Perubahan Drastis Industri Manufaktur Global, Meksiko Jadi Batu Loncatan Bagi Perusahaan Tiongkok

Wei Ran

Seiring dengan mendinginnya hubungan AS dengan RRT dalam beberapa tahun terakhir ini, decoupling (terlepas dari ketergantungan, red.) dengan RRT telah menjadi tren utama, sekarang tak hanya perusahaan asing yang telah hengkang, bahkan para produsen Tiongkok pun satu demi satu sedang melangkah meninggalkan RRT, dan pindah ke India, Vietnam dan negara-negara lain, Meksiko yang bersebelahan dengan AS juga telah menarik minat banyak perusahaan Tiongkok untuk berinvestasi disana, lalu apa keunggulan yang dimiliki Meksiko?

Selain itu, tindakan rantai pasokan Apple yang hengkang dari Tiongkok, sudah merambah sampai ke perusahaan pemasok Tiongkok, lalu apa sebenarnya yang membuat Apple bertekad menyusun ulang pasokannya? 

Perlu diketahui, Perang Dagang AS-RRT telah mengikis posisi RRT sebagai pabrik dunia, dan selain itu, masih ada lagi beberapa katalis yang menjadi faktor utama yang mendesak basis produksi berskala besar itu hengkang, apakah itu sebenarnya? 

Meksiko Menjadi Batu Loncatan Terbaik Memasuki Pasar AS

Beberapa tahun terakhir, tidak sedikit perusahaan Tiongkok telah menyadari keunggulan Meksiko, dan sedang diam-diam membangun jalur produksinya di negara tersebut, karena asalkan pada produknya ditempelkan label “Made in Mexico”, maka produk itu akan dapat dikirim ke AS tanpa cukai.

Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan Meksiko, sejak Samuel Garcia menjabat sebagai gubernur negara bagian Nuevo Leon yang baru pada Oktober 2021 lalu, investasi sebanyak 7 miliar dolar AS (107 triliun rupiah, kurs per 06/03) telah memasuki kawasan tersebut, dan menjadikannya sebagai negara bagian kedua terbesar yang menyerap investasi asing setelah Mexico City. 

Di antaranya porsi perusahaan Tiongkok yang menjadi sorotan, pada 2021 telah mencakup 30% dari total investasi asing di Nuevo Leon, berada urutan ke dua di bawah investasi dari AS yang mencapai 47%.

Nuevo Leon, terletak di timur laut Meksiko, karena berbatasan langsung dengan Negara Bagian Texas, AS, maka ia memiliki keunggulan secara geografis, dan dianggap sebagai kawasan pemasok yang paling cocok bagi pasar AS. 

Oleh sebab itu pula, Nuevo Leon pun sedang menjadi “halaman belakang penghindaran pajak” bagi pasar di Amerika Utara. Sebagai contoh, surat kabar New York Times pada 3 Februari lalu memberitakan, untuk menghindari pajak dan mengirit biaya pengiriman, perusahaan Tiongkok Man Wah Holdings Limited yang telah masuk ke Meksiko sejak tahun lalu, sedang menggelontorkan modal sebesar 300 juta dolar AS (4,6 miliar rupiah) untuk membangun pabrik di Nuevo Leon. Perusahaan berencana merekrut 6.000 pekerja setempat, serta setiap tahun akan memproduksi 900.000 buah furniture, dan mayoritas produknya kemungkinan besar akan dijual di Amerika.

Bagi Meksiko, masuknya perusahaan Tiongkok berarti akan tersedia ribuan bahkan puluhan ribu lapangan kerja, dengan banyaknya investasi asing yang masuk, Meksiko dengan sendirinya senang menikmatinya. Penanggung jawab sebuah lembaga pendorong investasi di Monterrey, ibukota Nuevo Leon, menyatakan, setelah Perang Dagang AS dan RRT meletus pada 2018, perusahaan Tiongkok dengan cepat telah tertarik untuk berinvestasi di Meksiko.

Seperti diketahui, pada 1 Januari 1994, untuk menghapus hambatan perdagangan, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) telah resmi berlaku, maka sejak saat itu Meksiko telah resmi menjadi batu loncatan terbaik untuk masuk ke pasar Amerika Utara.

