Kemungkinan Tiongkok Tidak Ada Deflasi Hanya Ada Kemerosotan

Frank Tian Xie, Ph.D

Pada forum ekonomi Tiongkok, banyak orang menggoreng isu bahwa Tiongkok telah terjebak dalam “deflasi”, serta tidak ada inflasi. Ini mungkin semacam cara berdalih untuk membebaskan Partai Komunis Tiongkok (PKT) serta melindungi PKT dari aksi mencetak dan mengedarkan uang secara besar-besaran, yang sebenarnya sangat merugikan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan kesejahteraan rakyat Tiongkok. Jika dianalisa dan diamati secara rinci, mungkin tidak akan sulit mendapati, bahwa kemungkinan Tiongkok sama sekali tidak ada “deflasi”, melainkan hanya ada inflasi, dan kemerosotan ekonomi mungkin akan terus bertambah buruk.

Apa yang dimaksud deflasi, menurut definisi pada buku pelajaran, deflasi adalah semacam fenomena ekonomi dimana seluruh harga barang atau standar harga mengalami penurunan, kebalikan dari inflasi. Biasanya, jika inflasi sangat rendah, begitu rendahnya sampai menyentuh angka nol atau bahkan minus (negatif), maka akan terjadi deflasi. Inflasi menyebabkan daya beli nyata suatu mata uang menurun, sedangkan deflasi justru menyebabkan daya beli nyata suatu mata uang meningkat.

Dalam sejarah modern ekonomi, banyak negara pernah mengalami deflasi. Pada pertengahan era 1990 perekonomian sempat terjebak deflasi, sehingga deflasi pun menjadi mimpi buruk ekonomi Jepang. Saat mengalami deflasi, perekonomian Jepang juga terjebak dalam kemerosotan jangka panjang. Antara era 1960an hingga era 1980an, kecepatan pertumbuhan ekonomi Jepang pernah mencapai dua kali lipat dibandingkan AS. Tapi setelah tahun 1989, telah terjadi kehancuran bursa efek dan krisis perbankan, sejak saat itu inflasi di Jepang selalu bertahan di angka rendah, lalu di era tahun 2000an mulai memasuki deflasi; dan selama terjadi pandemi belum lama ini, perekonomian Jepang kembali terjerumus ke dalam deflasi.

Bagaimana dengan deflasi AS? Deflasi terakhir AS terjadi antara tahun 2007 hingga 2009, yakni masa dimana AS mengalami kemerosotan ekonomi pasca badai moneter. Selama 60 tahun terakhir, AS pernah mengalami dua kali deflasi, yakni di tahun 2009 dan tahun 2015, indeks harga barang konsumen (CPI) AS pada waktu itu telah jatuh menembus angka nol, yakni mencapai sekitar minus 0,1%. Deflasi terparah sepanjang sejarah AS terjadi antara tahun 1870 hingga 1890, waktu itu harga barang, bahan baku, dan tenaga kerja di AS dan seluruh dunia rontok, tapi besarnya penurunan tidak begitu besar, lebih kecil dari sekitar 2%.

Para ekonom berpendapat, deflasi lebih parah daripada inflasi, karena ketika terjadi deflasi, harga barang dan jasa turun, ekspektasi deflasi akan membuat konsumen mengharapkan penurunan harga yang lebih dalam, dan oleh karena itu menyebabkan penyusutan permintaan, serta mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat. Deflasi lebih buruk akibatnya daripada inflasi, karena suku bunga maksimal hanya bisa turun hingga nol persen.

Saat terjadi deflasi, mata uang dengan jumlah yang sama membuat masyarakat dapat membeli lebih banyak barang, hal ini sepertinya baik, karena menguntungkan bagi konsumen. Tapi saat terjadi deflasi, konsumsi atas barang yang bersifat tahan lama (durable goods, red.) akan ditunda, karena masyarakat tidak ada kebutuhan mendesak, sekaligus juga menantikan harganya akan semakin menurun. Dengan demikian akan menyebabkan penyusutan belanja konsumen, sehingga dapat mempengaruhi pendapatan komersial perusahaan; sementara itu penyusutan pendapatan perusahaan komersil dapat mengakibatkan PHK dan kebangkrutan, yang sebaliknya menimbulkan peningkatan pengangguran serta penurunan daya beli konsumen. Jika kondisi ini terus menerus berlangsung, dapat mengakibatkan lingkaran setan, sampai ekonomi mengalami kemerosotan yang serius. Dengan kata lain, deflasi jangka panjang akan menekan investasi dan produksi, menyebabkan meningkatnya pengangguran dan merosotnya ekonomi. Tapi sepertinya bukan fenomena seperti ini yang terjadi di Tiongkok. 

Ahli ekonomi pada umumnya berpendapat, ketika indeks harga konsumen (CPI) anjlok selama dua musim berturut-turut, itu berarti telah terjadi deflasi. Deflasi adalah kondisi dimana harga barang, pangan, energi, upah buruh, suku bunga, dan lain-lain semuanya mengalami penurunan terus menerus, dan semua ini terjadi dalam kondisi pasokan lebih banyak daripada kebutuhan. Saat terjadi deflasi, para debitur akan mengalami pukulan yang paling keras, karena mata uang yang mereka gunakan saat membayar hutang, lebih bernilai, daya belinya lebih tinggi daripada pada saat mereka meminjam uang tersebut.

Saat ini Tiongkok tidak mengalami deflasi dalam makna yang sesungguhnya, produk konsumen umum warga Tiongkok, mulai dari sayuran, buah-buahan, daging, susu, telur, serta barang konsumsi keluarga sehari-hari, energi dan BBM, serta produk kebutuhan hidup lainnya, semuanya harganya terus meningkat.

