Mahkamah Agung AS Putuskan Melawan Kasus Anti Monopoli Tiongkok

WASHINGTON – Mahkamah Agung AS menyelaraskan diri dalam perselisihan melawan Tiongkok pada tanggal 14 Juni, menolak putusan pengadilan yang lebih rendah yang telah memungkinkan dua produsen vitamin C Tiongkok melepaskan diri hampir $148 juta untuk ganti rugi karena melanggar undang-undang anti monopoli Amerika.

Dalam kasus yang membawa konflik perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia di hadapan pengadilan tinggi AS tersebut, hakim memutuskan 9-0 bahwa pengadilan yang lebih rendah telah memberi terlalu banyak rasa hormat pada dokumen resmi yang diajukan ke pengadilan oleh pemerintah Tiongkok yang yang penjelasan kebijakan peraturan Tiongkok.

Para hakim mengirim kembali kasus tersebut untuk ditinjau ulang oleh Pengadilan Banding Sirkuit 2 AS yang berbasis di New York, yang pada tahun 2016 telah menolak ganti rugi yang  telah menang dari dua perusahaan Amerika yang membeli vitamin C tersebut.

Menulis untuk pengadilan tersebut, Hakim Ruth Bader Ginsburg mengatakan bahwa ketika pengadilan AS harus memberikan “pertimbangan penuh hormat” terhadap interpretasi pemerintah asing terhadap hukumnya sendiri, mereka tidak “terikat untuk menyetujui pengaruh yang melayani untuk mengakhiri keraguan terhadap pernyataan-pernyataan pemerintah asing tersebut.”

Para pengacara untuk AS dan pemerintah Tiongkok telah berhadapan pada bulan April sebelum peradilan tersebut. Mahkamah Agung mengambil langkah yang tidak biasa untuk membiarkan Tiongkok mengajukan argumen meskipun ia bukan pihak resmi dalam kasus tersebut, sebuah hak istimewa yang biasanya disediakan untuk Departemen Kehakiman AS.

Kasus penetapan harga kembali ke tahun 2005 ketika Animal Science Products yang berbasis di Texas dan Perusahaan Ranis yang berbasis di New Jersey menuduh Hebei Welcome Pharmaceutical, Grup Farmasi Tiongkok Utara, dan para pembuat vitamin C Tiongkok lainnya telah melakukan pelanggaran-pelanggaran antimonopoli.

Tiongkok meminta pengadilan tersebut untuk mengabaikan tuduhan sebagian karena undang-undangnya telah memaksa perusahaan-perusahaan Tiongkok untuk mematuhi rezim yang menentukan harga yang diamanatkan pemerintah.

Carter Phillips, pengacara Tiongkok dalam kasus ini, mengatakan putusan Mahkamah Agung tersebut berarti “kita hidup untuk bertempur di lain hari.”

Putusan tersebut sangat menentang latar belakang Tiongkok yang lebih besar dan perselisihan-perselisihan perdagangan yang masih memanas dengan AS. Presiden Donald Trump menuduh Tiongkok melakukan praktik perdagangan yang tidak adil dan mengancam akan mengenakan tarif hingga $150 miliar untuk barang-barang Tiongkok atas tuduhan pencurian kekayaan intelektual. Tiongkok telah memperingatkan tentang pembalasan.

Juru bicara Departemen Kehakiman AS mengatakan bahwa pemerintah “senang dengan keputusan tersebut.”

Michael Gottlieb, seorang pengacara yang mewakili perusahaan-perusahaan Amerika, mengatakan bahwa perjuangan klien-kliennya atas tuduhan-tuduhan penetapan harga akan terus berlanjut.

“Keputusan tersebut akan mempromosikan pasar bebas dan terbuka, sekaligus melindungi independensi pengadilan AS,” Gottlieb menambahkan.

Seorang hakim federal AS mempertanyakan kredibilitas tindakan untuk tunduk pada kekuatan Tiongkok dalam kasus ini dan, setelah persidangan juri 2013, yang telah memberi ganjaran ganti rugi $147,8 juta pada dua perusahaan Amerika tersebut.

Sirkuit ke-2 telah membatalkan putusan tahun 2016 tersebut, mengatakan bahwa ketika pemerintah asing secara langsung berpartisipasi dalam sebuah kasus, pengadilan Amerika berkewajiban untuk tunduk pada karakterisasi hukum-hukum milik negara sendiri.

Mahkamah Agung sendiri tidak terbebani mengenai interpretasi yang benar tetang hukum Tiongkok, tetapi Ginsburg mengatakan pertanyaan tetap ada tentang “apakah hukum Tiongkok mengharuskan cara berperilaku para penjual Tiongkok.” (ran)

ErabaruNews