Mafia Wisata Tiongkok di Bali: Model Bisnis Predatoris Penggerus Devisa

Iswahyudi

Ekonomi wisata adalah salah satu leading sector pada pemerintahan Presiden Jakowi-Kalla. Tiga tahun pemerintahan mereka, sektor wisata mampu menyumbang devisa terbesar kedua setelah CPO (Crude Palm Oil) / minyak kelapa sawit. Pada pertemuan tahunan IMF-World Bank (8-14/10/2018) Jokowi mempromosikan pada peserta annual meeting produk wisata baru Indonesia yaitu 10 Bali Baru Indonesia yang meliputi: Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Candi Borobudur, Mandalika, Gunung Bromo, Wakatobi, Labuan Bajo, hingga Morotai.

Peluncuran 10 Bali Baru ini diharapkan akan menyumbang devisa yang signifikan bagi perekonomian Indonesia dan menciptakan multiplier effect (efek pengganda) bagi berbagai sektor bisnis di tanah air seperti transportasi, kerajinan, penginapan, jasa pemandu wisata dan lain-lain, sehingga pemerataan ekonomi bisa diwujudkan.

Namun, mimpi indah itu tiba-tiba terbuyarkan setelah mencuatnya praktik curang Mafia Wisata RRT di Bali.

Jaringan mafia wisata ini telah menjual murah paket wisata ke Bali kepada para wisatawan asal Tiongkok dengan harga yang sangat murah yang sangat tidak masuk akal dari sudut hitung-hitungan bisnis. Paket wisata Bali pulang-pergi dengan segala akomodasinya ditawarkan paling murah Y 299 atau sekitar Rp 600.000.

Padahal kalau wisatawan Indonesia berwisata ke Tiongkok minimal harus merogoh kocek kurang lebih Rp 20 juta. Pertanyaannya adalah kenapa zero tour fee (wisata berbiaya murah) ini bisa terjadi?

Ternyata ada jaringan mafia wisata asal Tiongkok yang beroperasi dari hulu ke hilir sehingga mampu mensubsidi biaya berwisata sehingga zero tour fee itu terjadi. Melibatkan sekitar 16 toko oleh-oleh dan art shop  milik pengusaha asal Tiongkok yang menjual produk oleh-oleh made in China juga.

Dalam operasi bisnisnya, mereka dibantu oleh para sindikasi travel agent nakal untuk mengarahkan (memaksa) wisman asal Tiongkok berbelanja di jaringan toko mereka. Dan lebih parah lagi transaksi mereka menggunanakan mata uang Yuan atau Fintech asal RRT yaitu Wechat pay dan Alipay.

Ditambah lagi ditemukan banyak kasus banyak praktik guide (pemandu wisata) bervisa wisata beroperasi di Bali. Model bisnis yang ilegal, monopolis dan predatoris seperti inilah yang membuat paket wisata ke Bali 5 hari dengan segala akomodasinya dibandrol dengan harga yang tidak masuk akal.

Praktik model bisnis monopolis dan predatoris seperti ini kalau tidak segera ditertibkan akan menimbulkan akses negatif pada ekonomi wisata yang telah digadang-gadang oleh pemerintahan presiden Jakowi sebagai leading sector.

Multiplier effect yang diharapkan tidak akan terjadi dan tidak menambah devisa negara karena seluruh transaksi yang terjadi menggunakan sistem keuangan RRT, produk yang dijual produk RRT bahkan pemandu wisata juga berasal dari Tiongkok.

Seperti diungkapkan oleh Wakil Gubernur Bali, “Sistem pembayaran dicurigai memakai sistem perbankan dari Tiongkok dan tidak ada sepeser pun yang didapat oleh Bali. Sehingga, hal itu semakin merugikan bisnis pariwisata, karena Bali hanya mendapatkan sampahnya saja. Kita harus selektif mendatangkan wisatawan ke Bali. Karena dengan kejadian ini sangat merugikan citra pariwisata Bali, apalagi wisatawan asal Tiongkok mendominasi angka kunjungan wisatawan ke Bali,”

Dari mencuatnya mafia wisata RRT di Bali ini paling tidak ada beberapa solusi yang perlu dilakukan sebagaimana yang diungkapkan oleh Sekretaris Komisi III DPRD Provinsi Bali Ketut Kariyasa Adnyana, yang dilansir oleh redaksibali.com antara lain:

“Pertama, tertibkan seluruh toko – toko jaringan mafia RRT di Bali yang jumlahnya tidak lebih dari 30 toko, atau tepatnya disebut 28 toko.

