Jika “Amuk Menerobos Ubun-Ubun”, Perang Pasti Kalah

SHI SHAN

Belakangan ini, berita kunjungan Ketua kongres AS (Amerika Serikat) berkunjung ke Taiwan sangat menyita perhatian dunia, moncong meriam Tiongkok diarahkan, rudal ditembakkan, latihan perang digelar, namun pada akhirnya terbukti hanya gertakan belaka, yang justru memicu gelak tawa banyak pihak.

 Seperti halnya orang kebanyakan, penulis juga senang melihat PKT (Partai Komunis Tiongkok) harus menelan rasa malu, dan menjadi “macan kertas” (sebenarnya lebih tepat “serigala kertas”, karena tidak begitu menakutkan dibandingkan harimau), terkadang ada dorongan melontarkan sindiran memperolok dan memperunyam situasi.

Namun pernyataan semacam itu sebaiknya tidak dikeluarkan, hal ini terkait dengan pengalaman pribadi penulis.

Di era 1980-an abad lalu, suatu kali penulis menumpang bus milik instansi kami, berangkat dari Tibet menuju ke Kota Chengdu Provinsi Sichuan, menjelang tiba di Kota Ya An, karena perbaikan jalan terjadilah kemacetan lalu lintas. Karena merasa bosan, banyak penumpang turun dari bus dan berjalan-jalan di sekitar situ. Waktu itu kemacetan sepanjang jalan itu mengular sampai belasan kilometer, para petani di sekitar situ tidak sedikit yang mendekat untuk menjajakan barang dagangan berupa makanan dan minuman, ada pula yang menjual hasil taninya, seluruh jalan pun menjadi pasar dadakan.

Tiba-tiba ada keributan, ada yang bertengkar lalu terjadi baku hantam. Ternyata seorang pemuda dari instansi kami, gegara masalah uang, tengah berkelahi dengan seorang pedagang. Penulis menghampiri mereka, dan mengenali pemuda dari instansi kami itu, masih berusia 20-an tahun, satu tangannya mencengkram kerah si pedagang, satu tangan lagi memegang sebilah pisau Tibet, serta memaksa si pedagang mengembalikan uangnya. Tiba- tiba dari tengah kerumunan penonton ada yang berteriak, “Tidak usah banyak omong, tusuk saja dia!” Anak muda itu pun benar- benar menikamkan pisaunya. Waktu itu penulis untungnya sudah berada di samping- nya, serta buru-buru merangkul dan merebut pisaunya itu. Situasi saat itu cukup berbahaya, pisau Tibet itu sudah sempat merobek pakaian si pedagang. Seandainya penulis telat sedikit saja, pedagang itu mungkin sudah terluka akibat tusukan. Tempat terpencil seperti itu, pasti sulit mencari pertolongan, bisa-bisa si pedagang akan mati. Penulis berkata pada si pemuda, “Kau boleh berkelahi model apa pun, tapi jangan pakai pisau.”

Setelah itu amarah penulis meluap, dan bertanya kepada kerumunan siapakah tadi yang memprovokasi, tapi tidak ada yang mengaku. Mungkin waktu itu karena tangan penulis memegang pisau yang direbut tadi, dan penulis dalam kondisi sangat marah, sehingga tidak ada seorang pun yang berani mengaku.

Bagaimana penyelesaian masalah itu, penulis sudah agak lupa. Tapi selamanya  selalu ingat suara orang yang memprovokasi dari dalam kerumunan itu. Karena orang yang menonton keributan berniat memperbesar keributan, tapi kalau anak muda itu sampai membunuh orang, satu teriakan provokasi saja yang sama sekali tidak perlu bertanggung jawab, sangat mungkin mengakibatkan tewasnya dua orang. Pemuda itu kemudian sangat berterima kasih pada penulis, setibanya di Chengdu bahkan mengundang saya makan bersama. penulis tahu, setelah kejadian itu berlalu, dia pun baru merasa ketakutan.

Ini adalah kejadian yang penulis alami sendiri. Mungkin pembaca merasa ini hanyalah masalah sepele, tapi bagi kedua orang itu terutama bila keduanya berkeluarga, mungkin adalah masalah besar. Setelah kejadian itu, penulis pun berubah menjadi lebih berhati-hati, khususnya tidak mau menghasut, juga selalu mengendalikan temperamen sendiri.

