Waspadai Cuci Otak “Perusahaan Teknologi Besar”

SHI SHAN

Baru-baru ini, surat kabar The Epoch Times menerbitkan banyak artikel dari sejumlah pakar, yang mengemukakan bahwa TikTok versi AS (Amerika Serikat) sedang menggerogoti masyarakat Amerika. Yang dibahas para pakar, mayoritasnya dari sudut pandang keamanan digital. 

Sebelumnya, kami pernah beberapa kali membahas masalah mahadata, konsep dasarnya adalah demikian, siapa yang menguasai AI (Artificial Intelligence), maka dia akan menguasai masa depan, dan siapa yang menguasai mahadata, maka dia akan menguasai AI. 

Jadi masalah keamanan mahadata, telah menjadi sebuah kunci bagi masa depan umat manusia.

Pada saat masuk ke Amerika Serikat, TikTok pernah berjanji pada pemerintahan Trump bahwa pihaknya tidak akan mengirimkan kembali ke Beijing semua data yang telah dikumpulkannya di AS, dan akan membentuk sebuah perusahaan khusus di AS untuk menyimpan data-data dari AS. Akan tetapi janji ini jelas sangat sulit direalisasikan, kareena induk perusahaannya, ByteDance dapat langsung memperoleh data-data tersebut dengan mudah. 

Baru-baru ini TikTok dievaluasi kembali, karena ada bukti yang menunjukkan bahwa ByteDance sedang menggunakan data- data tersebut sekehendak hati.

Pemerintah Tiongkok sangat memahami betapa seriusnya masalah ini, oleh karena itu sejak dulu perusahaan seperti Alibaba, Tencent, dan Didi Chuxing, selalu dibersihkan oleh Beijing, dan dipusatkan pada data-data perusahaan ini.

Tapi faktanya, yang kita hadapi tidak hanya ancaman jangka panjang yang didatangkan oleh mahadata ini saja, melainkan masih harus menghadapi sejumlah permasalahan yang lebih mendasar. 

Seperti dikatakan TikTok dapat memengaruhi opini masyarakat AS, bahkan dapat memengaruhi berjalannya masyarakat Amerika, seperti halnya memengaruhi Pilpres. TikTok adalah sebuah platform media sosial yang dibentuk dari rekaman video pendek. 

Pada 2019 dan 2020 lalu di mana masyarakat AS sedang bergolak, TikTok dapat merekomendasikan video pendek berdasarkan orientasi preferensi kita, akibatnya membuat sejumlah komunitas menjadi lebih ekstrem.

Sebagai contoh, jika ada seorang kawula muda melihat video tentang masalah rasial AS, maka TikTok akan merekomendasikan lebih banyak lagi video yang merefleksikan konflik rasial yang lebih serius kepadanya. 

Proses ini dilakukan secara otomatis oleh AI, tujuanya adalah agar mendapatkan lebih banyak klik dari pengguna, yang artinya juga memperoleh lebih banyak arus data, dan arus data merupakan faktor krusial mendapatkan iklan internet. 

Dengan cara semacam ini, di tengah kondisi masyarakat AS yang bergolak selama dua tahun itu, rekomendasi video pendek TikTok dapat memperkuat preferensi para pengguna. Akibatnya, di tingkat masyarakat, orang-orang yang memiliki preferensi nilai yang berbeda akan memperkuat nilai-nilai- nya, dan mencari kelompok atau komunitas yang sama dengannya. Biasanya kelompok ini akan menjadi ekstrem karena adanya umpan balik positif yang terus-menerus.

Hubungan ini seperti antara mikrofon, pengeras suara, dan loudspeaker, suara yang dikeluarkan dari mikrofon diperbesar oleh pengeras suara, lalu disiarkan lewat loudspeaker, dan suara yang telah diperbesar itu kembali diterima lagi oleh mikrofon, lalu diperbesar lagi dan disiarkan lagi, sehingga terbentuklah sebuah sirkulasi umpan balik positif. Tentu saja, akibatnya adalah keseluruhan sistem cenderung akan runtuh, keseluruhan sound system itu akan mengeluarkan suara berisik yang melengking tajam.

Efek yang ditimbulkan TikTok ini, dengan sendirinya dikenali dan disoroti oleh para peneliti di Amerika, dan menjadikannya sebagai salah satu contoh bagaimana pemerintah Tiongkok  telah mengusik masyarakat AS.

Penulis tidak tahu apakah TikTok telah mendapatkan perintah dari lembaga propaganda pemerintah Tiongkok dan sengaja melakukannya, tapi yang penulis tahu adalah, efek sosial seperti umpan balik positif ini, sebenarnya juga telah dilakukan oleh semua media sosial berskala besar yang ada, termasuk YouTube, Facebook, dan juga Twitter. 