Akan tetapi, bagi para penjual Tiongkok, hal tersebut telah menjadi episode baru bai mereka. Pada 4 April 2018, setelah digelar “Perang Dagang AS-RRT”, waktu itu Presiden AS Donald Trump mengumumkan diberlakukannya tarif masuk sebesar 25% bagi lebih dari 1.300 jenis produk impor asal Tiongkok, padahal sebelumnya, tarif masuk produk Tiongkok dan negara lainnya ke wilayah AS hanya 3,9%.

Dari 3,9% melonjak ke 25%, tarif masuk yang melompat beberapa kali lipat itu mengakibatkan tidak sedikit perusahaan produsen Tiongkok, demi mampu bertahan hidup di tengah perang dagang ini, mulai mencari jalan keluar baru. 

Sedangkan Meksiko bisa begitu menarik para pengusaha Tiongkok ini adalah dikarenakan Meksiko mempunyai satu keunggulan yakni “near-shore outsourcing”, yang maksudnya adalah, perusahaan memanfaatkan pekerja dari negara tetangga untuk menyelesaikan pekerjaan dan layanannya, contohnya, banyak perusahaan Amerika, yang mengalihkan sebagian pekerjaannya kepada Meksiko dan Kanada.

Seperti diketahui, seiring dengan menyebarnya pandemi global pada 3 tahun silam, industri Tiongkok menjadi kacau, pelabuhan buntu, banyak perusahaan yang membuka pabriknya di Amerika telah mengalami kondisi kurangnya pasokan suku cadang buatan negara Asia, dan untuk mengurangi risiko telatnya pengiriman yang tidak bisa diprediksi, serta menekan biaya pengiriman, banyak perusahaan mulai menuntut para pemasoknya agar membangun pabrik di Amerika Utara, jika tidak, akan mengalami risiko kehilangan bisnis. Dalam kondisi seperti ini, tak sedikit perusahaan produsen Tiongkok yang mengalihkan lini produksinya ke Meksiko, dengan demikian tidak hanya dapat mempertahankan klien yang telah ada, juga bisa mendapatkan tenaga kerja yang lebih murah, serta menurunkan biaya tarif masuk dan lain sebagainya.

Selama 2019 – 2022, biaya pengiriman kontainer laut dari Tiongkok sampai ke Amerika pernah melonjak sampai lebih dari 3,5 kali lipat harga normal. Ada biaya pengiriman yang melonjak lebih parah lagi, dari yang dulunya per kontainer 2.000 dolar AS meroket hingga mencapai 20.000 dolar AS.

Namun, jika dari Meksiko dikirim ke Amerika, keunggulannya langsung terlihat jelas. Menurut penjelasan perusahaan Shelter, dalam kondisi normal, satu unit kontainer 40” dikirim dari Meksiko dalam satu minggu telah mencapai Amerika, biayanya hanya 1.800 dolar AS, sedangkan pengiriman barang dari negara Asia sampai ke Amerika dibutuhkan waktu antara 3 sampai 5 minggu, dan biaya pengiriman sekitar 4.300 dolar AS.

Akan tetapi, hari ini, seiring dengan semakin runyamnya pergesekan antara AS dengan RRT, mengalihkan lini produksi untuk menghindari risiko geopolitik, sepertinya menjadi faktor lebih penting yang harus dipertimbangkan oleh perusahaan Tiongkok. Karena tidak sedikit perusahaan Tiongkok yang tentunya tidak ingin kehilangan pasar AS sebagai negara ekonomi nomor satu di dunia.

“Made in India” Mungkin Akan Dominasi Produksi Global Masa Mendatang

Sebenarnya, tidak hanya Meksiko yang telah menjadi pasar strategis bagi investasi perusahaan Tiongkok. Vietnam dan India juga dengan cepat mulai menggantikan RRT, dan menjadi pusat produksi bagi para produsen besar dunia. Mengapa demikian? Sebenarnya alasannya sangat sederhana, semuanya adalah akibat “ulah” PKT sendiri.