PKT tidak gegabah menggunakan kekuatan militer, tentu saja dikarenakan tidak mampu menghadapi kekuatan militer AS, dan tidak mau gegabah mengangkat senjata hanya karena diprovokasi, hal ini juga merupakan pilihan dalam prinsip pragmatisme. Banyak kejadian perang di zaman kuno berawal karena “amarah menerobos ubun-ubun”, bagi manusia modern sepertinya hal kecil, dan tidak perlu sampai mengobarkan perang. Seperti Perang Troya dalam Homeric Epics, istri Raja Sparta lari bersama orang lain, maka Yunani mengobarkan perang, serta melakukan genosida, dan memusnahkan Kerajaan Troya. 

Seperti Kaisar Wu dari Dinasti Han beberapa kali mengobarkan perang ke wilayah Barat di masa akhir kekuasaannya, demi memperoleh kuda Ferghana, alasannya karena dia sangat tergila-gila akan jenis kuda unggul tersebut. Dua perang yang memusnahkan kerajaan lain, yang satu demi amarah, satunya lagi demi hobi, semuanya adalah akibat dari emosi yang tak terkendali.

Mayoritas orang berpendapat, keputusan manusia biasanya merupakan pemikiran logis di dalam otaknya, dengan melihat situasi secara menyeluruh, dan mempertimbangkan untung rugi, itu adalah pilihan yang rasional. Kenyataannya, banyak sekali keputusan yang sebenarnya ditentukan oleh emosi.

Kondisi semacam ini semakin sedikit terjadi di masa modern ini. Mayoritas perang, baru meletus ketika perebutan kepentingan negara sampai pada tahap yang tidak bisa ditolerir dengan akal sehat. Tapi tidak semuanya seperti itu juga, lagipula semua kemajuan ada kemungkinan dapat berjalan terbalik dan mengalami kemunduran.

Misalnya perang yang dikobarkan akibat patriotisme dan nasionalisme, bagi penulis juga merupakan perang yang emosional. Tentu saja, orang yang memutuskan berperang belum tentu memiliki emosional yang sama, dia mungkin tidak benar-benar patriot dan tidak benar-benar nasionalis, mungkin demi agenda mereka yang lain yang “sangat rasional”, seperti harta, tahta, dan lain-lain. Tetapi mereka tahu persis, kedua paham tersebut adalah bahan pembakar kebencian, dan kebencian adalah mesin pendorong perang. Begitu ada emosi berupa kebencian ini, maka akan sangat mudah untuk mengobarkan perang.

Kali ini Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan, jika PKT mengobarkan perang akibat amarahnya, maka benar akan terjadi “amarah menerobos ubun-ubun demi seorang perempuan”, sangat besar kemungkinannya akan gagal. Segala kejahatan PKT, harus dikecam, tapi tidak bisa meremehkan PKT. Strategi militer mereka memiliki metodenya sendiri, dan sudah berulang kali teruji, di sini tidak perlu dibahas lagi.

Bagi PKT, prinsip dasar mereka adalah tidak akan berperang tanpa persiapan, tidak akan berperang bila tidak yakin menang, ini sudah berlaku sejak masa Red Army (Tentara Merah) dulu. Perang karena amarah sesaat, sama sekali tidak ada persiapan, atau persiapan tidak matang lantas tergesa menyerang, bukanlah tradisi militer PKT. Taktik kekuasaan PKT biasanya menggunakan intrik mengintrik, dalam hal memerintah negara memang tidak boleh ditiru, tapi dalam hal menghadapi perang, cara ini justru sangat tepat. Ibarat pepatah yang mengatakan: Memerintah harus dengan cara lurus, sebaliknya dalam mengerahkan pasukan harus dengan jurus tipu daya. Dalam taktik perang Sun Tzu dikatakan, dalam militer, penuh dengan muslihat. 

Ada lagi istilah “menyatukan dengan kelurusan, menang dengan muslihat”. Bagaimana melakukannya? Yaitu “mampu tapi perlihatkan tidak mampu, gunakan tapi perlihatkan tidak menggunakan, dekat tapi perlihatkan seolah jauh, jauh tapi perlihatkan seolah dekat”. Waktu dan tempat berperang, harus bisa dikuasai pihak sendiri, dan tidak boleh dikuasai lawan. 

