Parlemen Polandia Mengutuk Ideologi dan Konsekuensi Revolusi Bolshevik

Pada 7 November, peringatan 100 tahun pecahnya Revolusi Bolshevik di Rusia, anggota Parlemen Polandia Jozef Brynkus menyampaikan kepada marshall Sejm, legislative tingkat bawah Parlemen Polandia, sebuah rancangan tentang sebuah resolusi yang mengecam ideologi dan konsekuensi dari Revolusi Bolshevik tersebut. Sejm tersebut mengeloloskan resolusi tersebut pada 24 November.

Resolusi tersebut secara ringkas melacak dampak komunisme di dunia, mulai dari Revolusi Bolshevik sampai sekarang, dengan penekanan khusus pada pengaruhnya terhadap Polandia.

Pembuka Resolusi tersebut: “Revolusi Bolshevik yang meletus di Rusia 100 tahun yang lalu pada bulan November 1917 telah mengubah wajah negara ini yang kemudian menjadi sebagian besar dunia, dan konsekuensi sosial dan ekonomi yang tragis telah dirasakan di banyak negara dan di Rusia itu sendiri sampai hari ini

“Setiap revolusi yang dilakukan oleh kudeta berdarah membawa serta kehancuran dan kematian. Pemberontakan sayap kiri yang ekstrem, meski sering ditutupi oleh slogan-slogan yang indah dan bernada tinggi, selalu menimbulkan teror dan kejahatan dan merugikan orang-orang dan seluruh masyarakat. Bilah agresi revolusi Bolshevik ditujukan terhadap nilai dasar kemanusiaan dan tradisi peradaban Eropa. Terlahir dari ideologi kriminal komunisme, didorong oleh slogan-slogan anti kemanusiaan dan anti Kristen, ia telah meninggalkan jejak kejamnya pada kehidupan banyak generasi “

Awal Komunisme dalam Revolusi Bolshevik

The Black Book of Communism” melaporkan saat awal pertumpahan darah komunisme di Rusia, sejak kudeta 7 November yang dipimpin oleh Vladimir Ilyich Lenin diikuti oleh fase yang sangat keras. “Kekerasan ini dipaksakan pada Partai oleh Lenin sendiri segera setelah merebut kekuasaan,” tulis Stephane Courtois, salah satu penulis buku tersebut.

“Tujuan utama Lenin adalah mempertahankan kekuasaannya selama mungkin,” tulis Courtois. “Lenin menancapkan sebuah kediktatoran yang dengan cepat menunjukkan dirinya sendiri sebagai penumpah darah maupun teroris di dalam sifat dasarnya.”

“Terperangkap di antara kehendak untuk menerapkan doktrinnya dan perlunya mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan, Lenin menciptakan mitos tentang Revolusi Bolshevik di seluruh dunia. Pada bulan November 1917 ia ingin mempercayai bahwa api revolusioner akan menelan semua negara yang terlibat dalam perang tersebut, dan Jerman di atas yang lainnya. Tetapi revolusi di seluruh dunia tidak terjadi, dan setelah kekalahan Jerman pada bulan November 1918, sebuah tatanan Eropa baru muncul … Ini sudah jelas ketika Tentara Merah dikalahkan di Warsawa pada tahun 1920,” tulis Courtois. Tentara Soviet menginvasi Polandia pada tahun 1920 untuk menyebarkan Revolusi Bolshevik tersebut ke Barat.

Revolusi Bolshevik di Rusia
Sebagai akibat dari Pertempuran Warsawa dalam Perang Polandia-Soviet pada tahun 1920, tentara Polandia menampilkan bendera pertempuran Soviet yang telah direbut. Pertempuran Warsawa tersebut adalah kemenangan mutlak Polandia. (Wikimedia Commons / Public Domain)

Komentar resolusi mengenai sejarah ini, dan bagaimana Polandia menghentikan ekspansi komunis lebih jauh ke Barat: “Salah satu korban terbesar Revolusi Bolshevik adalah Polandia. Pada tahun 1920 tentara Polandia melalui ketabahan mereka mampu menghentikan perkembangan revolusi tersebut di Eropa.”

“Kegagalan teori Leninist tentang revolusi Eropa dan dunia luar membuat kaum Bolshevik cukup terisolasi dan dalam konflik langsung dengan Rusia yang semakin anarkis. Dalam usaha putus asa untuk memegang kekuasaan, kaum Bolshevik membuat teror menjadi bagian sehari-hari dari kebijakan mereka, berusaha merombak masyarakat berdasarkan gambaran dari teorinya, dan untuk membungkam orang-orang yang, entah melalui tindakan mereka atau oleh kehidupan sosial, ekonomi, atau intelektual mereka, mengarahkan ke lubang menganga di dalam teori tersebut. Pernah di dalam kekuatannya, kaum Bolshevik membuat Utopia (tempat atau keadaan yang dibayangkan semuanya sempurna) menjadi bisnis berdarah yang luar biasa,” tulis Courtois.

Komunisme Berada di Seluruh Dunia

Komunisme terus menyerang lagi pada tahun 1939, dengan Polandia medan perang tersebut dan sisanya di seluruh dunia hanya di sela-sela tidak berperan aktif.