Seperti telah luas diberitakan, belum lama ini, seiring dengan tuntutan perusahaan Apple Amerika agar rantai pasokannya dialihkan ke Vietnam dan India, basis produksi bakal sekali lagi dialihkan secara besar-besaran. Karena populasi India mulai melampaui Tiongkok, upah tenaga kerja murah, ditambah lagi banyaknya tenaga di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan, kemampuan Bahasa Inggris mereka juga jauh lebih unggul daripada Tiongkok, maka “Made in India” kemungkinan akan mendominasi produksi global di masa mendatang.

Selama bertahun-tahun, perusahaan Apple selalu mengandalkan jaringan produksi yang besar di Tiongkok, untuk menghasilkan produknya seperti iPhone, iPad, dan lainnya. Tetapi sejak tahun lalu, Apple telah mengalami ujian berat akibat ulah “Nol Covid” PKT. 

Pada Oktober tahun lalu, pabrik Foxconn di Kota Zhengzhou yang merupakan pabrik iPhone terbesar di dunia, awalnya merebak pandemic pada November lalu, lantaran perselisihan masalah gaji telah menyulut unjuk rasa karyawan, banyak dari mereka telah meninggalkan pabrik. Perusahaan Apple juga menyatakan, pabrik beroperasi dengan kondisi “menurunkan kapasitas secara drastis”.

Kemudian, walaupun operasional pabrik Zhengzhou telah pulih menjadi normal, tapi karena waktu itu bertepatan dengan musim belanja liburan yang krusial, masalah pasokan terkena dampaknya, sehingga berdampak pada penjualan tipe iPhone 14 Pro dan iPhone 14 Pro Max. Kejadian ini telah membuat Apple mengalami kerugian besar. 2022, harga saham Apple anjlok hampir 27%.

Pada Januari tahun ini, kantor berita Bloomberg mengutip informasi dari nara sumber, bahwa tindakan rantai pasokan Apple dialihkan keluar dari Tiongkok, dewasa ini telah menyebar ke perusahaan produsen Tiongkok lainnya, yaitu belasan supplier Apple di Tiongkok juga telah memperoleh izin awal membangun pabrik di India, termasuk perusahaan perakit AirPods dan iPhone yakni Luxshare Precision dan produsen modul lensanya yakni Sunny Optical dan lain sebagainya. Akan tetapi, di pihak India juga mungkin akan meminta agar perusahaan tersebut mencari perusahaan India sebagai rekan kerjasama setempat.

Tentu saja, perusahaan rantai pasokan Apple Tiongkok memilih pindah ke India untuk membangun pabrik, karena adanya suatu faktor krusial, yaitu sebagai akibat pasti dari tren “desinifikasi” perusahaan teknologi dunia. 

Menurut pemberitaan surat kabar Wall Street Journal, Apple telah meminta supplier atau pemasoknya untuk mempercepat dibangunnya lini produksi pada basis produksi di luar Tiongkok, untuk menurunkan ketergantungan terhadap pabrik Foxconn Zhengzhou yang merupakan anak perusahaan Hon Hai Precision.

Media massa Taiwan yakni Tech News juga memberitakan, kali ini perusahaan Apple berupaya keras untuk bersinergi secara aktif dengan pemerintah India di kawasan industri Tamil Nadu, dan diperkirakan dalam 10 tahun akan menjadikan “Made in India” menggantikan “Made in China”.

Katalis Yang Mendorong Beralihnya Basis Produksi Dalam Skala Besar

Walaupun dikatakan, Presiden Trump yang memulai Perang Dagang AS-RRT, telah mengikis posisi Tiongkok sebagai pabrik dunia, namun yang telah mendorong beralihnya basis produksi dalam skala besar, masih ada beberapa katalis lain.

Mungkin pembaca masih ingat, pada awal 2020, ketika pandemi merebak, seluruh dunia terjerumus ke dalam kegelapan dan ketakutan, ditambah lagi terjadinya perang masker, serta perebutan masker dan sumber daya medis, hal ini juga telah membuat seluruh dunia menyadari, semakin tinggi rasio produk kebutuhan buatan RRT, maka akan semakin dikendalikan oleh PKT. 