Dalam hal ini, kecil kemungkinan PKT berperang dengan Taiwan hanya karena suatu masalah, karena masalah bisa “diciptakan” sewaktu-waktu, tidak perlu khawatir bahwa tidak memiliki dalih untuk berperang, tapi bila dalih itu diciptakan oleh lawan, maka harus ekstra hati-hati.

Taktik perang Sun Tzu mengatakan, “Taktik tertinggi dalam militer adalah memainkan strategi, berikutnya adalah berdiplomasi, berikutnya mengerahkan pasukan, terakhir adalah menyerang bentengnya.” Berpijak di sudut pandang PKT, strategi paling tinggi adalah dengan strategi, tidak perlu mengerahkan pasukan menyerang Taiwan, dengan kata lain penyatuan secara damai dengan satu negara dua sistem (seperti yang terjadi pada Hong Kong), inilah rencana besar yang disusun oleh Deng Xiaoping dan kawan- kawan, dengan rentang waktu sekitar tiga sampai lima dasawarsa. 

Faktanya hingga 2017, memang semakin mendekati tujuan ini. Waktu itu Kubu Biru (Partai Nasionalis) sedang bagus-bagusnya, banyak pengusaha Taiwan berbisnis di Tiongkok, pengusaha yang tidak masuk ke Tiongkok pun, keuntungan dan penghasilannya banyak mengandalkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, tiga juta warga Taiwan sempat menetap di Tiongkok, persenjataan Tiongkok tumbuh pesat, dan orang Amerika masih bermimpi di siang hari bolong bahwa “Tiongkok pasti akan menuju kebebasan demokrasi”. Maka semuanya berjalan lancar-lancar saja.

Namun satu gerakan anti UU ekstradisi di Hong Kong gegara kebijakan Beijing mengelola Hong Kong telah mengubur segala- galanya, setelah itu AS bentrok dengan Beijing, lalu pandemi merajalela, dan lain sebagainya, semua “strategi” pun menjadi sia-sia.

Berikutnya adalah diplomasi. Untuk menarik sekutu, walaupun negara lain tidak mendukung policy penyatuan Beijing, juga hendaknya jangan membantu Taiwan. Diplomasi dari PKT ini beberapa tahun terakhir ini juga telah gagal total, kegagalan yang terbesar adalah konfrontasi dengan AS, kemudian dengan Jepang, disusul bentrok dengan Australia, India, dan lain sebagainya.

Sekarang Eropa pun telah menyatakan sikap, Forum G7 menyatakan jika Tiongkok menyerang Taiwan, maka G7 pasti akan memberlakukan sanksi menyeluruh.

Oleh karena itu cara Beijing selanjutnya adalah “mengerahkan pasukan”. Termasuk dengan reformasi militer, menaikkan anggaran militer besar-besaran, meningkatkan persenjataan dan perlengkapan, paling ideal- nya adalah membuat lawan membatalkan niat berperangnya, dan memilih untuk menyerah saja. Sama seperti cara Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing menyerang Taiwan dulu, satu dua kali pertempuran saja, Taiwan langsung keder dan menyerah. Itulah sebabnya PKT mati-matian membuat pesawat dan kapal perang, untuk terus meningkatkan tekanan terhadap Taiwan secara perlahan. Melihat kondisi sekarang, cara yang didorong oleh tren ini yakni “mengerahkan pasukan”, juga tak begitu efektif lagi.

Dan yang terakhir bagi PKT hanya bisa memilih kebijakan terburuk yakni “menyerang benteng”. Akan tetapi “benteng” Taiwan ini, apakah semudah itu bisa “digempur”?

US Naval War College baru-baru ini merilis sebuah laporan, mengungkap masalah diskusi internal PKT yang membahas penyerangan Taiwan dalam skala besar. Yang menulis laporan tersebut adalah mantan pejabat intelijen senior militer untuk Tiongkok dari AD (Angkatan Darat) Amerika, Kevin McCauley. 

