Jerman akan Menerbitkan Kebijakan yang Berfokus pada Pengurangan Ketergantungan dari Tiongkok

oleh Zhang Ting

Sebagai bagian dari sikap hawkish yang lebih luas oleh kekuatan Eropa terhadap Beijing, Jerman sedang bersiap untuk menerapkan kebijakan Tiongkok yang lebih keras di bidang-bidang utama termasuk perdagangan dan teknologi. Sedangkan Prancis bersedia bekerja sama dengan 4 negara, yaitu Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia dalam menangani masalah keamanan. Perdana Menteri Italia yang baru juga memiliki sikap keras terhadap Inisiatif “One Belt One Road” yang diprakarsai Partai Komunis Tiongkok.

Di Jerman, kecenderungan umum adalah bahwa pendekatan fokus bisnis yang diusung oleh mantan Kanselir Angela Merkel saat ini sedang disingkirkan, dan Berlin akan segera memberikan sentuhan akhir pada kebijakan Jerman terhadap Tiongkok.

Apa saja konten dalam kebijakan Tiongkok Jerman ?

“Ada kata-kata yang cukup keras dalam rancangan itu”, kata seorang pejabat senior Jerman yang terlibat dalam kebijakan Asia kepada Nikkei. Ia menyebutkan bahwa saat ini rancangan tersebut sudah berada di kementerian luar negeri, dan paling cepat pada musim panas ini, kabinet Jerman secara resmi dapat menyetujui rancangan tersebut.

Beberapa aturan yang lebih ketat termasuk pembatasan investasi di Tiongkok dan pengawasan oleh pemerintah Jerman terhadap perusahaan Jerman yang terlalu bergantung pada bisnis Tiongkok, kata pejabat tersebut. Pelan tapi pasti, rancangan peraturan baru itu akan mengurangi bobot Tiongkok di kancah bisnis Jerman.

Bahkan pertukaran akademik dapat dibatasi untuk mencegah teknologi dwi fungsi jatuh ke tangan Partai Komunis Tiongkok, kata para pejabat.

Pada laporan akhir disebutkan bahwa karena Partai Hijau yang keras terhadap Tiongkok dengan Partai Sosial Demokrat yang netral pro-kiri masih berselisih tentang rincian dalam koalisi pemerintahan, jadi kemungkinan penggunaan istilah pada kebijakan akan lebih lunak daripada versi saat ini. Tapi secara keseluruhan, pesan dari pemerintah Jerman tetap jelas, yakni menghendaki Jerman berjaga jarak dengan Tiongkok.

Hingga baru-baru ini, pandangan umum dalam politik Jerman adalah menjaga agar opsi diplomatik tetap terbuka dengan tidak memihak dalam persaingan Tiongkok – Amerika Serikat. Namun diplomasi menyeluruh akan meninggalkan celah, yang dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh negara-negara otoriter. Ada juga risikonya karena terlalu bergantung pada negara tertentu secara ekonomi, seperti yang sudah dialami Jerman karena sangat bergantung pada energi Rusia setelah terjadi serangan ke Ukraina.

Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier, adalah pendukung Social Democratic Party paling menonjol yang mendorong pemikiran ulang secara mendasar di Jerman. Ketika masih menjabat sebagai menteri luar negeri, ia yang mendorong hubungan ekonomi dan energi yang lebih dekat dengan Rusia. Oleh karenanya ia juga mendapat kritikan. Sebelum kunjungan Kanselir Jerman Olaf Scholz ke Tiongkok bulan November tahun lalu, Frank- Walter Steinmeier  mengatakan bahwa Jerman harus “mengambil pelajaran” dari perang Rusia – Ukraina, yakni “kita perlu mengurangi ketergantungan sepihak, terutama (ketergantungan) terhadap Tiongkok”.

Prancis dan Italia bersikap waspada terhadap Tiongkok

Sikap skeptis Jerman terhadap Tiongkok tercermin di berbagai negara Eropa. Di Prancis, kekhawatiran terhadap masalah keamanan semakin meningkat.

“Nikkei News” melaporkan bahwa Anne Genetet, seorang pakar Asia di partai yang berkuasa di Prancis, juga seorang anggota parlemen mengatakan : “Saya sama sekali tidak berharap ada wilayah Prancis yang menjadi wilayah Tiongkok”, ucapanya itu mengacu pada sejumlah pulau di Lautan Pasifik milik Prancis yang bernilai strategis.

Sebagian besar wilayah Prancis di kawasan Indo-Pasifik, seperti Kaledonia Baru, berada di belahan bumi selatan. Anne Genetet menyarankan agar Prancis bekerja sama dengan negara-negara demokrasi utara Indo-Pasifik seperti Amerika Serikat dan Jepang untuk memperkuat kemampuan pencegahan. Dia juga menyatakan keinginannya yang kuat agar Perancis bisa bekerja sama dengan 4 negara “Quad” (Quad, juga dikenal sebagai Dialog Keamanan Segiempat) : Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia.

Meski menaruh kewaspadaan terhadap Tiongkok, Prancis belum ingin memisahkan diri dengan Beijing. CNBC melaporkan bahwa Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire dalam diskusi panel di World Economic Forum, Davos pada 20 Januari mengatakan : “Kami masih ingin berhubungan dengan Tiongkok, kami mengharapkan Tiongkok juga bermain dengan aturan yang sama.”

Di Italia, Perdana Menteri baru Giorgia Meloni secara terbuka menyebut keputusan Italia tahun 2019 untuk menandatangani nota kesepahaman mengenai inisiatif “One Belt One Road” dengan Beijing sebagai “kesalahan besar”, dan berjanji untuk meneliti kembali proyek infrastruktur kerjasama antara Roma dengan Beijing.

Selama kampanye, Giorgia Meloni telah berulang kali menyampaikan sikap kerasnya terhadap rezim PKT, dan dengan jelas menyatakan dukungannya terhadap Taiwan. Dia mengatakan sebelum pemilihan, bahwa jika terpilih, dia akan mengarahkan Italia ke sikap anti-Beijing yang lebih terbuka, bertekad untuk tidak menjadikan Italia sebagai “mata rantai lemah” di antara sekutu Barat.

Negara  Eropa merasakan bahwa Rusia hanya akan memperdalam ketergantungannya terhadap Tiongkok di tahun-tahun mendatang. Dan aliansi Tiongkok – Rusia ini akan membuat para pemimpin Eropa semakin khawatir.

Menurut perhitungan Institut “Ifo” Jerman, jika perdagangan Uni Eropa – Tiongkok dibatasi, itu akan mengurangi pertumbuhan PDB Jerman senilai hampir 1 poin persentase dan berdampak luas pada negara-negara Eropa lainnya.

Namun, Uni Eropa, yang dipimpin oleh Jerman dan Prancis, akan berada di bawah tekanan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Beijing jika terjadi keadaan darurat di Taiwan. Oleh karena itu, negara-negara besar Eropa akan bermain dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap Tiongkok secara bertahap dengan berjalannya waktu. (sin)