Ini adalah semacam dampak yang tak terhindarkan selama belasan tahun terakhir yang terus dikembangkan oleh perusahaan teknologi internet besar.

Realita  yang  kita  lihat adalah, perpecahan dan disintegrasi sosial, baik sayap kiri maupun sayap kanan, telah memasuki suatu kondisi di mana tidak bisa lagi didamaikan, dan tidak bisa saling memahami, setiap pihak merasa pihak lawan sangat bodoh, berniat jahat, dan penuh kebencian. Hal ini akan sangat merugikan masa depan negara maupun umat manusia.

Efek dari umpan balik positif pasti akan mengarah ke ekstremitas. Maka kita melihat Elon Musk, seorang miliarder yang merupakan golongan kiri tengah, telah dicap sebagai kaum konservatif sayap kanan oleh kaum sayap kiri. Ketika dia hendak membeli Twitter, tidak hanya semua media massa sayap kiri menghujatnya, bahkan di dalam internal perusahaan Twitter pun terjadi perlawanan yang semakin sengit, sehingga Musk pun mau tidak mau harus menghentikan sementara aksi belinya.

Perpecahan masyarakat seperti ini, tidak hanya terjadi di AS, di negara lain pun telah bermunculan. 

Belum lama ini Rusia melakukan invasi terhadap Ukraina, juga telah membentuk oposisi ekstrem semacam ini. Ada seorang teman saya, dulunya hubungan kami sangat baik, juga memiliki nilai-nilai yang serupa, tapi karena pandangan yang berbeda terhadap perang ini, bahkan dalam hal kondisi perang sekarang, dan kemungkinan arah perkembangannya kelak, menjadikan timbulnya oposisi yang tajam di antara kami.

Penulis berpendapat Rusia terjebak dalam kesulitan, teman penulis menilai Rusia sedang menuju kemenangan;   penulis   merasa Rusia telah bersalah karena mengagresi negara lain. Teman saya merasa keamanan negara besar terancam, dan berhak mengambil tindakan. Persis seperti ketika timbul krisis rudal Kuba dulu, lalu AS bersiap melakukan invasi. Penulis mengirimkan berita dan video yang penulis lihat, dia juga mengirimkan berita dan berbagai komentar di media sosial yang dilihatnya.

Kejadian ini membuat penulis mendadak tersadar: Siapakah yang telah mengendalikan konsep kami bahkan juga sikap kami berdua? 

Karena yang direkomendasikan kepada saya oleh YouTube dan Twitter, adalah hal- hal yang ingin saya lihat, sementara yang direkomendasikan oleh TikTok dan Tencent kepada teman saya itu, adalah hal-hal yang ingin dilihatnya, maka semua konten yang kami masing-masing terima secara pasif telah membentuk sebuah “rantai bukti” yang begitu besar dan kuat, yang mendukung pandangan paling awal masing- masing dari kami.

Penulis mencoba menyaksikan video- video yang “dia” lihat itu, dan mendapati komentar di bawahnya adalah dukungan Like yang berat sebelah, yang juga membentuk efek kelompok, telah berubah menjadi semacam tekanan opini sosial. Selama Anda tidak meninggalkan konten-konten semacam itu, maka tekanan seperti itu pun akan tetap eksis.

Hal ini mengingatkan penulis pada buku berjudul “The Road to Serfdom” karya Friedrich Hayek. Dalam buku itu Hayek mengingatkan, dalam jangka pendek, kita semua adalah budak dari konsep yang kita ciptakan sendiri, hanya dengan mengenali risiko semacam ini secara sadar, maka kita baru bisa menghindarinya. Dengan kata lain, kita adalah budak dari konsep kita sendiri, terperangkap di dalam dunia ilusi yang kita ciptakan sendiri dan tidak mampu melepaskan diri.

Persoalannya adalah, apakah kita semua merupakan majikan atas  “konsep” milik kita itu? Apakah saya satu raga dengan “konsep” saya itu? Siapakah yang membantu saya menciptakan “konsep” tersebut?

Bukankah hal ini membuat kita merasa ngeri. Di era informasi digital ini, ada instansi yang menggunakan AI sedang membentuk konsep di dalam otak kita, mereka menggunakan metode secara menyelinap tanpa terasa, atau cara yang sangat rendah seperti yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok yang menggunakan cara tangan besi, untuk mengubah konsep kita, bahkan membentuk ulang pemikiran kita.

Erich Fromm dalam bukunya “The Fear of Freedom”, juga menyimpulkan hal serupa. Menurut Fromm, umat manusia membentuk semacam “ke-aku-an” dengan hubungan sosialnya, “ke-aku-an” ini bukanlah “aku” yang sebenarnya, melainkan semacam pengaturan kepribadian dari nilai-nilai sosial masyarakat, “aku seharusnya begini”, lalu kita hidup berdasarkan pengaturan tersebut.