Di pasar Tiongkok memang ada harga banyak barang yang turun harga, contohnya mobil dan rumah, barang mewah dan semacamnya, semua itu mengalami penurunan harga drastis. Tapi barang-barang itu hanyalah sebagian dari kalkulasi inflasi, bagi mayoritas masyarakat biasa, bukan merupakan bagian yang penting. Turunnya harga mobil mungkin berkat turunnya harga mobil listrik, sementara turunnya harga pasaran mobil listrik adalah berkat Tesla yang menguasai hampir setengah dari keseluruhan pangsa pasar mobil listrik di Tiongkok.

Tesla buatan Elon Musk turun harga menguasai pasar Tiongkok, menyebabkan banyak pabrik di Tiongkok gulung tikar, yang memicu semakin banyak pengangguran dan menurunnya daya beli konsumen. Turunnya harga di pasar properti Tiongkok adalah karena pasokan rumah jauh lebih banyak daripada kebutuhan, pasokan jauh lebih besar daripada permintaan, pihak pemerintah berupaya keras mempertahankan harga sehingga masih ada harga tapi tidak ada permintaan, penjualan sangat lesu. Mengesampingkan faktor inflasi akibat otomotif, rumah, dan barang tahan lama, level harga barang di Tiongkok masih sangat tinggi, sama sekali tidak terjadi deflasi!

Data tahun 2023 yang dilansir oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok menunjukkan, selama dua tahun terakhir yakni antara Maret 2021 hingga Maret 2023, tingkat inflasi bulanan dari tahun ke tahun bertengger di atas 0,4%, dan pada November 2021 mencapai 2,3%, lalu pada bulan September 2022 melonjak ke 2,8%, pada bulan-bulan lainnya selama dua tahun mayoritas bergerak di kisaran 1%~2%. Pada Maret 2023 lalu, masih berada di angka 0,7%. Dilihat dari tingkat inflasi dari bulan ke bulan, selama 25 bulan dalam lebih dari dua tahun terakhir, hanya ada 9 bulan yang tingkat inflasi dari bulan ke bulan di angka negatif, selebihnya selama 16 bulan tingkat inflasi di angka positif. Dengan kata lain, dari laporan inflasi bulanan yang dipublikasikan oleh PKT, di Tiongkok sama sekali tidak terjadi deflasi seperti yang digembar-gemborkan!

Umumnya, deflasi menunjukkan ketika mata uang yang beredar di pasar berkurang, maka daya beli mata uang tersebut akan meningkat, sehingga masyarakat cenderung ingin menyimpan uang daripada menginvestasikan apalagi membelanjakannya, sehingga terjadilah deflasi. Sementara kredit yang baru muncul terutama mengalir ke sektor properti, mengalir ke pejabat pemerintah yang korup, sementara pejabat korup justru menyimpan uang di rumahnya sendiri, tidak masuk dalam peredaran uang, jadi walaupun pemerintah pusat mencetak uang dalam jumlah besar, tapi mengakibatkan fenomena aneh berupa pemerintah daerah berhutang karena kurang uang, perusahaan berhutang karena kurang uang, individu berhutang karena kurang uang.

Seperti yang pernah penulis jelaskan dalam acara “Pinnacle View” di kanal NTDTV, yang dialami Tiongkok saat ini adalah menyusutnya pondasi konsumsi, karena melonjaknya harga barang masih merupakan tekanan inflasi, ditambah lagi dengan beralihnya rantai industri, merosotnya ekonomi, pengangguran meningkat menyebabkan daya beli konsumen menurun. 

Di Tiongkok, saat ini masyarakat sangat mencemaskan masa depan, hal ini juga menyebabkan tingkat tabungan di Tiongkok meningkat, akibat dari lingkaran setan ini adalah, kemerosotan ekonomi di Tiongkok sekarang akan memasuki kemerosotan yang lebih besar dan lebih lama.

“Penyusutan pendapatan bersifat hutang” di Barat, adalah karena pasokan uang bank sentral tidak cukup, tapi kita melihat Tiongkok tidak mengalami masalah tersebut. Pasokan uang di Tiongkok sangat banyak, bank sentral juga terus menerus mengedarkan uang, tapi uang-uang itu tidak masuk dalam peredaran, tidak masuk ke tangan konsumen, melainkan masuk ke sektor properti, masuk ke sejumlah BUMN milik PKT, sehingga membuat hutang perusahaan tersebut menjadi sangat berat, juga mengakibatkan krisis ekonomi “seperti deflasi” pada seluruh masyarakat. Tapi secara keseluruhan, inflasi di Tiongkok masih sangat parah, juga tidak terjadi deflasi dalam makna yang sesungguhnya, melainkan pada kenyataannya terjebak dalam situasi ekonomi yang merosot.

Ekonomi Tiongkok terus menerus merosot, mungkin telah mulai memasuki depresi, ini adalah kondisi yang sangat mengerikan bagi masa depan. Masalah inflasi tidak diselesaikan, sementara para akademisi yang tidak berhati nurani justru menghebohkan telah terjadi deflasi, hal ini hanya akan menyebabkan disuntikkan obat kuat dosis tinggi pada tubuh ekonomi Tiongkok yang gemuk semu itu, membuat gelembung ekonomi semakin besar dan semakin membahayakan. 

Jadi, semoga pembaca lebih cerdas, dari data yang dirilis pemerintah PKT dapat dilihat, besar kemungkinan Tiongkok sama sekali tidak mengalami deflasi, melainkan hanya kemerosotan ekonomi, kemerosotan yang sangat serius! (Sud/whs)