Gagalnya Pemerintah Selama 17 Tahun Untuk Menyelesaikan Kasus Munir

ETIndonesia- Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menyatakan selama 17 tahun, kasus Munir merupakan tanggungjawab negara dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Namun, hingga hari ini penyelidikan terhadap kasus Munir belum memberikan rasa keadilan. Di dalam Executive Summary pada laporan Tim Pencari Fakta (TPF) disimpulkan bahwa kasus Munir ini merupakan bentuk pemufakatan jahat yang melibatkan 4 lapis pelaku, yaitu pelaku lapangan, pelaku yang mempermudah atau turut serta, aktor perencana, dan pengambil keputusan dimana pembunuhan ini diduga kuat berhubungan dengan aktivitas Munir dalam pemajuan dan pelindungan HAM dan demokrasi.

Melansir siaran pers KASUM, Selasa (7/9/2021) pada prosesnya pengusutan kasus Munir hanya berhenti pada pengungkapan aktor lapangan, yaitu Pollycarpus Budihari Priyanto. Sementara, aktor yang memberi pemerintah dan yang membuat perencanaan dalam kasus pembunuhan Munir belum dihukum.

Hal tersebut menyebabkan belum selesainya kasus Munir dan akan menjadi masalah dikemudian hari. penyelesaian kasus Munir ini bukan hanya menjadi kepentingan keluarga korban, saudara, atau sahabat Munir.

“Akan tetapi, juga menjadi kepentingan kita bersama sebagai entitas bangsa untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan tersebut tidak melakukan kejahatan yang serupa,” demikian rilis KASUM.

Pada proses penyelesaian kasus Munir, Ironi dalam sistem negara hukum masih terus terjadi. Dapat disadari bahwa impunitas di Indonesia menjadi sesuatu yang biasa saja dimana kekerasan terjadi, pelaku ada, korban ada, Undang-Undang untuk menyelesaikannya ada, mekanisme pengadilannya pun tersedia, tetapi pada realisasnyai tidak ada penyelesaianya kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus Munir.

Tentu ini menjadi suatu hal yang buruk dalam sistem negara hukum yang seharusnya memberikan jaminan penghormatan terhadap HAM karena tanggungjawab tersebut titik tekannya ada pada negara.

Negara tidak boleh lari dari tanggungjawab tersebut, tetapi yang terjadi setelah reformasi rezim demi rezim lari dari tanggungjawabnya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus Munir. Sehingga hal tersebut menjadi suatu yang buruk yang hanya akan memperpanjang rantai impunitas dimana impunitas sendiri merupakan suatu bentuk kejahatan.

Hingga kini kasus Munir belum ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan masih ditangani dengan hukum pidana. Tentu hal ini memperlihatkan bahwa belum adanya komitmen yang serius dari Presiden Joko Widodo untuk menepati janjianya dalam menyelesaikan kasus Munir. Tidak selesainya kasus Munir memberikan implikasi terhadap dinamika hak asasi manusia di Indonesia yang akan berada dalam bayang-bayang ancaman. Hal tersebut dapat kita pada kondisi hari ini bahwa kekerasan dan pembatasan terhadap pembela HAM dan pejuang HAM masih terus terjadi.

Kemudian berdasarkan Pasal 18 UU No. 26 Tahun 26 Tahun 2000, Komnas HAM RI sebagai satu-satu lembaga negara yang diberikan mandat untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM, harus bekerja secara lebih serius dan berpikir secara lebih benar untuk menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Adapun alasannya, yaitu:

  1. Kasus Munir adalah suatu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat berdasarkan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000;
  2. Dalam skema kejahatan sebagaimana disampaikan dalam lapora n TPF yang menunjukkan bahwa pembunuhan Munir sebagai sesuatu yang terencana dan sistematis dimana hal tersebut sesuai dengan unsur pelanggaran HAM berat dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000. Maka, seharusnya pantas bagi Komnas HAM untuk menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat;
  3. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa lembaga negara dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN) terlibat dalam merencanakan dan melaksanakan pembunuhan Munir memenuhi unsur “serangan” sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000;
  4. Bahwa belum ditetapkannya kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM yang berat dapat menghalangi upaya pencarian keadilan dan pengungkapan fakta yang sebenar-benarnya. Mengingat mekanisme pidana umum hanya mampu menghukum pelaku lapangan tanpa mampu mengungkap dan menghukum aktor intelektual dan dalang di balik peristiwa pembunuhan Munir. Hal tersebut penting untuk menjamin hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan jaminan ketidak- berulangan kekerasan.

Dengan hal di atas maka Komnas HAM wajib menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM tidak boleh melakukan politic of delay dalam kasus Munir sehingga kemudian menunda-nunda proses penetapan kasus Munir sebagai suatu bentuk kasus pelanggaran HAM berat. Ini menjadi penting untuk menjadi titik poin kita agar mereka yang memiliki power tidak boleh sewenang-wenang terhadap nyawa manusia atau pembela HAM. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas maka dengan ini kami menyatakan sikap:

  1. Mendesak Presiden Joko Widodo melalui Komnas HAM RI sebagai lembaga negara yang memiliki tugas untuk memajukan dan melakukan penegakkan HAM untuk segera menetapkan kasus pembunuhan Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat;
  2. Mengajak kepada seluruh elemen masyarakat Pro-HAM dan demokrasi untuk bersolidaritas dalam menuntut Pemerintah dan Komnas HAM untuk mengusut tuntas penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terutama kasus Munir.

(KASUM/asr)