Kedua, usut siapa yang ikut bermain – main dalam masalah ini, sampai – sampai mereka dalam posisi ilegal bisa beraktivitas begitu lama di Bali.

Ketiga, periksa perizinannya, jika sudah tidak ada izin seperti SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) langsung tutup. Begitu juga kelengkapan izin lainnya.

Keempat, periksa kejelasan barang barang yang dijual. Jika memang dari Tiongkok datang ke Bali, seperti apa proses izin masuk barang, apakah sudah kena pajak. Jika memang sudah resmi dan sah bisa masuk Bali, mesti dijelaskan bahwa itu barang Made in China, bukan dibilang produk Bali atau Indonesia. Karena ada fakta penipuan, pemalsuan untuk menyebut bahwa barang – barang itu hasil karya Indonesia.

Kelima, usut pajak penjualan yang selama ini dilakukan. Usut juga transaksi yang digunakan, yang disebut masih menggunakan wechat, sehingga transaksinya masih antar Tiongkok, tidak menggunakan rupiah, tidak ada devisa.

Keenam, usut masalah tenaga kerja asing, usut secara pidana.

Ketujuh, usut penggunaan lambang negara, Garuda, untuk stempel. Bahkan bisa diusut secara pidana.

Kedelapan, tertibkan, tutup dan proses secara hukum jaringan Biro Perjalanan Wisata (BPW) ilegal. Termasuk jaringan BPW ilegal yang membangun jaringan dengan toko mafia dari RRT.

Kesembilan, setelah dilakukan penertiban, jika ada pelanggaran pidana diteruskan. Misalnya, melakukan pemaksaan, pemerasan, pemalsuan barang, serta pelanggaran lain diteruskan secara pidana untuk efek jera. Dan aktivitas usahanya ditutup permanen.

Kesepuluh, tata kembali usaha seperti ini, dengan mengedepankan penjualan hasil UMKM masyarakat Bali.

Kesebelas, buat regulasi kuat, untuk menangkal aktivitas serupa ke depan, apakah dalam bentuk Perda atau Pergub, untuk bisa membangun pariwisata Bali berkelanjutan dan membangkitkan ekonomi Bali.

Keduabelas, Bali Tourism Board (BTB) jangan biasakan untuk mengambil langkah – langkah secara parsial, bermain sendiri seolah menjadi wakil Bali dalam membuat kesepakatan – kesepakatan dengan mafia RRT. Ini merusak citra Bali juga. Jika ada pemikiran, sampaikan ke pemerintah, bukan langsung membuat kesepakatan. Kesepakatan yang terlihat hanya beberapa poin saja, di balik itu jangan jangan ada kesepakatan lain. Ini jangan sampai terjadi.”

Waspada Dengan Gelombang Disrupsi

 Revolusi internet telah banyak mengubah cara orang berfikir, bekerja, berbelanja, berbisnis, berwisata dan lain-lain.

Ada banyak bisnis baru yang akan muncul dan akan banyak bisnis konvensional yang akan tenggelam. Seperti beberapa tahun ini telah muncul gelombang transportasi online yang sempat membuat gejolak sosial di mana-mana, di mana bisnis transportasi online dengan ganasnya merebut pangsa pasar transportasi konvensional. Inilah salah satu dari gelombang disrupsi yang secara cepat mengubah dunia.

Filosofi disrupsi adalah sebenarnya berfilosofikan homo homini lupus (manusia memakan manusia)  alias hukum rimba. Yang mampu menguasai sumber daya strategis dia yang akan menentukan segalanya.

Praktik mafia wisata RRT di Bali inilah salah satu contoh hitam dari strategi disrupsi itu sendiri. RRT unggul dalam jumlah wisman, unggul dalam produksi manufaktur (over supply), unggul dalam fintech, tetapi mereka terlalu serakah, semua harus mereka yang dapat, pihak lain adalah nomer ke-sekian.

Model-model disrupsi seperti ini bukan muncul begitu saja, melainkan tumbuh dari fikiran dan ideologi yang jauh dari nuansa moral. Menghalalkan segala cara, memanipulasi dan mencari celah regulasi demi keuntungan pribadi.

Bermitra dengan negara yang lebih bermoral adalah sebuah keberkahan, sebaliknya berkawan dengan negara yang nir moral adalah musibah, walaupun nampak membawa banyak keberuntungan material. (ISW/WHS/asr)

Artikel Ini Terbit di Epochtimes versi Bahasa Indonesia Edisi 580