Dalam laporan disebutkan, sumber data dalam laporan itu adalah sebuah buku “internal” PKT yang diterbitkan pada 2017 oleh Pusat Riset Akademik Logistik Tentara Pembebasan Rakyat, berjudul “Jaminan Logistik Tempur”. Buku itu memaparkan informasi yang sangat rinci mengenai prinsip dan kemampuan logistik militer Tiongkok, juga telah dibahas mengenai kelemahan pada militer mereka.

Buku militer komunis itu menilai, jaminan logistik adalah salah satu faktor paling krusial yang sangat menentukan keberhasilan dalam menginvasi Taiwan.

Dalam laporan terdapat angka yang konkret. Pasukan sebesar 400.000 orang yang tengah menyerang Taiwan membutuhkan 30 juta ton pasokan material perang, amunisi, pangan, dan perlengkapan lainnya, ditambah lagi dengan 56 juta ton bahan bakar minyak. 

Untuk mengirimkan bahan-bahan tersebut, dibutuhkan 3.000 gerbong kereta api, 1 juta unit truk, 2.100 unit pesawat pengangkut, dan lebih dari 8.000 unit kapal untuk mengirim pasukan, perlengkapan, material, dan untuk mengevakuasi korban cedera; selain itu dibutuhkan 550 hingga 700 unit kapal logistik, kapal pendaratan, dan pesawat angkut yang dapat mendarat di Taiwan guna mengangkut semua kebutuhan tersebut.

Laporan juga menyebutkan, walaupun militer Tiongkok telah memahami betapa pentingnya jaminan logistik, tapi pada saat ini mereka mungkin tidak memiliki kemampuan memadai dalam mendukung pendaratan amfibi berskala besar. 

Apabila AS dan sekutunya melibatkan diri, Beijing juga tidak memiliki kemampuan logistik perang jangka panjang. Jika Beijing secara bertahap terus-menerus melakukan reformasi sesuai jadwal dalam hal modernisasi logistik, mungkin dibutuhkan waktu sepuluh tahun lagi agar dapat mempersiapkan jaminan logistik secara mapan.

Logistik adalah pondasi dalam pertempuran. Hal ini juga disebutkan dalam taktik perang Sun Tzu. Sun Tzu mengatakan, dalam segala taktik perang, seribu kereta kuda, ditambah seribu kereta sapi, dengan membawa seratus ribu pasukan, pengiriman bahan pangan yang berjarak ribuan Li (satuan jarak, 1 Li lebih kurang sama dengan ½ km), biaya keperluan harian, biaya mengirim utusan pulang- pergi, biaya untuk bahan baku memperbaiki senjata, biaya untuk melumasi kereta perang, biaya perbaikan kendaraan, setiap hari harus menghabiskan banyak sekali biaya, setelah semua ini dipersiapkan dengan matang, maka seratus ribu pasukan itu baru dapat dikerahkan untuk berperang.

Perang dari dua ribu tahun silam sudah sangat menguras biaya, biaya hariannya saja menguras kas negara, waktu itu tidak ada truk, pesawat, dan kapal perang, mayoritas serdadu membawa sendiri senjata mereka dan perlengkapannya, serta mengandalkan jalan kaki. 

Sekarang lebih luar biasa, prajurit hanya membawa sekitar dua ratus butir amunisi, pada dasarnya hanya cukup untuk pemakaian sehari.

400.000 orang  pasukan  RRT  menyeberang selat sejauh lebih dari 100 kilometer untuk berperang, logistik adalah suatu pekerjaan yang sangat berat. Ditambah lagi dengan AL, AU, dan pasukan rudal, ditambah lagi satelit, pesawat pelacak elektronik, dan lain-lain, rumitnya sungguh luar biasa, ini bakal menjadi perang invasi dengan menyeberangi laut berskala terbesar, paling rumit dalam sejarah manusia, dan PKT tidak pernah mengalaminya. 

Bagi pihak militer RRT, mutlak adalah perkara yang harus ditangani ekstra hati-hati.

Tingkat kerumitan perang modern, dari satu sisi telah membatasi keputusan emosional seorang diktator. 

Tapi melihat ke belakang, kali ini Beijing tidak secara emosional berkonfrontasi langsung melawan AS, ini juga menunjukkan bahwa pemimpin tertinggi PKT atau pihak militernya, masih memiliki kepala dingin dalam menghadapi kenyataan, hanya saja bagi Taiwan, kemungkinan hal ini akan semakin membahayakan. (sud)