Fromm dan Hayek, keduanya adalah guru besar liberalisme klasik, mereka peduli akan karakter asli dari kebebasan umat manusia. “Ke-aku-an” yang mayoritas dari kita pikirkan, sebenarnya hanya semacam ilusi belaka. Di dalam konsep Fromm, ilusi seperti tu kadang kala bisa sangat berbahaya, dapat menyebabkan manusia melangkah berbalik arah, dan kembali ke sistem totaliter yang dulu.

Menurut Fromm, seiring dengan perkembangan ekonomi dan sosial umat manusia, seseorang secara perlahan akan melepaskan diri dari berbagai batasan kelompok, dan memiliki sangat banyak kebebasan. Dia menyebutnya sebagai kebebasan yang pasif, tetapi kebebasan ini sekaligus juga dapat menghancurkan rasa aman orang tersebut. 

Pada saat itu, orang akan timbul semacam kecenderungan hendak melarikan diri dari kebebasan, mereka lebih bersedia tunduk di bawah semacam kewenangan, dengan demikian orang itu dapat membangun kembali hubungannya dengan dunia ini, demi terbebas dari rasa tidak aman tersebut. Namun kepatuhan semacam ini, jelas telah merampas kebebasannya.

Proses inilah yang disebut proses umat manusia melarikan diri dari kebebasan

Di era 1980-an, seorang teman kuliah saya setelah lulus, tidak bekerja di lembaga yang dialokasikan secara resmi baginya, melainkan memilih mencari profesinya sendiri, salah satu konsekwensinya adalah ia tidak lagi memiliki Kartu Keluarga. 

Tepatnya, dia tidak memiliki status kependudukan, dan telah kehilangan datanya di dalam dokumen pemerintahan. Kemudian ia berwiraswasta, berhasil mengumpulkan banyak urang, tetapi ia sangat menderita akibat masalah statusnya. Teman saya ini adalah seorang kritikus sosial, yang selalu mengkritik betapa tidak masuk akalnya sistem status kependudukan, yang dianggap sebagai “rantai besi” di dalam sistem perbudakan modern, yang telah melanggar prinsip kebebasan masyarakat modern. 

Namun kemudian, demi mendapatkan status kependudukan ini, ia harus menghabiskan banyak uang menyuap pejabat. Saya akan mengingat selamanya, ketika dia memperoleh Kartu Keluarga itu ia langsung menelepon saya dan berkata, “Saya telah memasang sendiri belenggu rantai besi itu.”

Dia memang bergurau, tetapi Fromm sejak awal telah menyimpulkan hal ini, setelah meraih kebebasan, manusia tidak mampu menghadapi rasa kesepian yang datang kemudian, kesepian itu juga menimbulkan rasa tidak aman, terjebak ke dalam penderitaan yang lain, hingga pada akhirnya ia melepaskan lagi kebebasan itu, mengorbankan sebagian dari kebebasannya, mungkin dengan memilih suatu sistem otoriter, mengikuti seorang diktator yang hebat, mengukuhkan kembali dirinya sendiri di tengah dunia yang kesepian ini, inilah proses melarikan diri dari kebebasan.

Jika kita tidak memiliki tekad dan kemauan yang cukup kuat untuk menghadapi kesepian itu, maka berarti kita ditakdirkan bukan sebagai orang yang bebas. 

Jika bisa menyadari hal ini, mungkin akan selangkah lebih dekat dengan kondisi “Maheśvara” dalam agama Buddha. Dalam kitab Heart Sūtra (Sutra Hati, atau Prajñāpāramitāhdaya) dikatakan, “Jika hati tidak memiliki keterikatan, tidak ada ketakutan, jauh meninggalkan mimpi yang menyesatkan”, barulah dapat mencapai “nirwana (tingkat abadi)”.

Telah menyimpang agak jauh nih. Kembali ke masyarakat realita kita, “ke-aku-an” dalam hati kita, dibangun atas dasar konsep kita, tetapi konsep kita terpengaruh oleh lingkungan dan komunitas. Pada era masyarakat informasi digital ini, diam- diam konsep kita acap kali dipengaruhi oleh media sosial, disusupi oleh AI dari media teknologi besar yang ada,  proses ini mungkin sama sekali tidak kita sadari, sepenuhnya tidak merasakan apa-apa. 

Jika kita tidak memiliki landasan dasar yang dipertahankan, tidak memiliki keberanian mempertahankan prinsip dasar, mungkin setiap saat dapat ikut terseret ke dalam kekacauan. (sud)