Resolusi tersebut mengatakan: “Namun, ketika pada tahun 1939 komunis bersekutu dengan kaum sosialis-sosialis nasional tersebut, sebuah pembantaian besar-besaran tidak dapat dicegah lagi, terlebih lagi karena banyak negara di dunia yang beradab masih menerima demagogi Jerman dan dengan tepuk tangan memuji propaganda muka dua dari Soviet.”

Pada bulan Agustus 1939, Jerman dan Uni Soviet menandatangani sebuah pakta non-agresi, yang disebut Pakta Molotov-Ribbentrop. Perjanjian tersebut berisi sebuah protokol rahasia di mana kedua sekutu tersebut membagi tanah-tanah tersebut antara Jerman dan Uni Soviet menjadi wilayah pengaruh mereka. Bulan berikutnya tentara mereka menyerang Polandia dan bertemu di garis demarkasi.

Sejarawan Inggris-Polandia Norman Davies menulis dalam artikelnya “Britain and the Warsaw Rising” bahwa pada tahun 1945 di Konferensi Yalta, “para pemimpin Barat meninggalkan semua pengaruh efektif di Polandia dan Eropa Timur sebagai balasan atas kerja sama Stalin di Jerman dan di Timur Jauh.”

Perjanjian Yalta memberikan kebebasan untuk menyebarkan komunisme di Polandia dan Eropa Timur, seperti yang dinyatakan dalam resolusi tersebut: “Dari tahun 1945, impor revolusi komunis ke banyak negara di dalam dan di luar Eropa menjadi mungkin sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah koalisi anti-Jerman yang bersekutu dengan kekuatan Barat. Ratusan juta korban di seluruh dunia ditambahkan kepada jutaan korban Revolusi Bolshevik, dan akibat mengerikan dari eksperimen ekonomi komunis tersebut telah menghancurkan ekonomi puluhan negara di seluruh dunia.”

Penulis “Black Book of Communism” memperkirakan bahwa jumlah total orang yang terbunuh oleh komunisme mendekati 100 juta termasuk sekitar 20 juta kematian di Uni Soviet dan 65 juta kematian di Tiongkok.

Kalimat penutup resolusi tersebut berbunyi: “Sejm Republik Polandia mengutuk ideologi yang menyebabkan tragedi jutaan orang dan memberi penghormatan kepada semua korban Revolusi Bolshevik tersebut.”

Kontroversi ‘Ekstrimis Kiri’

Resolusi tersebut diadopsi dengan 283 suara yang mendukung, dan 4 abstain. Namun, 173 deputi tidak berpartisipasi dalam pemungutan suara, menolak bahasa dalam resolusi tersebut mengenai “ekstrimis kiri.” Mayoritas yang tidak memilih termasuk Partai Civic Platform dan Partai Modern.

Civic Platform saat ini merupakan partai oposisi terbesar, dan tidak ada wakil partai yang berpartisipasi dalam pemungutan suara mengenai resolusi tersebut. Para wakil Civic Platform mengusulkan sebuah amandemen untuk menghapus teks dari resolusi yang menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh ekstrimis kiri selalu membawa teror, menyebabkan kejahatan, dan merugikan individu dan juga masyarakat. Namun, mereka setuju dengan sebagian besar pernyataan resolusi lainnya.

Rafal Grupinski, wakil dari Civic Platform, dalam pidatonya dalam sebuah sesi parlemen Polandia mengemukakan sebuah contoh yang menjelaskan usulan amandemen terhadap resolusi tersebut. Dia berkata: “1905 – revolusi ekstrimis kiri tersebut dimulai dengan Bloody Sunday (Minggu Berdarah) di St. Petersburg. Lalu ada ratusan korban di Warsawa, Lodz, dll. Apa akibatnya? Pemulihan bahasa Polandia di sekolah … pemulihan bahasa Polandia di kotamadya, kemungkinan penerbitan surat kabar tersebut, menciptakan asosiasi-asosiasi. Kiri bukan hanya kartu malapetaka dalam sejarah Eropa.” Namun, amandemen tersebut ditolak oleh Komite Kebudayaan dan Media.

Piotr Babinetz, seorang utusan yang mewakili partai Hukum dan Keadilan, mengatakan bahwa rancangan resolusi tersebut merupakan hasil usaha bersama partainya dan partai Civic Platform. Dia juga mengatakan bahwa revolusi pada tahun 1905 tersebut bersifat sosialis dan kiri tetapi bukan ekstrem kiri dan itu mendahului Revolusi Bolshevik.

Menurut Babinetz, ekstrimis kiri tersebut menentang resolusi yang mengacu pada, misalnya, gerakan yang diilhami oleh Che Guevara yang melakukan pembunuhan. Sebagian besar wakil mewakili partai Hukum dan Keadilan berpartisipasi dalam pemungutan suara, dan mereka yang berpartisipasi memilih untuk memilih resolusi tersebut.

Robert Winnicki, seorang wakil non partisan, mengatakan bahwa gerakan ekstrimis kiri bertanggung jawab atas tindakan teroris yang baru-baru ini terjadi di Eropa. (ran)

Mikolaj Jaroszewicz memberikan kontribusi untuk laporan ini.