membesar.

Kenali Sisi-Sisi Terlemah Saat Krisis

Semesta dan Tuhan ini sejatinya baik. Beberapa krisis yang terus mengguncang dunia sebenarnya memberikan waktu pada kita sebagai sebuah bangsa atau para elite pemimpin kita untuk selalu waspada dan melakukan persiapan untuk menghadapi guncangan yang lebih besar. Krisis membuat seorang tahu kualitas apakah kita sebagai seorang pemimpin? Apakah sebagai seorang real leader atau real dealer? Di masa krisis kita bisa melihat siapa teman sejati atau teman di tengah pesta? Di saat krisis kita bisa melihat titik terlemah, terentan, tergelap dari diri kita sebagai sebuah bangsa?

Belajar dari Sri Lanka

Pandemi dan dampak krisis pangan dan energi dari konflik Rusia-Ukraina telah membuat negara  eksotis Sri Lanka menjadi negara gagal. Gagal bayar utang. Bahkan gagal memenuhi kebutuhan yang paling dasar untuk rakyatnya. Devisanya kosong. Rakyat marah bahkan muncul pengadilan jalanan bagi para mantan pejabat. Mundurnya perdana menteri dari klan Rajapaksa tak membuat rakyat legawa. Amuk masal tak kunjung surut. Pemerintahan baru tak kunjung bisa mendinginkan situasi dan malah konflik horisontal bisa meletus.

Apa pelajaran darinya? Pertama, demokrasi yang terdegradasi. Suksesi kepemimpinan yang berkutat dalam satu dinasti politik membuat banyaknya politisi yang mengeluarkan kebijakan yang buruk, populis, tidak rasional, dan tidak sustainable. Korupsi terjadi di mana-mana. Kedua, salah memilih leading sector. Sri Lanka sangat tergantung dengan sektor pariwisata. Sementara sektor manufaktur dan pertanian tidak begitu menjadi prioritas. Ketika rantai pasok terganggu akibat pandemi, Sri Lanka benar-benar terpukul. Ketiga, terjebak dengan kebijakan populis. Demi elektabilitas klan Rajapaksa menurunkan tingkat pajak sehingga pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran negara. Akhirnya Sri Lanka gagal bayar hutang karena devisa mengering. Keempat, terjebak dengan proyek geopolitik yang menggiurkan dan terbukti pelabuhan strategisnya, Hambantota harus diserahkan ke Tiongkok akibat gagal bayar hutang. Dan pada 12 April Sri Lanka mengumumkan gagal bayar untuk seluruh utang luar negerinya. Indonesia harus bersiap, karena bom waktu itu sudah ditanam tinggal menunggu goncangan krisis yang lebih besar.

Ingat Konstitusi, Jangan Bekerja untuk Mimpi Orang Lain

“Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”

Itulah bunyi sumpah presiden RI terutama yang beragama Islam. Dalam sumpah atas nama Tuhan itu poin yang paling penting adalah setia pada konstitusi dengan lurus. Jadi bukan mengedit konstitusi demi berkuasa lebih lama. Kisah tentang klan Rajapaksa di Sri Lanka yang mana kekuasaan hanya bersirkulasi pada satu klan saja telah membuat akhir yang buruk. Karena Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Belajar pada Gus Dur bahwa di atas politik ada kemanusiaan. Dan George Washington, ketika ditawari menjabat kekuasaan untuk periode ketiga, mengatakan “Enough is Enough”. Ia hanya ingin mewariskan kepada generasi berikutnya bahwa kekuasaan bukan segalanya, tapi ada nilai yang lebih tinggi lagi di atas kekuasaan.

Ingat Trisula Weda Ketika Zaman Joyoboyo (Krisis)

Dalam serat Jangka Joyoboyo dikenal dengan istilah Trisula Weda yang merupakan senjata bagi seorang pemimpin tulen yang  bisa  membawa  pada  keadilan dan kemakmuran walaupun  di  saat  krisis  atau di saat zaman joyoboyo. 

Trisula Weda merujuk pada tiga karakter yang harus dipunyai seorang pemimpin yaitu bener (benar), jejeg (mandiri), jujur.

Pertama, pemimpin harus mempunyai nilai kebenaran, berpikir benar, berkeyakinan benar, berkata benar dan bertindak benar. Karena ia adalah  pusat  Mandala dari rakyatnya. Ikan busuk dari kepalanya. Jika para pemimpin berlaku tidak  benar,  korup,  dan  abuse of power itu akan diikuti oleh bawahannya dan itu menjadi kenyataan dalam pemerintahannnya. 

Kedua, pemimpin itu harus jejeg, mempunyai independensi etis, berpikir, mempunyai visi. Pemimpin yang menjadi proksi bagi kekuatan yang tak kasat mata (deep state) pasti sangat membahayakan negara karena ia tak lagi setia pada konstitusi dan sumpah janjinya melainkan terbelenggu dengan hutang politik dengan tangan-tangan yang berjasa menghantarkan dia pada kursi kekuasaan. Pemimpin proksi dan boneka sangat membahayakan negara dan bangsa. 

Ketiga, pemimpin itu harus jujur. Selaras antara pikiran, hati, perkataan dan perbuatan. Sabda pandita ratu tan  keno  wola wali (Perkataan pandita dan raja tak bisa ditarik kembali atau direvisi). Tiga kualitas pemimpin ala Trisula Weda harus dipunyai oleh seorang pemimpin di saat krisis.

Berhenti Bertikai, Saatnya Bergandengan Tangan

Imperium Nusantara sekelas Majapahit akhirnya runtuh dan menjadi puing-puing sejarah. Dan itu bukan sebab invasi dari luar, tapi kekeroposan dari dalam. Lem perekat persaudaraan hilang akibat pengejaran pada kekuasaan. Akhirnya terjadilah fenomena perang Paregrek yang membuat ketahanan nasional Majapahit jadi rapuh. Dan kejayaan itu lenyap. Sirna ilang kertaning bumi. 

Hari ini ketika krisis silih berganti menerpa dunia, orientasi belum berubah, segregasi sentimen SARA malah memenuhi ruang publik. Dan menjadi cara yang paling sering digunakan untuk menutupi ketidakmampuan menciptakan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah. “Badai krisis ini memang berat, tapi inilah jalan satu-satunya untuk berjaya.” (et)