Di samping itu, kebijakan Nol Covid PKT yang ketat juga telah memutus rantai pasokan, ini juga menyebabkan banyak negara dunia mengevaluasi risikonya bila terlalu memfokuskan produksi di Tiongkok, maka dimulailah pola lini produksi “desinifikasi” yang baru, dalam hal ini, perusahaan Apple dalam kasus yang dibahas di atas, seharusnya sangat memahami karena telah mengalaminya.

Selain itu, dalam pandemi selama 3 tahun terakhir, seluruh dunia juga telah mendapat pelajaran dari ilmu ekonomi PKT yang sarat dengan nuansa politik. Tekanan dari pemerintahan Xi Jinping terhadap bidang-bidang internet, industri properti, pendidikan dan lain-lain di Tiongkok, membuat perusahaan swasta yang tadinya enerjik kini tercekik, perekonomian Tiongkok juga anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah. 

Para pengusaha Tiongkok yang mengalami derita ganda berupa kehilangan aset dan deraan mental, agar bisa membebaskan diri dari kendali pemerintah, banyak yang bergabung dalam bala tentara “runxue” (atau runology, ilmu melarikan diri dari RRT, red.), membawa semua modal dan teknologinya, hengkang ke luar negeri. Sementara para pengusaha yang tersebar di berbagai penjuru dunia itu, juga secara tanpa disadari telah mengubah pola rantai industri.

Sekarang, walaupun Beijing telah melakukan perubahan drastis 180 derajat, dan mendadak telah mencabut kebijakan Nol Covid, serta mulai melonggarkan ekonomi, juga tidak lagi menekankan arahan ekonomi berbasis politik. 

Tetapi, tindakan pemerintahan Xi ini sejatinya tidak mampu menenangkan hati masyarakat, kebijakan ekonomi dari pemimpin tertinggi PKT yang begitu mudahnya berbalik arah itu juga telah menjadi semacam katalis, yang membuat tak sedikit perusahaan modal asing enggan tinggal di Tiongkok.

Menurut survei tahunan dari Container xChange platform pelacakan kontainer, dari sebanyak 2.600 orang responden di lebih dari 20 negara yang diwawancarai, sekitar 67% orang menyatakan, setelah PKT memberlakukan kebijakan “Nol Covid”, mereka telah mulai mempertimbangkan menyesuaikan pola keseluruhan rantai pasokan.

Ada satu hal lagi, dari pengamatan, seiring dengan penyesuaian kebijakan ekonomi Beijing, sejumlah perusahaan modal asing optimis perekonomian Tiongkok akan segera bangkit lagi, dan tengah mempertaruhkan modalnya di Tiongkok. Namun, peristiwa yang terjadi belakangan ini, mungkin akan menjadi katalis baru, yang mengubah pergerakan modal-modal tersebut.

Peristiwa balon udara pada Februari barusan yang menyulut perang opini belum lagi mereda, hubungan AS dengan RRT kembali terjerumus dalam bahaya akibat PKT berniat memberikan bantuan yang bersifat mematikan kepada Rusia. 

Pada 18 Februari lalu, Menlu AS Blinken bersama dengan pejabat diplomatik tertinggi RRT yakni Wang Yi, walaupun telah melangsungkan pertemuan pada Konferensi Keamanan Munich, alih-alih situasi tegang juga mereda, sebaliknya malah memanas.

Kemudian, di saat menjelang setahun Perang Rusia-Ukraina, Presiden AS Joe Biden mendadak berkunjung ke Kiev, dan pada saat yang sama Wang Yi berkunjung ke Moskow. 

Sebelum Wang Yi berkunjung ke Rusia, AS dan Eropa telah memperingatkan, jika Beijing melakukannya, maka akan melampaui garis merah AS dan Eropa, Beijing akan menghadapi akibat yang buruk. 

Dewasa ini, seiring dengan semakin tegang dan runcingnya konflik serta masalah geopolitik antar dua kubu raksasa yakni kubu AS dan Eropa dengan kubu PKT dan Rusia, situasi internasional sewaktu-waktu juga akan mengalami perubahan besar.

Menurut penulis, dalam situasi kedua kubu besar dunia semakin terpisah dengan jelas, modal investasi yang cerdas dengan sendirinya juga akan menemukan arah yang baru. (SUD/WHS)